Friday, June 27, 2008

Lebih Lanjut Sunset Policy

Sunset Policy pada dasar untuk dua orang, yaitu orang yang belum memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008, dan orang yang telah memiliki NPWP sampai dengan 31 Desember 2007. Untuk orang yang pertama, sunset policy berarti mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menghitung, membayar dan melaporkan SPT Tahunan PPh WP OP untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya. Sampai kapan? Aturannya sih sampai lima tahun ke belakang jika memang sejak tahun 2002 kita telah memiliki usaha tetapi belum lapor. Berikut ini poin-poin penting yang saya catat dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-31/PJ/2008 yang ditandatangani tanggal 19 Juni 2008.

 

Wajib Pajak diatas adalah Wajib Pajak orang pribadi yang:

[1]. secara sukarela mendaflarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008. Termasuk dalam kriteria Wajib Pajak yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 Wajib Pajak yang memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak berdasarkan hasil ekstensifikasi pada tahun 2008.;

 

[2]. tidak   sedang   dilakukan   Pemeriksaan   Bukti   Permulaan,   penyidikan,   penuntutan,   atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;

 

[3]. menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif paling lambat tanggal 31 Maret 2009; dan

 

[4]. melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul, sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (PPh OP) disampaikan.

 

[5]. Dalam bal Wajib Pajak memiliki bukti pemotongan/bukti pemungutan Pajak Penghasilan sebelum mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, Pajak penghasilan yang tetah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai kredit pajak atas penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut.

 

[6]. Surat Pemberitahuan Tahunan  Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang  Pribadi menggunakan formulir Surat Pemberilahuan Tahunan  Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak yang bersangkutan dan menuliskan "SPT berdasarkan Pasal 37A UU KUP" di bagian atas tengah SPT Induk dan setiap Lampirannya.

 

[7]. dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atas pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang yang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut disampaikan.

 

[8]. disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempal Wajib Pajak lerdaflar paling lambat tanggal 31 Maret 2009.

 

[9]. Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga dilakukan secara langsung "dengan" tanpa menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

 

 

Sedangkan bagi Wajib Pajak yang sudah memiliki NPWP sampai dengan 31 Desember 2007 berlaku ketentuan sebagai berikut:

[1]. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasitan Wajib Pajak Orang Pribadi [atau Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan] sebelum Tahun Pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

[2]. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan harus memenuhi persyaratan:

 

1)    telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2008;

 

2)    terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum diterbitkan surat ketetapan pajak;

 

3)    terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum dilakukan pemeriksaan  atau   dalam   hal  sedang   dilakukan   pemeriksaan,   Pemeriksa   Pajak  belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;

 

4)    telah dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, tetapi Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan tentang tindak pidana di bidang perpajakan;

 

5)    tidak   sedang   dilakukan   Pemeriksaan   Bukti   Permulaan,   penyidikan,   penuntutan,   atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;

 

6)    menyampaikan   pembetulan   Surat   Pemberilahuan   Tahunan   Tahun   Pajak   2006   dan sebelumnya paling lambat langgal 31 Desember 2008; dan

 

[3]. melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

 

[4].  Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan menyatakan lebih bayar,    pembetulan    Surat   Pemberitahuan   Tahunan    Pajak   Penghasilan   dianggap   sebagai pencabutan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tercantum dalam Surat Pemberilahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan.

 

[5]. Berkaitan    dengan    Wajib   Pajak   yang   sedang   dilakukan    pemeriksaan   terhadap   Surat Pemberitahuan    Tahunan     Pajak    Penghasilan     dan     menyampaikan     pembetulan    Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

 

[5.a]. Dalam  hal Wajib  Pajak  sedang  diperiksa dan  pemeriksaan  yang  sedang  dilaksanakan tersebut juga mencakup pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya, pemeriksaan terhadap seluruh jenis pajak dihentikan, kecuali: pemeriksaan  terhadap  SPT Tahunan PPh Pasal  21 dan/atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar; atau pemeriksaan   terhadap   Surat  Pemberitahuan  jenis  pajak  lainnya  yang   berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak tetap dilanjutkan. Penghentian pemeriksaan dilakukan untuk seluruh jenis pajak dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.

 

[5.b]. Berkaitan  dengan  Wajib  Pajak   yang  tidak  sedang   dilakukan   pemeriksaan  terhadap  Surat Pemberitahuan    Tahunan     Pajak    Penghasilan     dan     menyampaikan     pembetulan    Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, namun sedang dilakukan pemeriksaan terhadap Surat  Pemberitahuan jenis  pajak lainnya untuk periode yang  sama,   pemeriksaan tersebut dihentikan dengan membuat pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak, kecuali pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya yang menyalakan lebih bayar; atau berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak tetap dilanjutkan.

 

[6].  Pajak yang masih harus dibayar rnenjadi lebih besar sebagaimana dimaksud pada huruf a terjadi sebagai akibat dari bertambahnya:

1)    Pajak Penghasilan Pasal 29;

2)    Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan/atau

3)    Pajak Penghasilan Pasal 15

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana tetah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang dibayar sendiri dan dilaporkan dalam Surat Pemberilahuan Tahunan Pajak Penghasilan serta dibuktikan dengan pembayaran menggunakan Surat Setoran Pajak.

 

[7]. Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak yang bersangkutan dan menuliskan "Pembetulan berdasarkan Pasal 37A UU KUP" di bagian atas tengah SPT Induk dan setiap Lampirannya.

 

[8]. Dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atas pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang yang harus dilunasi sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut disampaikan.

   

[9]. Disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tanggal 31 Desember 2008.

 

Data dan/atau informasi yang tercantum dalam SPT sunset policy tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya!

 

Cag.

 

Merger Dengan Nilai Buku

Dibawah ini merupakan poin-poin yang saya catat dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ/2008 yang ditandatangani pada tanggal 19 Juni 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin Menggunakan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Pengalihan harta seharusnya menggunakan nilai pasar atau harga wajar. Karena itu, penggunaan nilai buku merupakan fasilitas perpajakan yang harus memenuhi beberapa syarat atau ketentuan tertentu. Nah, ketentuan-ketentuan tersebut saya sarikan dibawah ini.

Wajib   Pajak  yang  melakukan   merger  [penggabungan usaha atau peleburan usaha] dapat  menggunakan nilai buku. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :

[1]. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya  salah  satu  badan  usaha  yang  tidak  mempunyai  sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil. Sisa kerugian adalah sisa kerugian fiskal dan komersial.

 

[2]. Peleburan  usaha adalah penggabungan   dari   dua   atau   lebih   Wajib   Pajak   Badan   yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.

 

[3]. Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama. Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang   dapat menggunakan nilai buku adalah :

[3.a]. Wajib   Pajak   yang   belum   Go  Public  yang   akan   melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau

 

[3.b].   Wajib Pajak yang telah  Go Public sepanjang seluruh  badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).


[4].
Wajib   Pajak  yang  melakukan   merger wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 

[4.a]. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;

 

[4.b]. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait. Dan pelunasan pajak ini wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak yang menerima harta, termasuk utang pajak dari cabang atau perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak lokasi.; dan

 

[4.c]. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test), yaitu :

 

[4.c.1]. tujuan utama dari merger dan pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak;

[4.c.2]. kegiatan   usaha   Wajib   Pajak   yang   mengalihkan   harta   masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif merger;

[4.c.3]. kegiatan   usaha  Wajib  Pajak   yang   mengalihkan  harta   sebelum merger terjadi wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;

 

[4.c.4]. kegiatan usaha Wajib Pajak yang  menerima harta dalam rangka merger tetap berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;

 

[4.c.5] kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran usaha wajib berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif pemekaran usaha; dan

 

[4.c.6]. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger atau pemekaran usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha. Apabila melewati jangka waktu 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger   atau   pemekaran   usaha,   Wajib   Pajak   tersebut   wajib menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak dijual demi meningkatkan efisiensi perusahaan dan disertai dengan bukti pendukung. Pernyataan tertulis tersebut disampaikan  kepada  Kepala  Kantor Wilayah  Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang menerima  harta terdaftar paling lama   1   (satu)  bulan  setelah   terjadinya   penjualan  harta  dengan menggunakan   bentuk   formulir   sebagaimana   ditetapkan   dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ/2008.

 

 [5]. Permohonan diajukan oleh :

 

[5.a]. Wajib Pajak yang menerima harta, dalam hal dilakukan merger; atau

 

[5.b]. Wajib Pajak yang mengalihkan harta, dalam hal dilakukan pemekaran usaha.

[6]. Permohonan diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang   membawahi  Kantor  Petayanan   Pajak  tempat  Wajib   Pajak pemohon  terdaftar paling  lama  6 (enam)  bulan  setelah  tanggal efektif merger atau pemekaran usaha dilakukan, dengan ketentuan :

 

[6.a]. menggunakan    surat    permohonan    sesuai    dengan    format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ/2008;

 

[6.b]. melampirkan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan   melakukan   merger   atau   pemekaran   usaha   dengan disertai    bukti    pendukung    sebagaimana    dimaksud    dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ/2008;

 

[6.c]. melampirkan daftar isian dan surat pernyataan dalam rangka business  purpose   test  sesuai   dengan   format   sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ/2008;

 

 

[6.d]. Kepala   Kantor   Wilayah   Direktorat   Jenderal   Pajak   atas   nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak secara lengkap   dengan   menggunakan   bentuk   formulir   sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ/2008;

 

[6.e]. Apabila jangka waktu satu bulan telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama   Direktur   Jenderal   Pajak   belum   menerbitkan   keputusan, permohonan   Wajib   Pajak   dianggap   diterima   dan   kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan.

 

Semoga bermanfaat.

Friday, June 13, 2008

Penilaian Kembali (Revaluasi)

Pada tanggal 23 Mei 2008 Menteri Keuangan telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. Peraturan Menteri Keuangan ini menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002. Di PMK ini terdapat kententuan baru yang sebelumnya belum diatur. Menurut catatan saya, peraturan yang baru tersebut :

[a.] Revaluasi hanya bisa dilakukan setelah lima tahun dari revaluasi sebelumnya, Pasal 3 ayat (2);
Sebelumnya, batasan revaluasi hanya menyebutkan �satu kali dalam tahun buku yang sama�. Artinya, revaluasi bisa dilakukan berkali-kali sebelum lima tahun asal tahun buku yang beda. Tapi sekarang hanya boleh lima tahun sekali. Kurang dari lima tahun tentu saja tidak boleh :D

[b.] Revaluasi dilakukan paling lambat satu tahun sejak tanggal laporan penilai, Pasal 4 ayat (3);
Walaupun sebelumnya tidak disebutkan tetapi untuk daerah yang dinamis seperti Jakarta, tentu saja nilai aktiva tetap tahun ini akan berbeda dengan nilai aktiva tetap tahun depan. Misalnya nilai pasar atas tanah. Karena itu sangat wajar jika revaluasi dilakukan tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan penilai karena jika lebih lama lagi kemungkinan besar nilainya akan berubah lagi. Sesuai dengan ketentuan di Pasal 4 ayat (2), jika revaluasi tidak mencerminkan nilai wajar pasar yang sebenarnya, maka nilai revaluasi hasil perusahaan penilai atau ahli penilai bisa dikoreksi [ditetapkan kembali] oleh Direktorat Jenderal Pajak.

[c.] Aktiva yang telah direvaluasi tidak boleh dijual atau dialihkan sebelum habis masa manfaatnya, Pasal 8;
Untuk aktiva tepak kelompok 1 dan kelompok 2, tidak ada perubahan ketentuan periode larangan dijual. Diketentuan sebelumnya memang diatur bahwa aktiva tetap hasil revaluasi tidak boleh dijual sebelum habis masa manfaatnya. Tetapi ketentuan baru ada perbedaan perlakuan untuk kelompok 3, kelompok 4, bangunan dan tanah. Khusus untuk kelompok 3, kelompok 4, bangunan dan tanah, batas waktu �tidak boleh dijual� selama 10 (sepuluh) tahun. Jika pada batas waktu tersebut telah terjadi pengalihan aktiva hasil revaluasi, maka dikenakan tambahan PPh.

Selisih lebih revaluasi kenakan PPh final sebesar 10%. Tetapi jika aktiva telah hasil revaluasi dijual sebelum batas waktu diatas, maka dikenakan PPh Tambahan sebesar tarif tertinggi PPh Badan dikurangi 10%. Berdasarkan UU NO. 17 tahun 2000 tarif tertinggi Pasal 17 adalah 30%. Maka tarif PPh Tambahan adalah 30% - 10% = 20% dan bersifat final!

Ketentuan sebelumnya, PPh Tambahan tersebut tarifnya ditentukan, yaitu 20%. Selain itu, batasan tidak boleh dijual juga hanya masa manfaat. Contoh, masa manfaat bangunan 20 tahun. Ketentuan sebelumnya, bangunan yang telah direvaluasi tidak boleh dijual sebelum 20% sejak revaluasi [habis masa manfaatnya]. Tetapi sekarang, batasan bangunan hanya 10 tahun saja. Pada tahun yang ke 11 [sebelas] aktiva hasil revaluasi untuk kelompok 3, kelompok 4, bangunan dan tanah bebas dijual tanpa ada PPh Tambahan!

[d.] Atas selisih lebih hasil revaluasi diatas nilai buku dikenakan PPh Final sebesar 10%, Pasal 5;
Sebelumnya bunyi tarif PPh final sebagai berikut:
(1) Atas selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap harus dilakukan terlebih dahulu, meskipun dalam tahun pajak dilakukannya penilaian kembali terdapat penghasilan kena pajak dari keuntungan usaha dan atau sumber lainnya.


Sedangkan bunyi ketentuan baru :
Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).

Artinya, untuk menghitung PPh revaluasi sekarang tidak boleh memperhitungkan kompensasi kerugian fiskal. Selisih lebih langsung dikalikan tarif 10%. Karena itu, mungkin saja Wajib Pajak yang sedang mengalami kerugian dan memiliki kompensasi kerugian fiskal tetap diharuskan membayar PPh final atas selisih lebih revaluasi.

[e.] Angsuran PPh Final, Pasal 6;
Wajib Pajak yang mengalami kesulitan keuangan dapat mengangsung PPh final yang terutang. PPh final tersebut dapat diangsur paling lama 12 bulan. Ketentuan sebelumnya, masa angsuran bisa sampai lima tahun. Untuk PPh final yang terutang di atas Rp2.trilyun s.d. Rp4.trilyun boleh mengangsur 2 (dua) tahun. Untuk PPh final yang terutang di atas Rp4.trilyun s.d. Rp6.trilyun boleh mengangsur 3 (tiga) tahun. Untuk PPh final yang terutang di atas Rp6.trilyun s.d. Rp8.trilyun boleh mengangsur 4 (dua) tahun. Untuk PPh final yang terutang di atas Rp8.trilyun boleh mengangsur selama 5 (lima) tahun. Nah, sekarang mah angsuran cuma satu tahun saja.


Cag.