Wednesday, January 30, 2008

Mengangsur PBB

apakah pembayaran pbb dapat diangsur? diatur di manakah itu kalau misalnya bisa dilakukan pengansuran?

Jawaban saya :
Pasal 10 ayat (2) UU KUP :
Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 7 Keputusan Menteri Keuangan No. 541/KMK.04/2000 :
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah serta Pajak Penghasilan Pasal 29, kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajaknya pada waktunya.


Dari peraturan diatas, saya menyimpulkan bahwa tidak ada peraturan yang membolehkan pembayaran PBB diangsur. Aturan mengangsur pajak hanya untuk pajak yang terutang dalam :
* Surat Tagihan Pajak,
* Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
* Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
* Surat Keputusan Pembetulan,
* Surat Keputusan Keberatan,
* Putusan Banding, serta
* Pajak Penghasilan Pasal 29

Tetapi jika merasa terlalu berat, Wajib Pajak dapat meminta pengurangan pembayaran PBB.
Pengurangan PBB yaitu pemberian keringanan pembayaran PBB yang terutang atas Objek PBB dapat diberikan kepada (berdasarkan Buku Informasi Perpajakan 2004] :
[a] Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu Objek PBB yang ada hubungannya dengan Subjek PBB dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu :

[a.1.] lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi;

[a.2] Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat disebabkan karena adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;

[a.3] Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiun, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

[a.4] Objek PBB yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

[a.5] Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan;

Pemberian pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.

[b] Wajib Pajak Orang Pribadi dalam hal objek PBB terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit, dan hama tanaman.

Untuk kondisi Wajib Pajak ini dapat diberikan pengurangan sampai dengan 100% (seratus persen).

[c] Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya. Pemberian pengurangan ditetapkan 75% (tujuh puluh lima persen), akan tetapi bagi janda/dudanya telah menikah lagi diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.

Sewa Tanah

gimana kewajiban pajaknya dan kapan harus dibayar ketika kita mendapatkan penghasilan atas sewa tanah yang belum ada kontraknya tp udah ada faktur pjk.

Jawaban saya:
Penghasilan atas sewa tanah! Berarti kita sebagai pemilik tanah, kemudian menyewakan kepada orang lain. Atas transaksi ini terutang PPh atas sewa tanah dan atau bangunan sebesar 10%.

Pasal 3 PP No. 29 tahun 1996 yang dirubah dengan PP No. 5 tahun 2002 menyebutkan :
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.


Kewajiban ini terutang pada saat diterima atau diperoleh, mana yang lebih dulu. Jika pembayaran atas sewa lebih dahulu maka PPh terutang pada saat pembayaran tersebut walaupun formalitasnya dilaksanakan beberapa waktu kemudian. Jika penyewa merupakan pemotong PPh maka atas PPh diatas dipotong oleh pemotong. Tetapi jika bukan pemotong maka kewajiban tersebut dibayar sendiri oleh pemilik bangunan dan atau tanah.

Cag!

Kontraktor yang bukan kontraktor

Perusahaan saya dapat komisi berdasarkan nilai total pekerjaan per termin dan tambahan menagih biaya buruh. Pekerjaan tsb tidak ada kontrak. Juga saat menerima komisi, kami tidak memungut PPN. Bagaimana pelaporan pajaknya?

Jawaban saya:
Misalkan nilai pekerjaan Rp.75.000.000,00 [berarti ini nilai material] ditambah biaya buruh sebesar Rp.50.000.000,00. Atas pekerjaan ini, perusahaan mendapat komisi sebesar Rp.25.000.000,00 maka total tagihan kepada pemilik rumah atau bangunan adalah Rp.150.000.000,00. Tidak ada kontrak dan saat menerima komisi tidak ada pemungutan PPN. Bagaimana kewajiban perpajakannya? Kira-kira begitu pertanyaan �tamu�.

Saya menduga bahwa perusahaan penanya bukan kontraktor yang memiliki usaha dibidang kontruksi. Artinya, ini pekerjaan sampingan. Karena tidak ada kontrak atas pekerjaan bangunan, maka atas pekerjaan bangunan tersebut dianggap �membangun sendiri�.

Dilihat dari sudut perusahaan penanya, berarti bahwa perusahaan penanya �bermuka� dua. Pertama, atas semua tagihan harus dilaporkan sebagai penghasilan. Dan atas material dan upah dibiayakan. Pendapatan komisi menjadi penghasilan neto. Walaupun demikian, perusahaan tetap bukan pelaksana konstruksi.

PPh Pasal 23 atas jasa pelaksana kontruksi diterapkan bagi perusahaan yang memiliki sertifikasi sebagai perusahaan konstruksi dan atas pekerjaan yang dia lakukan dibuatkan kontrak yang jelas. Kontrak ini sebagai bukti formal bahwa perusahaan konstruksi tersebut mengerjakan pekerjaan atau bangunan milik orang lain, bukan milik sendiri.

Dengan demikian, pemilik bangunan tidak bisa memungut PPh Pasal 23 atas jasa pelaksana konstruksi. Dilain fihak, perusahaan tidak dapat memungut PPN atas bangunan yang diserahkan ke pemilik bangunan. Justru pemilik bangunan wajib membayar PPN Membangun Sendiri atas bangunan yang diterimanya jika luas bangunan 200m2 atau lebih.

Pasal 16C UU PPN 1984 menyebutkan :
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.


Selanjutnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 yang dirubah dengan 320/KMK.03/2002 menyebutkan :

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan Kegiatan Membangun Sendiri adalah kegiatan membangun sendiri bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua ratus meter persegi) atau lebih dan bersifat permanent.


Kewajiban perpajakan untuk perusahaan konstruksi sebenarnya timbal balik. Pada saat menyerahkan pekerjaan, dia (perusahaan konstruksi) memungut PPN. Sebaliknya, atas pembayaran yang dia terima juga telah dipotong PPh Pasal 23 atas jasa pelaksana konstruksi. Hanya saja harus ada bukti formal bahwa seorang Wajib Pajak merupakan perusahaan konstruksi. Nah, bukti formal tersebut adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh asosiasi yang menyebutkan bahwa Wajib Pajak memang perusahaan konstruksi. Sertifikat berbeda dengan ijin, karena ijin biasanya dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah (Pemda).

PPh Pasal 25 turun

Selamat siang Pak Raden.....
Saya mau bertanya tentang Pajak Penhasilan Badan pasal 25: Jika perusahaan mempunyai penghasilan tidak teratur, seperti dalam bidang usaha Penebangan Kayu, dalam proses operasi produksi, membutuhkan waktu yang cukup panjang ditambah lagi faktor cuaca mempunyai peran penting (Penebangan, pengaturan ke Log Yard, ke Log Pond dan pemuatan), dapat dikatakan bahwa dalam tahun 2007 penghasilan mencapai angka tertentu, dan setelah dihitung PPh badan pasal 25, kita akan menghitung besarnya angsuran untuk tahun berikutnya, Dalam hal ini, kita prediksi untuk Tahun berikutnya tidak lagi sebagus tahun ini, dalam hal ini penerimaan Negara pasti berkurang dan pasti akan terjadi Kelebihan Bayar/Angsur PPh psl 25 (taksiran jika besarnya Margin sama dgn tahun sebelumnya), nah dalam hal ini, apakah ada Aturan lain yang memperbolehkan tidak perlu diangsur dan akan dihitung sekaligus, bila ada penghasilan. Demikian pertanyaan saya, dan mohon jawabannya.
Salam: Yoseph

Jawaban saya :
Pasal 7 Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 537/PJ./2000 :
Apabila sesudah 3 (tiga) bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% (seratus lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut oleh Wajib Pajak sendiri atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Berdasarkan ketentuan diatas, PPh Pasal 25 pada dasarnya dihitung berdasarkan PPh terutang tahun lalu. PPh Pasal 25 hanya boleh di�ralat� dalam kondisi :

[a] Setelah tiga bulan, terbukti PPh terutang hanya 75% (atau kurang) dari tahun lalu.
Artinya, sejak bulan April [bulan ke-empat periode akuntansi] Wajib Pajak dapat mengajukan revisi PPh Pasal 25 jika terbukti PPh terutang untuk periode tiga bulan pertama yang disetahunkan turun 25% dari tahun lalu. Kenapa disetahunkan? Karena PPh terutang sebenarnya per tahun atau satu periode akuntansi dalam 12 bulan. Sehingga PPh terutang dihitung dalam 12 bulan. Pengecualian jika memang dalam periode akuntansi kurang 12 bulan. Biasanya kondisi seperti ini adalah Wajib Pajak yang baru berdiri di tengah tahun sedangkan periode akuntansinya mengikuti tahun kalender.

Contoh perhitungan PPh Pasal 25. PPh terutang tahun pajak 2007 sebesar Rp.100 juta. Tetapi sampai dengan Maret 2008, Laporan Keuangan tiga bulanan menunjukkan bahwa Januari sampai dengan Maret 2008 Wajib Pajak hanya membukukan PPh terutang sebesar Rp.15 juta. PPh terutang untuk satu tahun (dengan asumsi kondisi sama di bulan-bulan berikutnya) berarti sebesar hanya Rp.60 juta. Artinya, tahun pajak 2008 PPh terutang turun (berkurang) sampai dengan 60% dari tahun pajak 2007. Atau, pada tahun berjalan terbukti PPh terutang kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang tahun lalu. Karena itu, PPh Pasal 25 untuk bulan April 2008 dan selanjutnya dapat dihitung sebagai berikut:
Rp.60 juta x tarif progressif x (1/12) = Rp.541.666,-

Padahal seharusnya PPh Pasal 25 dihitung sebagai berikut (dihitung berdasarkan PPh terutang tahun pajak 2007):
Rp.100 juta x tarif progressif x (1/12) = Rp.1.041.666,-

[b] Kenaikan PPh terutang 50% dari tahun lalu.
Syarat ini tidak ada batasan bulan tahun berjalan. Artinya, bisa dipertengahan atau sepertiga periode akuntansi. Cara menghitungnya sama dengan pengurangan diatas.

Catatan terakhir, perhatikan kata-kata "dapat". Artinya, Penghitungan kembali yang menyebabkan berkurangnya PPh Pasal 25 ini tidak harus atau wajib tetapi boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Sebaliknya jika menyebabkan bertambahnya PPh Pasal 25 maka kata-katanya digantu menjadi "harus". Perhatikan Pasal 7 ayat (4)Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 537/PJ./2000 diatas.

cag!

Penyegelan

Penyegelan adalah tindakan menempelkan kertas segel dalam rangka Pemeriksaan pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain, yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa.

Penyegelan salah satu tindakan yang paling jarang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Banyak penyebab kenapa tidak dilakukan penyegelan walaupun penyegelan merupakan kewenagan pemeriksa pajak. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMK.03/2007 menyebutkan :
Pemeriksa Pajak berwenang melakukan penyegelan untuk memperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.

Selain itu, Pasal 12 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 juga menyebutkah bahwa dalam hal pemeriksaan lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan / atau barang tidak bergerak.

Saya dinas di Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Enam dari tahun 1999 sampai dengan 2005. Selama itu, belum pernah melakukan melakukan penyegelan. Padahal di kantor sebelumnya, Karikpa Samarinda, tim pemeriksa biasa menyegel lemari, tempat dokumen disimpan atau sebuah dus. Ada kalanya pegawai Wajib Pajak tidak berani memberikan dokumen tanpa ijin dari pemilik perusahaan. Nah, pada kondisi seperti itu dokumen-dokumen yang dianggap perlu dikumpulkan dalam satu dus, disimpan di kantor Wajib Pajak kemudian diSEGEL. Dus yang tersegel tersebut akan dibuka jika pemilik perusahaan mengijinkan untuk memberikan dokumen. Beberapa kasus, teman-teman pemeriksa pajak malah seringkali menyegel satu ruangan sampai pemeriksa pajak diijinkan untuk mengakses dokumen yang ada disitu.

Kondisi seperti itu jarang sekali dilakukan di Jakarta. Bukan hanya oleh saya, tapi juga sebagian besar teman-teman pemeriksa pajak. Bahkan awal-awal dinas di Jakarta, beberapa senior menyarankan untuk bersikap �lunak�. Tidak ada ada pemaksaan memasuki ruangan Wajib Pajak, apalagi melakukan tindakan penyegelan.

Dan memang, beberapa kasus terdengar, pemeriksa pajak dianggap over-acting karena telah memaksa memasuki ruangan kantor Wajib Pajak. Sampai pada satu waktu, Dirjen Pajak pada beberapa kesempatan menyatakan bahwa dia akan selalu mendukung semua tindakan pegawai pajak asalkan sesuai prosedur. Walaupun demikian, dukungan itu tidak merubah kebiasaan. Saya pikir, Wajib Pajak telah dimanjakan.

Saya tidak tahu, apakah Wajib Pajak sadar bahwa ada dua jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan. Pemeriksa Pajak dalam hal pemeriksaan kantor memang tidak ada kewenangan memasuki ruangan Wajib Pajak. Pemeriksa Pajak hanya menyampaikan pemberitahuan adanya pemeriksaan lapangan, bersamaan dengan itu disampaikan juga surat peminjaman dokumen. Pemeriksa Pajak hanya menunggu respon dari Wajib Pajak.

Tetapi untuk pemeriksaan lapangan, Pemeriksa Pajak memiliki kewenangan memasuki ruangan manapun dan mengakses semua data dan dokumen yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Bahkan jika memang diperlukan, Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan. Berikut ini kondisi dimana penyegelan dapat dilakukan oleh Pemeriksa Pajak menurut Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMK.03/2007 :
a. Wajib Pajak atau kuasanya tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak, yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak atau kuasanya menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan yang antara lain berupa tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk mengakses data yang dikelola secara elektronik atau membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
c. Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat dan tidak ada pihak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Wajib pajak, sehingga diperlukan upaya pengamanan Pemeriksaan sebelum Pemeriksaan ditunda; atau
d. Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat dan Pegawai Wajib Pajak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan.

Saturday, January 26, 2008

Peminjaman Dokumen

Pasal 29 ayat (3a) UU KUP
Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.


Peminjaman Dokumen di Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 ada di Bagian Lima, yaitu Pasal 15 sampai dengan Pasal 17. Untuk pemeriksaan lapangan, pemeriksa pajak dapat langsung meminjam dokumen yang ditemukan di lapangan kemudian dibuatkan bukti peminjaman. Selain itu, bisa juga pemeriksa pajak meminjam buku dengan surat permintaan peminjaman. Sedangkan untuk pemeriksaan kantor akan dibuatkan surat permintaan peminjaman atau daftar dokumen yang akan dipinjam yang dikirim ke Wajib Pajak bersamaan dengan surat panggilan. Nah Pasal 29 ayat (3a) UU KUP diatas berkaitan erat dengan surat permintaan peminjaman tersebut.

Apakah jangka waktu 1 bulan boleh dilewati?
Jika memang jangka waktu 1 bulan belum cukup untuk mengumpulkan dokumen yang diminta, maka Wajib Pajak lebih baik meminta kebijakan kepada pemeriksa untuk perpanjangan jangka waktu tersebut. Wajib Pajak yang cuek-cuek saja, akan diberikan surat peringatan.

Surat peringatan dikirim ke Wajib Pajak sebanyak dua kali. Jika surat peringatan pertama tidak ada respon dari Wajib Pajak, maka akan dikirim surat peringatan kedua. Bagi pemeriksa pajak yang �dikejar-kejar� waktu penyelesaian pemeriksaan, jangka waktu 1 bulan sangat berarti. Walaupun Wajib Pajak meminta perpanjangan waktu, maka surat peringatan akan tetap dikirim.

Satu tips untuk Wajib Pajak bahwa memberikan data yang diminta oleh pemeriksa pajak tidaklah harus menunggu lengkap terlebih dahulu. Tetapi dapat pula meminjamkan dokumen dengan cara dicicil. Cara ini akan menghilangkan �kesan� bahwa Wajib Pajak tidak ko-operatif.

Bolehkan menolak memberikan dokumen?
Tidak memberikan dokumen merupakan salah satu hak Wajib Pajak. Tetapi memiliki konsekuensi bagi Wajib Pajak. Ada dua macam Wajib Pajak tidak memberikan dokumen. Pertama, memang tidak ada. Kedua karena menolak memberikan. Bisa karena penjualan yang dilaporkannya terlalu kecil, atau sebab lain. Keduanya berakibat pemeriksa pajak tidak dapat menghitung pajak terutang.

Seandainya sampai dengan tanggal yang diminta di surat peringatan kedua Wajib Pajak belum juga memberikan dokumen yang diminta secara lengkap (!), maka pemeriksa pajak akan membuatkan berita acara. Berdasarkan berita acara ini, pemerikan pajak kemudian :

[a] menetapkan pajak terutang berdasarkan jabatan. Dihitung secara jabatan artinya dihitung menurut versi pemeriksa pajak. Dikira-kira. Dipantes-pantes berdasarkan pengamatan langsung pemeriksa. Tindakan ini hanya dilakukan bagi WP OP. Mungkin daftar harta yang disertakan dalam SPT Tahunan OP akan dibandingkan dengan penghasilan yang dilaporkan. Bisa juga dengan memeriksa biaya hidup dan gaya hidup Wajib Pajak. Atau cara lain.

[b] dilanjutkan ke Pemeriksaan Bukti Permulaan. Tindakan ini diberlakukan untuk Wajib Pajak badan sesuai dengan Pasal 17 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.


Apa kriteria �tidak dapat dihitung�?
Dua tindakan diatas dilakukan karena penghasilan kena pajak tidak dapat dihitung oleh pemeriksa. Pemeriksa pajak tidak dapat melakukan pengujian dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak sesuai dengan prosedur standar pelaksanaan pemeriksaan pajak.

Standar pelaksaan pemeriksaan diatur dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 diantaranya adalah [Pasal 8 huruf c] :
temuan Pemeriksa harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;


Artinya, pemeriksa pajak bisa saja mengalihkan pemeriksaan ke pemeriksaan bukti permulaan jika pemeriksa pajak menganggap bahwa dokumen-dokumen yang diberikan oleh Wajib Pajak tidak cukup!

Cag!

Friday, January 25, 2008

Struktur Organisasi DJP

SPT 1721

Sehubungan dengan telah berakhirnya Tahun Pajak 2007 dan mengingat aplikasi e-SPT Tahunan PPh 21 belum mengalami perubahan sesuai dengan format SPT Tahunan 1721 Tahun 2007 serta untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, bersama surat ini kami sertakan softcopy aplikasi SPT Tahunan 1721 dan 1770 S dalam format Microsoft excel yang langsung dapat mencetak Laporan SPT Tahunan 1721 dan SPT Tahunan 1770 S untuk pegawai secara link. Petunjuk penggunaan aplikasi ini telah kami sertakan dalam aplikasi ini.

Agar aplikasi ini dapat bermanfaat bagi Wajib Pajak untuk mempermudah menghitung, serta melaporkan SPT Tahunan 1721 yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, diharapkan kepada Saudara memperbanyak aplikasi ini untuk diberikan kepada Wajib Pajak. Apabila terdapat kendala atau permasalahan dalam aplikasi ini agar menanyakan ke Bidang P2Humas Kanwil DJP Bali (0361) 241555


Disalin dari : http://10.17.254.215/web/

Wajib Pajak Patuh

Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu [KEP-213/PJ./2003]. Di UU KUP sendiri tidak ada istilah Wajib Pajak Patuh. Istilah yang dipergunakan di UU KUP adalah Wajib Pajak dengan kriteria tertentu. Baru-baru ini telah dikeluarkan SE-02/PJ/2008 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sebagai �turunan� dari Peraturan Menteri Keuangan No. 192/PMK.03/2007. Nah, syarat-syarat menjadi Wajib Pajak Patuh, yaitu :
[a.] tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir [sebelumnya hanya dua tahun];

[b.] penyampaian SPT Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Nopember tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;

[c.] SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya;

[d.] tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan;

[e.] laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian [WTP] selama tiga tahun berturut-turut dengan ketentuan:

Laporan audit harus:
[e.a.] disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan; dan
[e.b.] pendapat akuntan atas laporan keuangan yang diaudit ditandatangani oleh akuntan publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas akuntan publik; dan

[f.] tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir [sebelumnya 10 tahun] ; dan

Keuntungan menjadi Wajib Pajak Patuh adalah adanya perlakuan khusus untuk restitusi PPh dan PPN. Untuk restitusi PPh paling lama 3 bulan dapat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sedangkan PPN paling lama 1 bulan.

Selain itu, Wajib Pajak Patuh mendapat perlakuan khusus dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. P-11/BC/2005 dan P-24/BC/2007 menyebutkan bahwa Wajib Pajak Patuh mendapat fasilitas Mitra Utama (MITA) sehingga atas impor yang dilakukan bisa melalui Jalur Prioritas.

Hanya saja, saya tertarik dengan Pasal 6 Peraturan Dirjen Pajak Nomor 1/PJ/2008 menyebutkan,

�Wajib Pajak Patuh yang tidak menghendaki diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak harus membuat pernyataan tertulis bersamaan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).�


Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor 1/PJ/2008 mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian dengan SPT atau surat terpisah. Artinya, jika ada permohonan pengembalian baik melalui SPT saja atau dengan surat tersendiri, Kantor Pelayanan Pajak otomatis akan memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak Patuh kecuali ada pernyataan tertulis bahwa Wajib Pajak Patuh tersebut menolak. Jika Wajib Pajak Patuh menolak, maka pengembalian pembayaran pajak akan diberikan penuh (bukan �pendahuluan�).

Berdasarkan SE - 09/PJ.53/2006 bahwa Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak harus diterbitkan dalam 7 (tujuh) hari sejak permohonan secara lengkap diterima. Mengapa begitu cepat? Pertama, DJP tidak melakukan pemeriksaan tapi penelitian. Kedua, dalam rangka pelayanan. Tetapi, DJP juga dapat melakukan pemeriksaan atas WP Patuh, dan bisa saja Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak yang telah diterbitkan dikoreksi dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah sanksi 100% sesuai Pasal 17C ayat (5) UU KUP.

Karena itu, saran saya permohonan pengembalian pendahuluan sebaiknya untuk PPN saja untuk menghindari sanksi 100%. Mengapa, restitusi PPh sangat rawan koreksi positif terutama masalah biaya. Pos biaya sering condong ke pendapat pemeriksa. Sedangkan PPN lebih kuat. Jika syarat-syarat yang telah ditetapkan lengkap, maka tidak masalah mengajukan permohonan �restitusi pendahuluan� supaya lebih cepat. Ini tentu akan menolong arus kas (cash flow) masuk Wajib Pajak sebagai modal kerja. Selain itu, restitusi memang hak Wajib Pajak.

Cag!

Wednesday, January 16, 2008

UU KUP 2007

Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan biasa disingkat UU KUP. Ini adalah undang-undang formal atau prosedur perpajakan. Berbeda dengan dua undang-undang materil, yaitu Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai, UU KUP tidak ada tambahan �1984�. Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 (disingkat UU PPh 1984) disebutkan di Pasal 36 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1983, yaitu :
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Sedangkan UU No. 7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, dan UU No. 17 Tahun 2000 merupakan perubahan UU PPh 1984. Perubahan tentu berbeda dengan pengganti. Perubahan hanya mengganti atau mencabut sebagian pasal saja, tidak semua. Dan Pasal 36 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1983 tidak pernah dicabut.

Begitu juga dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 (disingkat UU PPN 1984). Pasal 20 UU No. 8 Tahun 1983 berbunyi :
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Pasal 20 UU No. 8 Tahun 1983 juga tidak pernah dicabut atau diubah. Karena itu, Pasal III UU No. 11 Tahun 1994 berbunyi :
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.�

Dan Pasal II UU No. 18 Tahun 2000 berbunyi:
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984".


Sejak 1 Januari 2008 telah berlaku UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU KUP. Nah, bagi pengunjung yang belum �mengoleksi� ketentuan baru ini, silakan mengunduh UU, PP, dan PMK sebagai berikut:
[a]. Batah tubuh UU No. 28 Tahun 2007
[b]. Penjelasan UU No. 28 Tahun 2007
[c]. PP No. 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan
[d]. Peraturan Menteri Keuangan sebagai berikut :

1. Keputusan Menteri Keuangan No. 510/KMK.03/2007 tentang Penetapan Pejabat dan / atau Tenaga Ahli Yang Dapat Memberikan Keterangan Kepada Pejabat Lembaga Negara Atau Instansi Pemerintah Yang Berwenang Melakukan Pemeriksaan Dalam Bidang Keuangan Negara.

2. Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, Serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, Dan Penyampaian Surat Pemberitahuan.

3. Peraturan Menteri Keuangan No. 182/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Bagi Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Yang Dapat Melaporkan Beberapa Masa Pajak Dalam Satu Surat Pemberitahuan Masa.

4. Peraturan Menteri Keuangan No. 183/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan.

5. Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, Dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak.

6. Peraturan Menteri Keuangan No. 185/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerimaan Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.

7. Peraturan Menteri Keuangan No. 186/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan Dari Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda Karena Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan Dalam Jangka Waktu Tertentu.

8. Peraturan Menteri Keuangan No. 187/PMK.03/2007 tentang Jangka Waktu Pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Dan Putusan Peninjauan Kembali, Yang Menyebabkan Jumlah Pajak Yang Harus Dibayar Bertambah Bagi Wajib Pajak Usaha Kecil Dan Wajib Pajak Di Daerah Tertentu.

9. Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

10. Peraturan Menteri Keuangan No. 189/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak.

11. Peraturan Menteri Keuangan No. 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang.

12. Peraturan Menteri Keuangan No. 191/PMK.03/2007 tentang Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Atas Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Sedang Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan.

13. Peraturan Menteri Keuangan No. 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.

14. Peraturan Menteri Keuangan No. 193/PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, Dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

15. Peraturan Menteri Keuangan No. 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan.

16. Peraturan Menteri Keuangan No. 195/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pemberian Imbalan Bunga, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Mata Uang Asing Dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

17. Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2007 tentang Bentu Dan Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan.

18. Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

19. Peraturan Menteri Keuangan No. 201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan Atau Bukti Dari Pihak-pihak Yang Terikat Oleh Kewajiban Merahasiakan.

20. Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan.

Salaam.

Jasa-jasa Telekomunikasi

Pada tanggal 19 September 2007 (tanggal surat) Direktur Peraturan Perpajakan menjawab surat yang dilayangkan oleh Sdr Ucu Sulaksana (PT Aplikanusa Lintasarta) yang menanyakan PPh Pasal 23 atas jasa telekomunikasi. Surat dengan nomor S-813/PJ.032/2007 tersebut dapat dijadikan acuan bahwa jasa telekomunikasi bukan objek PPh Pasal 23. Berikut kesimpulan surat(angka 3 surat tersebut) :

�Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 jasa-jasa telekomunikasi tidak tercantum sebagai jenis jasa yang atas penghasilannnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, oleh karena itu atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) di atas.�


Bunyi kalimat di butir 2 huruf b angka 3) sebagaiberikut:
�Pasal 4, besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peratuaran Direktur Jenderal Pajak ini.�


Perhatikan kalimat sebelum koma berikut, �.. jasa-jasa telekomunikasi tidak tercantum sebagai jenis jasa yang atas penghasilannnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, ..� Kalimat ini merupakan penegasan bahwa jasa-jasa telekomunikasi bukan objek PPh Pasal 23. Kenapa bukan objek PPh Pasal 23? Karena tidak tercantum dalam lampiran PER-70/PJ/2007. Sedangkan lampiran PER-70/PJ/2007 menyebutkan jenis-jenis apa saja yang dikenakan atau merupakan objek PPh Pasal 23.

Penafsiran Berbeda
Kalimat terakhir kesimpulan surat tersebut jika tidak dibaca lengkap akan berbeda arti dan bertolak belakang dari maksud surat tersebut. Kalimat yang dimaksud, �atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa�. Jika kalimat ini saja yang dibaca, maka semua sewa adalah objek PPh Pasal 23, dan semua imbalan jasa adalah objek PPh Pasal 23. Semua pembayaran yang mengandung unsur sewa dan imbalan jasa merupakan objek PPh Pasal 23. Seandainya semua imbalan jasa merupakan objek PPh Pasal 23, lantas kenapa Direktur Jenderal Pajak harus repot-repot menyebutkan jasa-jasa mana saja yang merupakan objek PPh Pasal 23?

Kalimat yang lengkap adalah, �.. atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) di atas.� Kalimat ini bisa diartikan sebagai berikut : atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana diatur di lampiran PER-70/PJ/2007. Atau lebih singkat lagi : tidak dipotong PPh Pasal 23 jika tidak ada sewa atau imbalan jasa seperti yang disebutkan di lampiran PER-70/PJ/2007.

Positive List vs Negative List
Banyak yang belum menyadari bahwa PPh Pasal 23 mengandung kaidah positive list, bukan negative list. Positive list maksudnya bahwa hanya jasa-jasa yang telah disebutkan saja yang merupakan objek PPh Pasal 23. Sebaliknya negative list menyebutkan jasa-jasa yang bukan objek PPh Pasal 23. Artinya, jasa-jasa yang tidak disebutkan merupakan objek PPh Pasal 23.

Apa dasar positive list? Dasarnya adalah Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984, yaitu
�Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.�


Sedangkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 berbunyi sebagai berikut:
�c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas :
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.�


Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 jasa-jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 yaitu :
[1] sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
[2] imbalan jasa teknik,
[3] imbalan jasa manajemen,
[4] imbalan jasa konstruksi,
[5] imbalan jasa konsultan, dan
[6] imbalan jasa lain

Apa itu jasa lain? UU PPh 1984 kemudian memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menyebutkan jenis-jenis jasa apa saja yang merupakan objek PPh Pasal 23. Tidak ada penafsiran lain bahwa Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984 mengharuskan Direktur Jenderal Pajak untuk �menetapkan� jenis-jenis jasa yang merupakan objek PPh Pasal 23. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak adalah menambah jenis jasa-jasa ke enam dan seterusnya. Inilah yang disebut positive list.

Cag!

Tuesday, January 15, 2008

Kiriman Lewat Pos

Saya mohon nasehat atas pajak impor pribadi tanpa tujuan komersial apapun (pengirim dan penerima bukan pemilik suatu bisnis apapun). Attachment di e-mail ini adalah invoice yang ditujukan untuk kakak saya sebagai penerima paket di Jakarta. Paket ini saya kirim melalui Mail Boxes ETC yang adalah agen untuk perusahaan jasa UPS. Paket ini terdiri dari health supplement, 1 botol parfum, baju bekas, gelas, coklat, dengan total maksimum �100. Melihat invoice yang diterima kakak saya, kode pajak tertera adalah HS 3303.00.00.00 yang merupakan pajak parfum dan cairan lainnya.
Pertanyaan saya adalah:
Apakah paket pribadi memang seharusnya dikenakan pajak? Bila benar, apakah tarifnya sama dengan pajak perdagangan/ bisnis/ perusahaan.
1. Bila memang paket ini seharusnya dikenakan pajak, apakah benar bahwa perhitungan kode pajak ini HS 3303.00.00.00 memang berdasarkan harga total NDPBM (setelah minus $50) walaupun total parfum hanya 1 botol.
2. Mohon penjelasan yang baik atas perhitungan pajak impor untuk paket ini.
Sudah saya konsultasi dengan berbagai website mengenai perpajakan Indonesia tapi tidak ada penjelasan yang transparan dan efektif untuk semua golongan pembaca.
Saya mohon nasehat Raden untuk penjelasan yang lebih baik.

Terima kasih
Desiana Tasman


Jawaban saya:
Kiriman tersebut lebih dari $50 (setidaknya menurut pengakuan pengirim sebesar $100). Kiriman yang lebih dari $50 atas selisih (diatasnya) merupakan objek Bea Masuk. Silakan simak Pasal 10 KMK No. 490/KMK.05/1996 berikut:
(1) Terhadap barang kiriman melalui pos yang nilainya tidak melebihi FOB USD 50,00 (lima puluh US. Dollar) untuk setiap orang kiriman diberikan pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor.

(2) Atas kelebihan nilai FOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap barang kiriman yang bersangkutan dikenakan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor.

Barang yang diimpor berupa minyak wangi. Ini merupakan barang kena pajak (BKP). Berdasarkan Pasal 4A ayat (2) UU PPN 1984 bahwa barang yang bukan BKP adalah :
[a.] barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
[b.] barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
[c.] makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
[d.] uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Karena itu, atas barang yang diimpor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%.

Sesuai lampiran II butir f Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 570/KMK.04/2000, bahwa minyak wangi dan cairan pewangi (Nomor HS 3303.00.000) merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenakan PPnBM dengan tarif 20%.

Sedangkan PPh sebesar 7,5% merupakan tarif PPh Pasal 22 atas impor yang dilakukan oleh importir non API atau untuk barang yang tidak dikuasai. Berikut adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 524/KMK.03/2001
Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut :
a. Atas impor :
1. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;

2. yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;

3. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

Tetapi saya tidak mengetahui, dari mana UPS mengetahui harga FOB barang yang dikirim. Berdasarkan Pasal 15 UU No. 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan bahwa nilai pabean yang dijadikan dasar pengenaan bea masuk adalah nilai transaksi barang yang bersangkutan. Jika tidak ada nilai transaksi yang bersangkutan, maka digunakan :
[1] nilai transaksi barang dan barang identik;
[2] nilai transaksi barang serupa;
[3] nilai dengan metode deduksi�atau metode komputasi;
[4] atau ditentukan importir.

Mudah-mudahan jawaban ini lebih mendekati harapan.

Salaam.

Monday, January 14, 2008

Pojok Pajak

Pojok Pajak adalah sarana penyuluhan dan pelayanan perpajakan bagi masyarakat dan atau Wajib Pajak

dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yang ditempatkan di pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat

bisnis atau tempat-tempat tertentu lainnya di seluruh Indonesia.

 

Pojok Pajak berbentuk counter yang memiliki luas bangunan minimal 3 x 3 M2 dengan bagian-bagian sebagai berikut :

[1] counter berwarna biru, merah dan putih;

[2] 1 (satu) buah magnetic pop-up/back drop bertuliskan :

[2.a] Pojok Pajak

[2.b] Pajak Kini Terbuka, Bagaimana dengan Anda?

[2.c] Pajak Dimulai Dari Saya

[2.d] Kami Melayani Pendaftaran NPWP, Penyampaian SPT, Konsultasi Pajak dan Pengaduan

[2.e] www.pajak.go.id dan pengaduan : Kotak Pos 111 JKTM;

[3] meja dan kursi pelayanan yang dapat menampung 3 (tiga) set komputer;

[4] buku tamu;

[5] 1 (satu) buah meja brosur/katalog;

[6] 1 (satu) buah standing banner,

[7] 1 (satu) buah kotak saran;

[8] 1 (satu) buah lemari; dan

[9] dilengkapi jaringan listrik, saluran telepon/WI-FI.

 

Pojok Pajak dibentuk minimal 1 (satu) unit untuk setiap Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, kecuali

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib

Pajak Besar.

 

Pelayanan yang diberikan Pojok Pajak :

[a.] Penyediaan materi dan sarana penyuluhan;

[b.] Konsultasi perpajakan;

[c.] Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

[d.] Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan SPT Tahunan; dan

[e.] Pengaduan masyarakat tentang masalah perpajakan.

 

Konsultasi Perpajakan yang diberikan oleh Petugas Pojok Pajak adalah konsultasi yang bersifat umum sesuai dengan Panduan Informasi Perpajakan. Materi Konsultasi perpajakan diluar Panduan Informasi Perpajakan yang membutuhkan penanganan lebih lanjut agar diteruskan ke Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan terkait atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat Wajib Pajak terdaftar atau Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

 

Sumber :

SE - 05/PJ/2006

KEP - 30/PJ/2006

Tuesday, January 8, 2008

Tanah Bersertifikat vs Petok

Pertanyaan:
Ada kejadian wp mengajukan kelebihan BPHTB, tanah tersebut merupakan tanah warisan, apakah ada perbedaan pengenaan NPOPTKP atas tanah warisan yang sudah bersrtifikat dan yang belum bersertifikat (petok)? Diatur dimana? Mohon bantuannya...terima kasih.

Jawaban:
Coba ibu lihat UU BPHTB Tahun 2000 Pasal 2 ayat (2) a. Pemindahan hak dan b. Perolehan hak. dan lihat juga Pasal 2 ayat (3) hak-hak yang menjadi objek BPHTB. Untuk warisan yg sudah bersertifikat masuk ke klausul pemindahan hak karena cecara hukum telah ada hak yang dapat diwariskan sehingga BPHTB = (nilai Pasar atau NJOP � Rp.300jt) x 5% x 50% dan untuk warisan yng belum bersertifikat masuk ke klausul perolehan hak karena secara hukum belum ada hak yang menjadi objek BPHTB yang akan diwariskan. Perhitungannya: (nilai pasar atau NJOP � Rp.60jt) x 5% untuk wilayah DKI Jakarta. mungkin ada pendapat lain ? [Tritiyo Nugroho]

NPOPTKP atas tanah warisan sudah bersertifikat adalah ditetapkan maksimal 300 jt. Apabila tanah belum bersertifikat diwariskan dan didaftarkan ke BPN untuk dimohon sertifikatnya, maka atas perbuatan hukum tersebut dikenakan BPHTB karena pemberian hak baru sepanjang permohonan tersebut disetujui dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Baru (SKPHB) atas nama ahli warisnya dan terutang BPHTBnya sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya SK pemberian hak dan NPOPTKP ditetapkan maksimal Rp.60jt. [Didik Santoso]

Catatan saya:
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB
(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Pemindahan hak karena :
1 . jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.

b. Pemberian hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. diluar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.


NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) diatur di Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).�


[sumber : Fordis BPHTB.net]

Monday, January 7, 2008

Bagaimana Kalau Mobil Diberi NPWP

Melihat kondisi Jakarta yang semakin hari semakin macet baik di pagi, siang dan sore hari dalam benak saya bertanya�tanya berapa banyak mobil yang ada dijalanan Jakarta ini setiap hari? Sepertinya semua jalanan penuh dengan mobil mulai dari jalan tol, protocol sampai jalan sempit yang berliku-likupun dipastikan ada mobilnya. Lalu siapa gerangan yang punya mobil-mobil tersebut? Mereka pasti orang orang kaya yang penghasilannya sudah melebihi kebutuhan pokoknya sehingga mereka bisa beli mobil baik kredit maupun kontan. Mereka para pemilik mobil tiap hari pasti menghabiskan berliter-liter bensin buat memberi minum kuda besinya supaya tetap bisa dioperasikan.
Jadi ingat kata teman � jalanan di jakarta setiap detik seolah-olah dipel dengan bensin�.

Mobil memang sekarang sedang menjadi sorotan publik, selain jumlahnya sudah sangat banyak, umurnya juga tidak dibatasi, produksi mobil-mobil pun terus semakin ketat bersaing dengan model-model terbaru. Gimana jalanan tidak macet, kalau mobil-mobil baru terus laku terjual sementara mobil tua tidak dikandangin atau disingkirkan ke kota2 kecil. Namun bukan itu yang menjadi sorotan dalam tulisan ini, yang menarik perhatian penulis adalah siapa sebenarnya pemilik-pemilik mobil tersebut. Karena mereka pasti adalah orang orang kaya golongan menengah keatas, mungkin ada yang berprofesi sebagai PNS, Karyawan Swasta, Pejabat Pemerintah, Direktur, Pengusaha dan lainnya. Yang pasti semua pemilik mobil adalah orang kaya. Disisi lain Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang dan terus akan mengumpulkan penerimaan negara dari pembayaran pajak. Sasarannya tentu saja adalah orang-orang kaya yang penghasilannya sudah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Dari dua sisi mata uang tersebut diatas yaitu yang pemilik mobil adalah yang punya uang, sedangkan DJP adalah pengumpul uang melalui pajak. Apabila dari dua sisi mata uang ini bisa ditarik benang hijau maka akan terjadilah aliran uang dari satu sisi ke sisi yang lain. Tentu saja aliran uang tersebut adalah legal berdasarkan UU Perpajakan, tinggal bagaimana cara dan bentuk benang hijau tersebut dihubungkan.

Selagi penulis bingung memikirkan caranya sambil melamun memandangi langit yang mulai mendung tiba-tiba muncul Bang Ali (nama Imajinasi) dan menanyakan permasalahan yang membuat penulis sampai melamun memandangi langit. Setelah mendengar penjelasan penulis, sambil berlalu Bang Ali bilang �Bagaimana kalau mobil itu diberi NPWP�. Mendengar saran Bang Ali tersebut, penulis pikir ada benarnya juga idenya itu. Mobil diberi NPWP bukan berati mobilnya menjadi Wajib Pajak, tetapi pemiliknya lah yang harus menjadi Wajib Pajak, karena meraka adalah orang2 kaya golongan menengah keatas yang sudah dipastikan penghasilannya melebihi PTKP.

Apabila program pemberian NPWP pada mobil ini berjalan, maka DJP bisa mendapatkan dua kegiatan dari program ini :

1. Kegiatan Ekstensifikasi

Yaitu dengan mewajibkan pemilik mobil mempunyai NPWP sebagai syarat supanya bisa melakukan transaksi Bea Balik Nama Kendaraan dan atau membayar Pajak Kendaraan Bermotor. Tentu saja hal ini bisa diterapkan karena para pemilik mobil merasa bahwa membayar Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan/atau membayar Pajak Kendaraan Bermotor adalah kebutuhan bagi mereka, karena para pemilik kendaraan bermotor akan merasa kurang nyaman atau bahkan tidak berani menggunakannya apabila pajak kendaraannya belum dibayar. Perlu diingat pula mereka adalah orang-orang kaya yang tentu saja tidak akan merasa berat untuk mengeluarkan uang untuk membayar Pajak Kendaraannya. Apabila analisa tersebut benar, maka para pemilik mobil akan dengan suka rela mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, apalagi kalau dibuka loket pendaftaran NPWP yang satu atap dengan pelayanan pembayaran Bea Balik Nama dan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor. Bagaimana kalau pemilik mobil atas nama isteri atau anak yang belum dewasa atau belum berpenghasilan?. Bila hal ini terjadi tetap menggunakan NPWP suami sebagai kepala keluarga dengan melampirka Kartu Keluarga.

2. Kegiatan Intensifikasi

Yaitu dengan mencantumkan NPWP pada Form Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK) atau Form Surat Ketetapan Pajak Daerah PKB/BBN KB dan SWDKLLJ sehingga setiap mobil nantinya akan ber-NPWP sesuai dengan Pemiliknya. Apabila NPWP telah tercatat pada salah satu Form diatas maka akan mudah bagi DJP untuk mendapatkan data pemilik mobil dan memasukannya ke dalam Bank Data Nasional DJP yang akan sangat membantu dalam menggali potensi pajak dari para pemilik Kendaraan Bermotor.

Untuk mewujudkan program tersebut sepertinya diperlukan kerja sama denga pihak Pemda dan Polri sebagai pengelola administrasi kendaraan bermotor.

Terima kasih Bang Ali atas sarannya, walaupun dia orang biasa namun idenya bisa saja diterapkan. Mungkin saran Bang Ali adalah salah satu cermin bahwa masyarakat biasa sudah mulai sadar dan peduli dengan pajak. Penulis hanya bisa berharap semoga bukan hanya masyarakat biasa saja yang sadar dan peduli dengan pajak, tapi juga para pemimpin, pejabat, PNS, pengusaha terutama masyarakat golongan penghasilan tingkat menengah keatas harus sadar dan peduli dengan pajak, jika tidak � Apa Kata Duniaaa �.



Penulis,
Agus Siswo Pranoto
AR (Account Representative) di KPP Pratama Jakarta Cilandak
Tulisan ini dimuat di BP No.1600

Sunday, January 6, 2008

Perusahaan Belum Beroperasi

Pak Raden yth, mohon penjelasannya tentang kewajiban pelaporan pajak bagi perusahaan yg baru berdiri.
Perusahaan saya berbentuk PT, belum berjalan dan belum ada karyawan. Laporan apa saja yg harus saya sampaikan setiap bulannya? Kemana dan Bagaimana caranya saya menyampaikan laporannya? (Berbentuk ssp?)
multekutama@yahoo.com


Jawaban Saya:

Kewajiban yang harus dilaksanakan setelah memperoleh NPWP oleh Wajib Pajak:
[a.] Kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan (PPh)
[a.1.] SPT Masa, yaitu pelaporan pelaksanaan withholding tax, yaitu: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 15, dan PPh Pasal 4 ayat (2). Ada dua pendapat tentang pelaporlan withholding tax ini, pertama : ada atau tidak ada objek, wajib membuat SPT. Pendapat kedua, dilaporkan jika ada objek saja. Silakan pilih mana yang lebih nyaman.
[a.2.] SPT Tahunan, yaitu pelaporan pelaksaan kewajiban perpajakan selama satu tahun penuh, yaitu PPh badan atau PPh Orang Pribadi, dan PPh Pasal 21.

Khusus untuk perusahaan yang belum berjalan, SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Pasal 21 diisi �NIHIL�, ditandatangani, dan dibuatkan �Surat Penyataan� bahwa perusahaan belum berjalan atau belum beroperasi. Saya pikir, perusahaan yang belum beroperasi tidak memiliki kewajiban menyampaikan SPT Masa.

[b.] Kewajiban sehubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM), yaitu SPT Masa PPN.

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu. Umumnya satu masa sama dengan satu bulan kalender.

SPT wajib disampaikan ke KPP terdaftar :
[1] Untuk SPT Masa, 20 hari setelah akhir masa pajak. Jika masa pajak sama dengan satu bulan kalender, maka SPT Masa disampaikan setiap tanggal 20, bulan berikutnya. Contoh : SPT Masa Januari disampaikan paling lambat tanggal 20 Februari.

[2] Untuk SPT Tahunan PPh OP, tiga bulan setelah akhir tahun pajak.

[3] Untuk SPT Tahunan PPh Badan, 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. Tetapi ketentuan ini mulai berlaku untuk tahun pajak 2008 dan selanjutnya. Untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya, masih menggunakan ketentuan lama, yaitu tiga bulan setelah akhir tahun pajak.

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Prakteknya, SSP merupakan lampiran SPT jika ada pembayaran.



[c.] Pembukuan/Pencatatan.

Syarat-syarat penyelenggaraan pembukuan/pencatatan:
[a.] Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
[b.] Sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur keadaan kas dan bank, daftar utang piutang, daftar persediaan barang, dan membuat neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap akhir Tahun Pajak;
[c.] Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan;
[d.] Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak harus disimpan selama sepuluh tahun.
[e.] Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia.
� Wajib Pajak Orang Pribadi, di tempat kegiatan atau di tempat tinggal
� Wajib Pajak Badan, di tempat kedudukan

Pembukuan adalah proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data
dan informasi tentang:
� keadaan harta
� kewajiban atau utang
� modal
� Penghasilan dan biaya
� harga perolehan dan penyerahan barang/jasa yang terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang tidak terutang, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% dan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Yang ditutup dengan menyusun Laporan Keuangan berupa Neraca dan Perhitungan Laba rugi pada setiap akhir Tahun Pajak.

Perubahan status HGB ke SHM

Mr. A membeli tanah dan bangunan dengan status HGB [hak guna bangunan]. Pada saat pembelian status tanah langsung ditingkatkan menjadi SHM [sertifikat hak milik]. BPHTB nya dikenakan 1 kali atau 2 kali?

Jawaban: Pembelian tanah dan bagunan dikenakan BPHTB karena terjadi proses peralihan hak antara pembeli dan penjual.

Sedangkan peningkatan hak dari HGB ke SHM tidak dikenakan BPHTB karena konversi hak dengan tidak adanya perubahan nama.

Jadi contoh kasus tersebut, si A hanya dikenakan BPHTB sekali yakni saat tanggal dibuat dan ditandatanginya akta.

Demikian pak.. semoga dapat membantu.[Rimba Prasasti ]



[sumber: Fordis BPHTB.net]

Catatan saya : BPHTB terutang hanya pada saat pembuat akta jual beli.

Hibah ayah ke anak di luar kawin

Pertanyaan: Wajib Pajak mengajukan pengurangan BPHTB karena mendapat hibah dari ayahnya. Penerima hibah adalah anak di luar kawin. Sehingga dalam Akta Kelahirannya tidak disebutkan nama ayahnya tetapi hanya disebutkan anak luar kawin dari ibunya. Apakah bisa diberikan pengurangan sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah? Dengan apa dibuktikan bahwa penerima hibah adalah anak kandung pemberi hibah? Apakan cukup dengan kartu keluarga saja?



Jawaban:
Biasanya anak diluar nikah dipakai oleh orang-orang non pribumi karena pernikahan mereka jaman dahulu tidak dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil, sehingga pihak catatan sipil mengeluarkan akta kelahiran bagi orang non pribumi dikatakan anak diluar nikah. Yang pasti anak dilluar nikah adalah anak kandung, sehingga menurut saya karena di era sekarang tidak ada lagi ada diskriminasi. Karena itu, untuk kasus tersebut dapat diberikan pengurangan. [Tri Setiyo Nugroho]





[sumber: Fordis BPHTB.net]

Tuesday, January 1, 2008

Penghapusan NPWP

Banyak orang memiliki motivasi lain ketika mengajukan pendaftara NPWP. Contohnya, seorang yang membeli kendaraan angkutan umum seperti taksi atau angkutan kota mengajukan NPWP karena akan mengajukan restitusi atas PPN sedan kendaraan yang dia beli. Seorang calon nasabah bank mendaftarakan diri untuk memperoleh NPWP karena akan mengajukan permohonan kucuran kredit ke bank. Tetapi setelah mendapatkan NPWP dan maksudnya sudah terlaksana, NPWP tidak dicabut sehingga kantor pajak setiap tahun mengirim formulir SPT dan mengirim surat teguran.

Banyak Wajib Pajak awam yang kebingungan setelah mendapatkan NPWP. Apa kewajiban perpajakan setelah memiliki NPWP? Sebenarnya, bagi Wajib Pajak pekerja (non-usahawan) kewajiban perpajakan hanya satu, yaitu mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Itu pun tinggal menyalin data-data yang ada di bukti potong yang telah dibuat oleh pemberi kerja atau bendaharawan. Data yang dimaksud adalah penghasilan kotor yang diterima selama setahun, penghasilan bersih, dan pajak terutang yang telah dipotong. Sedernana ko. Apalagi sekarang ada SPT �sangat sederhana� yaitu form 1770SS. Cuma selembar!

Bagi mereka yang sudah memiliki NPWP tetapi sudah tidak memiliki usaha atau pekerjaan lagi, lebih baik mengajukan permohonan pencabutan NPWP. Pencabutan NPWP diperlukan untuk menghindari penerbitan STP (surat tagihan pajak) karena tidak melaporkan SPT. Denda administrasi karena tidak melaporkan SPT mulai Rp.100.000,- sampai dengan Rp.1.000.000,- Padahal ini hanyalah masalah administratif saja.

Penghapusan NPWP dapat dilakukan berdasarkan:
a. Permohonan Wajib Pajak atau Kuasanya; atau
b. Hasil analisis data dan penelitian terhadap administrasi perpajakan oleh Petugas Pajak.

Baik karena adanya permohonan penghapusan NPWP maupun hasil penelitian terhadap administrasi perpajakan, NPWP akan dihapuskan setelah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas fungsional pemeriksa pajak untuk memastikan bahwa NPWP memang �layak� dicabut dan telah memenuhi syarat.

Pasal 2 ayat (6) UU KUP,
�Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:

a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;

c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau

d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."



Syarat penghapusan dan pencabutan NPWP:
[a.] WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotocopy akte/laporan kematian dari instansi yang berwenang;

[b.] Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;

[c.] Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subyek Pajak apabila sudah selesai dibagi disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;

[d.] Pegawai Negeri Sipil/TNI/POLRI pensiun dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak;

[e.] Karyawan yang tidak memiliki usaha atau pekerjaan bebas dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak yaitu yang penghasilannya di bawah PTKP;

[f.] Bendahara Pemerintah/Bendahara Proyek yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak karena yang bersangkutan sudah tidak lagi ditunjuk menjadi bendahara;

[g.] Telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

[h.] Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP untuk menentukan NPWP yang dapat digunakan sebagai sarana administratif pemenuhan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

[i.] WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;

[j.] Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;

[sumber : surat edaran Dirjen Pajak]

Up-date NPWP

Pada saat mengisi formulir pendaftaran NPWP, data-data yang diisikan tentunya data yang ada saat daftar. Pada perjalanan usaha, mungkin saja datanya sudah berubah. Contoh yang paling sering adalah tempat usaha. Bisa jadi pada saat daftar kita punya kios di Mall A, ternyata kios tersebut tidak laku atau sepi pembeli sehingga tempat usaha kita pindah ke Mall B. Otomatis data tempat usaha sudah tidak benar lagi. Karena itu, salah satu kewajiban Wajib Pajak setelah mendapat NPWP adalah memperbaharui data sehingga data di kantor pajak selalu up-to-date.

Berikut adalah kondisi yang harus dilaporkan:
[a.] Perbaikan data karena kesalahan data hasil komputer;

[b.] Perubahan nama WP karena penggantian nama, disyaratkan adanya keterangan dari instansi yang berwenang;

[c.] Perubahan alamat WP karena perpindahan tempat tinggal;

[d.] Perubahan NPWP karena adanya kesalahan nomor (misalnya NPWP cabang tidak sama dengan NPWP Pusat);

[e.] Perubahan status usaha WP dilampiri pernyataan tertulis dari WP atau fotocopy akte perubahan;

[f.] Perubahan jenis usaha karena ada perubahan kegiatan usaha WP;

[g.] Perubahan bentuk Badan;

[h.] Perubahan jenis pajak karena sesuatu hal yang mengakibatkan kewajiban jenis pajaknya berubah;

[i.] Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan NPPKP karena dipenuhinya persyaratan yang ditentukan;

Pembaruan data diatas bisa langsung melalui formulir SPT Tahunan. Biasanya beserta SPT Tahunan, dikirim juga selembar formulir perubahan data yang harus dilampirkan di SPT Tahunan. Selian itu, bisa pula dengan formulir khusus seperti formulir pendaftaran NPWP.

[sumber : Buku Informasi Perpajakan 2004]

Mendapatkan NPWP

Pasal 2 ayat (1) UU KUP, �
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak
.�

Penjelasan dari pasal tersebut, diantaranya, �Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
.�

Karena RUU PPh sampai dengan hari ini belum selesai dibahas di DPR (setahu saya sudah dimasukkan sejak tahun 2005), maka bagaimana syarat subjektif dan syarat objektif lebih baik menunggu perubahan terakhir UU PPh 1984. Jadi kita langsung saja ke syarat-syarat memperoleh NPWP.

1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan:
Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.

2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan:
Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor;
Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.

3. Untuk WP Badan:
Fotocopy akte pendirian;
Fotocopy KTP salah seorang pengurus;
Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.

4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong:
Fotocopy surat penunjukan sebagai bendaharawan;
Fotocopy tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.

5. Apabila WP pemohon berstatus cabang:
Fotocopy kartu NPWP atau Bukti Pendaftaran WP Kantor Pusatnya.

[sumber : Buku Informasi Perpajakan 2004]

Selain syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, pendaftar juga harus mengisi formulir yang telah disediakan. Bagi pendaftar yang langsung datang ke KPP, formulir yang diperlukan bisa diminta langsung ke KPP. Dan formulir tersebut �wajib gratis�. Formulir tersebut diisi dan ditandatangani oleh pendaftar. Jika pendaftar orang lain, kuasa atas nama orang lain, maka harus ada surat kuasa dari orang yang dimaksud. Formulir dan syarat-syaratnya akan diteliti saat diterim oleh petugas di KPP. Jika telah lengkap, maka akan diproses lebih lanjut. Sehari kemudian (jika tidak ada gangguan teknis seperti listrik mati), kartu NPWP sudah bisa didapatkan [lihat SOP].

Istilah Usahawan
Wajib Pajak Orang Pribadi non-usahawan adalah Wajib Pajak karyawan yang akan mendaftarkan diri. Istilah usahawan tidak hanya diperuntukan bagi mereka yang memiliki penghasilan besar saja. Orang pribadi yang memiliki kios, warung, atau bahkan pedagang lapak sekalipun bisa disebut usahawan. Seorang usahawan adalah seorang yang independen. Istilah lain yang sejenis dengan usahawan adalah majikan, dan pengusaha.

Wajib Pajak Orang Pribadi terbagi dua, yaitu karyawan dan majikan. Karyawan adalah orang yang bekerja pada orang lain. Penghasilannya biasa disebut gaji atau upah. Atas penghasilan ini, sekarang, wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan walaupun oleh majikan telah dipotong dan dilaporkan. Jika kita hanya memiliki satu pemberi kerja, satu majikan, maka kita tidak perlu khawatir karena kewajiban perpajakan kita hanya membuat SPT, sedangkan kewajiban membayar PPh sudah �didelegasikan� kepada majikan. Jika ada kekurangan pembayaran, kewajiban ada dipihak majikan.

Tetapi jika kita memili dua sumber penghasilan, dua majikan, satu majikan tetapi nyambi usaha kecil-kecilan, atau satu majikan tetapi suami dan istri bekerja, maka pasti akan ada kekurangan pajak penghasilan yang harus kita bayar pada akhir tahun. Dengan demikian, kewajiban kita lain selain membuat SPT.

Tanda Garis Miring ( / )
Garis miring pada persyaratan �KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor� diatas bisa diartikan sebagai �atau�. Artinya, persyaratan untuk mendapatkan NPWP bisa dengan hanya fotokopi KTP, hanya dengan fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi SIM atau hanya dengan fotokopi Paspor. Yang terakhir mungkin bagi NPWP warga negara asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari.

Surat Izin Usaha
Tidak perlu dipusingkan dengan persyaratan �Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang�. Jika memang tidak punya surat ijin, lebih baik bikin surat pernyataan saja bahwa pendaftar belum memiliki surat ijin dari Pemda setempat. Tetapi jika petugasnya ngotot mengharuskan adanya surat ijin, bisa dibikin dari surat keterangan dari Desa atau Lurah. Ketentuan instansi yang berwenang tidak bisa dipastikan. Bisa perdagangan, dinas perindustrian, dinas pariwisata, atau dinas pertambahan. Bahkan bisa pula dari keluarahan.

Pengurus WP Badan
Pengurus WP Badan bisa komisaris, presiden direktur, direktur, ketua, pesero aktif, anggota firma, atau istilah lain yang digunakan oleh pendaftar. Pengurus ini adalah orang yang bertanggung jawab bagi kewajiban perpajakan, baik langsung atau tidak langsung. Walaupun tidak memiliki jabatan dalam badan tersebut, tetapi seseorang bisa disebut pengurus jika mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan/badan.

Khusus untuk pemegang saham, walaupun sedikit, ada kewajiban memiliki NPWP. Siapapun yang memiliki saham atas perusahan yang aktif, wajib memiliki NPWP. Karena itu, bagi pengurus yang pemegang saham, bisa sekaligus minta NPWP pemegang saham.

NPWP

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Ini pengertian resmi yang diberikan oleh undang-undang. Lebih ringkasnya, menurut saya, NPWP adalah identitas Wajib Pajak. NPWP harus dibuat unik, tidak ada yang sama untuk subjek pajak (orang) yang berbeda. Nama boleh sama, dan memang banyak yang sama, tetapi memiliki NPWP yang berbeda-beda.

Banyak yang mempertanyakan fungsi dan manfaat NPWP. Berikut ini adalah fungsi NPWP, setidaknya dilihat dari sisi administrasi pajak :

1. Untuk mengetahui identitas Wajib Pajak;
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan;
3. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan;
4. Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP;
5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan. Misal: Dokumen Impor (PPUD, PIUD).

Jika mau diringkas, sebenarnya fungsi dari NPWP ada dua, yaitu : identitas Wajib Pajak dan media pengawasan kewajiban perpajakan. Kecuali nomor 2, nomor 1 sampai dengan nomor 5 diatas lebih dekat ke fungsi identitas. Contoh, kita membuat laporan perpajakan (SPT), maka NPWP akan mempertegas siapa pembuat SPT. Saat kita bayar pajak (SSP), akan jelas siapa pembayar pajak tersebut. Kita bayar PPh Pasal 22 impor dan PPN impor, atas nama siapa pajak tersebut, akan diakui sesuai dengan NPWP yang dicantumkan. Begitu juga ketika kita pergi ke luar negeri dan bayar Fiskal Luar Negeri, maka Fiskal Luar Negeri tersebut hanya dapat dikreditkan oleh orang yang sama NPWP-nya.

Sedangkan fungsi pengawasan bisa dilihat dua sisi. Sisi pertama, pengawasan dari Wajib Pajak, pembayar pajak. Jika kita telah membayar pajak, maka kita mesti tahu berapa pajak yang telah dibayar ke Kas Negara. Berapa kontribusi kita kepada negara.

Jika kita karyawan, NPWP ini akan sangat berguna. Dengan memiliki NPWP, kita memiliki kewajiban menyampaikan SPT. Disatu sisi, memang memberatkan, merepotkan bagi Wajib Pajak. Apalagi bagi Wajib Pajak awam terhadap perpajakan. Tetapi, sisi positifnya, Wajib Pajak bisa mengawasi pajak penghasilan (PPh) yang telah dipotong oleh pemberi kerja (majikan). Kita harus meminta bukti potong, berapa PPh yang telah dipotong dalam satu tahun. Kemudian kita, cocokkan kebenarannya.

Prakteknya, saya sering menemukan laporan SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang dipegang oleh majikan dibuat �RAHASIA�. SPT tersebut hanya dipegang oleh boss dan karyawan (walaupun petugas yang disuruh) dilarang membaca. Naluri pemeriksa langsung mempertanyakan kebenaran besarnya gaji dan potongan PPh yang ada di SPT dan sebenarnya yang diterima oleh karyawan.

Salah satu trik untuk memperkecil atau menghindari kewajiban memotong PPh Pasal 21 adalah dengan �menyebarkan� penghasilan kepada karyawan kecil. Contohnya: direktur yang memiliki penghasilan Rp.100 juta dipangkas hanya menjadi Rp.40 juta saja. Kemana yang Rp.60 juta? Bisa disebar ke beberapa karyawan, misalnya dibagi rata ke 6 orang karyawan, masing-masing Rp.10 juta. Tetapi, karena karyawan tersebut memiliki penghasilan kecil, misalnya Rp 10 juta saja, maka ketika ditambahkan Rp 10 juta lagi, maka akan terkena tarif kecil. Artinya, trik ini dimaksudkan untuk menghindari tarif tinggi, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong kecil.

Majikan akan berpikir ulang untuk mengulang praktek seperti diatas jika karyawan meminta bukti potong (form 1721 � A1) untuk mengisi SPT Orang Pribadi karena memiliki NPWP. Bukti potong yang diminta oleh karyawan harus sama dengan yang dilaporkan ke KPP di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Artinya, karyawan dapat mengawasi berapa penghasilan dan PPh Pasal 21 yang dilaporkan ke KPP dan yang benar-benar yang diterima.

Manfaat NPWP
Manfaat memiliki NPWP yang sering dirasakan oleh Wajib Pajak adalah syarat kredit bank. Biasanya, jika kita meminjam uang Rp. 50 juta keatas, bank mencantumkan persyaratan NPWP. Nasabah wajib memiliki NPWP jika kreditnya mau cair.

Bagi negara-negara maju, isu perpajakan sering muncul di perpolitikan, terutama pada saat kampanye. Hal ini karena, �rasa kebanggaan� membayar pajak sudah lama ditumbuhkan. Para pembayar pajak besar sering menuntut beberapa fasilitas lebih dari negara karena kontribusi mereka terhadap pendapatan negara. Dan kontribusi kita hanya bisa dihitung pada saat membuat SPT dan melaporkannya pada kantor pajak.

Karena banyak pajak yang dipotong melalui fihak lain (withholding tax) maka Wajib Pajak sering tidak menyadari, berapa pajak yang sudah dibayar. Berbeda dengan pajak yang dibayar langsung setiap bulan, PPh Pasal 25, withholding tax sering terlupakan karena tidak terasa berat. Pada saat membuat SPT, semua pajak yang telah dibayar, baik melalui fihak lain (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23) maupun dibayar sendiri (PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29) akan dihitung, dan dijumlahkan sehingga jelas berapa pajak yang sebenarnya telah kita bayar.

Seharusnya, membayar pajak merupakan kebanggaan warga negara karena merupakan kontribusi kita kepada negara. Undang-undang dengan jelas menyebutkan [Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2007], �Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.� Ini semacam pengakuan resmi dari negara.

Mungkin jika istilah Wajib Pajak diganti dengan istilah �kontributor keperluan negara� nuansanya akan beda dan akan menumbuhkan rasa kebanggaan!

Cag!