Friday, April 18, 2008

Swakelola

Berkaitan dengan jawaban email sebelumnya, ternyata apa yang ditanyakan dan jawaban tidak nyambung. Pak Tony menyebut "tenaga ahli" dan saya langsung merujuk ke PPh Pasal 21 atas tenaga ahli. Padahal ada istilah lain [yang diabaikan] yaitu istilah "swakelola".

Setelah dijelaskan lebih lanjut oleh Pak Tony, ternyata swakelola itu termasuk "proyek" dalam istilah awam. Karena itu, pemotongan PPh Pasal 21 atas proyek berbeda dengan PPh Pasal 21 atas tenaga ahli. Berikut pembahasannya.

Swakelola
Pasal 6 Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 menyebutkan :
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan :
a. dengan menggunakan penyedia barang/jasa;
b. dengan cara swakelola.


Pasal 36 Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 menyebutkan [ayat (3) dari pasal ini tidak di'tampilkan' karena terlalu panjang] :
(1) Swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri.
(2) Swakelola dapat dilaksanakan oleh :
a. pengguna barang/jasa;
b. instansi pemerintah lain;
c. kelompok masyarakat/lembaga swadaya masyarakat penerima hibah.
(3) ...
(4) Prosedur swakelola meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan di lapangan dan pelaporan.

Dan, Pak Tony memberikan informasi tambahan sebagai berikut :
Nah, kami termasuk yang kedua. Jadi pekerjaan yang seharusnya dikerjakan sendiri oleh Pengguna Barang dan Jasa (dalam hal ini Dinas di Pemda) dikerjakan oleh Instansi Pemerintah Lain (dalam hal ini Perguruan Tinggi). Nah, dalam pengerjaannya itu menggunakan tenaga ahli yang beberapa di antaranya dosen di PTN tersebut yang notabene PNS. Lebih jelas ttg swakelola sy sertakan File presentasi ttg swakelola berdasarkan Kepress 80 Tahun 2003.

Dari File presentasi yang disertakan salah satunya menyebutkan :
c. Penggunaan UYHD, dilakukan oleh instansi pemerintah pelaksana swakelola;
d. Pembayaran gaji tenaga ahli tertentu, dilakukan secara kontrak konsultan perorangan;


PPh Pasal 21
Berdasarkan uraian diatas, kemudian saya baca lagi Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 15/PJ/2006 terutama lampiran yang memuat contoh-contoh.
Lampiran III Petunjuk Umum Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Yang Berstatus Bukan Sebagai Pegawai Tetap atau Pegawai Tidak Tetap, Yang Meliputi :
1. tenaga ahli;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
7. agen iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
10. peserta perlombaan;
11. petugas penjaja barang dagangan;
12. petugas dinas luar asuransi;
13. peserta pendidikan, pelatihan dan pemagangan yang bukan calon pegawai;
distributor multilevel marketing atau direct selling atau kegiatan sejenisnya.

� PPh Pasal 21 bagi tenaga ahli dihitung dengan cara menerapkan tarif 15% x Perkiraan Penghasilan Neto (Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto = 50% x Jumlah bruto imbalan yang diterima atau diperoleh).

� PPh Pasal 21 bagi distributor multilevel marketing atau direct selling atau kegiatan sejenisnya dihitung dengan cara menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) bulan takwim setelah dikurangi PTKP sebulan.

� PPh Pasal 21 bagi selain tenaga ahli dan distributor multilevel marketing atau direct selling atau kegiatan sejenisnya, yang tersebut pada angka 2 sampai dengan 13, dihitung dengan cara menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) bulan takwim.

� Catatan : Dalam hal pemberi jasa dalam segala bidang dalam menjalankan pekerjaaannya memperkerjakan orang lain sebagai pegawai, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pemberi jasa yang bersangkutan dipotong Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU PPh dan ketentuan pelaksanaannya.


Dari kutipan lampiran diatas saya ulangi poin yang menentukan :
� PPh Pasal 21 bagi .. yang tersebut pada angka 2 sampai dengan 13, dihitung dengan cara menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) bulan takwim.
Kemudian angka yang sesuai dengan swakelola [menurut saya] adalah angka delapan, yaitu :
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat;


PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli Swakelola
Dari uraian diatas, kesimpulan saya adalah :
PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima tenaga ahli pada swakelola dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh 1984 [tarif progressif]. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan bruto. Tidak dipotong oleh PTKP. Supaya lebih jelas saya berikan contoh :

Penghasilan yang diterima tenaga ahli swakelola sebesar Rp.75.000.000,- per bulan. Jika dua bulan berarti Rp.150.000.000,- Karena ketentuan di petunjuk menyebutkan "diperoleh selama 1 (satu) bulan takwim" maka PPh Pasal 21 dihitung per bulan.
Penghitungan PPh Pasal 21 :
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
Jumlah PPh Terutang = Rp 7.500.000,00

Bagaimana kalau dibayar sekaligus [setelah dua bulan] sebesar Rp.150.000.000,- maka PPh Pasal 21 dihitung sebagai berikut:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp 50.000.000,00 = Rp12.500.000,00
Jumlah PPh Terutang = Rp23.750.000,00

Loh, ko beda? Ga apa-apa! PPh Pasal 21 adalah cicilan [kredit] pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, semua penghasilan harus dilaporkan dan dikenakan tarif progressif. Dan, perhitungan PPh yang harus dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi selama setahun akan terlihat di SPT Tahunan.

Jika cicilan PPh-nya kecil maka pada akhir tahun akan membayar [kekurangannya] lebih besar. Jika cicilan PPh-nya besar maka apada akhir tahun akan membayar lebih kecil. Begitu saja!

Jika dihitung per tahun, semua Wajib Pajak akan membayar Pajak Penghasilan dengan tarif progressif. Asas keadilan tetap diterapkan.

Salaam.

Wednesday, April 16, 2008

Surat Perbendaharaan Negara

Surat Perbendaharaan Negara [SPN] adalah Surat Utang Negara [SUN] yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Dan, SUN adalah surat berharga yang berupa pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran pokok dan bunganya oleh Negara RI sesuai dengan masa berlakunya [SPN atau obligasi].

Penghasilan yang diterima Wajib Pajak berupa diskonto SPN dipotong PPh Final. Diskonto SPN dihitung sebagai berikut :
[1] Selisih lebih antara nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di pasar [perdana atau sekunder],
[2] Selisih lebih antara harga jual di pasar sekunder dengan harga perolehan di pasar perdana atau pasar sekunder. Gampangnya, selisih lebih antara harga perolehan dengan harga jual.

Tarif PPh Final atas diskonto SPN adalah 20%. Dengan catatan, penerima diskonto SPN merupakan Wajib Pajak Luar Negeri, maka ketentuan pemotongan PPh mengacu pada tax treaty yang berlaku.

Berdasarkan PP 11 Tahun 2006 pemotong PPh Final atas diskonto SPN Bank Indonesia sebagai agen pembayar bunga dan pokok Surat Utang Negara. Sekarang, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2008 PPh Final ini dipotong oleh
[a] emiten atau kustodian atas diskonto SPN yang diterima pada saat jatuh tempo.
[b] dipotong juga oleh broker atau bank atas diskonto SPN yang diterima di pasar sekunder.

Pengecualian pemotongan PPh Final ini hanya jika penerima diskonto
[1] Bank dalam negeri atau di dalam negeri.
[2] Dana Pensiun yang telah diakui Menteri Keuangan.
[3] Reksadana yang terdaftar pada Bapepam LK.

Salaam.

Tuesday, April 15, 2008

PPh Pasal 21 Tenaga Ahli

Bagaimana cara menghitung pph 21 tenaga ahli suatu pekerjaan swakelola antara lembaga PTN dan salah satu dinas pemda. Pekerjaan tersebut dikerjakan selama 2 bulan dengan komposisi tenaga ahli 3 PNS dan 2 Non PNS. Bagaimana ya cara menghitung pph21 dari honor mereka?

Atas jawabanya sy ucapkan terima kasih.

tony

Jawaban saya
Email dari Pak Tony diatas masuk ke Spam. Saya tidak tahu, kenapa masuk spam padahal dari sesama Gmail. Kebetulan ada teman yang ngirim email tapi tidak masuk ke surat masuk. Setelah diteliti masuk ke spam.

Sering kali saya langsung menghapus spam tanpa meneliti pengirimnya. Karena itu, mungkin saja beberapa email masuk yang bermaksud menanyakan perpajakan langsung dihapus. Karena itu, jika dalam dua minggu email belum dijawab, tidak ada salahnya mengirim email lagi. Kecuali tanya-nya iseng :-)

PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli sebesar 7,5%. Dari mana angka tersebut? Berikut kutipannya.

Pasal 9 ayat (7) PER-15/PJ/2006
(7) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.
(8) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.


Tarif PPh Pasal 21 diatur di Pasal 12. Karena PER-15/PJ/2006 merupakan perubahan dari KEP-545/PJ/2000 dan Pasal 12 tidak dirubah maka ketentuan tarif masih menggunakan KEP-545/PJ/2000. Inilah bunyi lengkapnya.
Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8)

Artinya, atas penghasilan tenaga ahli : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dipotong PPh Pasal 21 sebesar 50% x 15% atau tarif efektif 7,5%.

Sekali lagi, tenaga ahli yang dimaksud di PPh Pasal 21 terbatas hanya pada profesi diatas. Selain itu, berarti masuk ke PPh Pasal 23.

Salaam.

Pajak Serahkan Berkas ke Jaksa Pekan Depan

DENPASAR. Penyidik Pajak telah selesai memeriksa sebagian tersangka dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri Group. Pekan depan, penyidik pajak akan menyerahkan berkas pemeriksaan 12 tersangka kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung.

Selanjutnya, giliran jaksa yang membuat berkas tuntutan dan melimpahkannya ke pengadilan. "Kami menunggu kesiapan jaksa untuk meneruskan kasus Agrian Agri, setelah kami menyerahkannya pekan depan, "kata Direktur Intelijen dan penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Muchamad Tjiptardjo.

Belasan tersangka tersebut, sebagian besar saat ini duduk sebagai direksi di Asian Agri. Hingga kemarin, aparat pajak masih meyakini bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 1,4 triliun.

Tjiptardjo menjelaskan bahwa modus penggelapan pajak di Asian Agri ada dua. Pertama, menjual hasil produksi crude palm oli (CPO) dengan harga murah kepada grupnya diluar negeri. Kedua, menaikkan berbagai macam sehingga mengurangi kewajiban membayar pajak penghasilan.

Meski sudah masuk ke Kejaksaan Agung, aparat pajak berjanji terus memantau perkembangannya hingga persoalannya tuntas. "Kami baru mulainya menyidik kasus ini pada Mei 2007 kan belum jalan setahun. Kasus Al-Capone di Amerika Serikat saja baru selesai selama tiga tahun dan tak ada yang protes, "kata Tjiptardjo.

Dia bilang, berkas acara pemeriksaan mencapai 1.500 halaman per tersangka. Pajak ingin proses hukum kasus ini bisa berjalan, dan nantinya tidak menumpuk di kejaksaan. "Jaksa juga perlu mempelajari berkas acara pemeriksaan itu untuk membuat tuntutan, "katanya.

Pajak juga telah menggandeng polisi untuk mendatangkan secara paksa Sukanto Tanoto, pemilik Asian Agri. "Kedatangan Sukanto Tanoto kami perlukan untuk memberikan klarifikasi. Masak sebagai pemilik tidak tahu menahu urusan perusahaannya, "katanya.

Meski begitu, Tjiptardjo bilang saat ini penyidik pajak terus mendalami keterkaitan antara kasus ini dengan sang pemilik. Sehingga tidak menutupi kemungkinan tersangka baru akan bertambah lagi.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengaku belum mendapat pemberitahuan dari pajak soal rencana pelimpahan berkas pemeriksaan. "Resminya belum sampai ke saya, "katanya.

disalin dari http://10.23.254.215/web

Monday, April 14, 2008

Tiara Dewata Group

Dari web Kanwil Denpasar
Denpasar - Perusahaan kelas atas di Denpasar, Tiara Dewata Group diduga menggelapkan pajak periode 2005 dan 2006. Saat dikonfirmasi, Tiara Dewata mengaku tak bisa banyak menjelaskan.

Operasional Manager Tiara Dewata, R Novie Setio Utomo yang ditemui di Tiara Dewata, Jalan Sudirman, Denpasar, Kamis (10/4/2008) hanya mengakui bahwa memang ada petugas pajak yang datang sejak tanggal 11 Maret. Saat ditanya apakah benara ada penyimpangan, Novie mengaku hanya orang dari pajak yang tahu.
�Kita hanya diminta mengumpulkan bukti-bukti, seperti pembukuan, tanda bukti pembayaran. Sudah ada beberapa orang yang diperiksa, berkasnya dibawa ke kantor pajak,� ujarnya.

Selebihnya, saat ditanya mengenai adanya pembukuan ganda atapun kinerja Tiara Dewata Group, termasuk pemiliknya, Novie tak mau menjelaskan lebih detail dengan alasan bukan sebagai pihak yang berwenang.

Direktur Inteligen dan Penyidikan Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Denpasar, jalan Mpu Tantular sebelumnya mengatakan, modus penggelapan pajak itu adalah membuat pembukuan ganda pada tahun 2005 dan 2006.

Dikutif dari http://10.17.254.215/web

Dari web Madya Bandung
Direktur Intelijen dan Penyidikan Dirjen Pajak Mochamad T]iptardjo mengatakan timnya tengah memeriksa sejumlah berkas perusahaan TD Group Denpasar karena diduga menggelapkan pajak periode 2005 dan 2006.

TD Group menurutnya, merupakan pasar swalayan terbesar di Bali ini terdiri dari lima perusahaan, yaitu Tiara Dewata (TD) ,Tiara Grosir (TG), Tiara Monang-Maning (TMM), Tiara Istana Kuta Galeria (TIKG), dan Tiara Gatsu (TGz).
Lebih jauh Tjiptardjo menjelaskan TD Group ini telah tercium modus dugaan penggelapan pajaknya pada tahun lalu. Penyimpangan dilakukan dengan tidak melaporkan omzet yang sebenarnya. Dia mencontohkan jika TD Group harus memenuhi kewajibannya 100%, selama kurun waktu 2005-2006 hanya menyetorkan 30% hingga 35% dari omzet sebenarnya.

"Jadi indikasi kuat grup ini melakukan tindak pidana dan kasus ini telah ditangani oleh Ditjen Pajak dan sudah masuk tahap penyelidikan atau pemeriksaan bukti permulaan," paparnya. Menurut dia, jika terbukti dan dokumen ada, kasus akan ditingkatkan ke penyidikan. Dia menegaskan kasus ini akan segera ditindaklanjuti serius.

Dikutif dari http://10.23.254.215/web

Sunday, April 13, 2008

Mobil Pajak Keliling di Solo

PAJAK KELILING �MEJENG� DI SOLO SEQUARE
29 Januari 2008

Acara yang dilakasanakan di depan Solo Square menggunakan Pajak Keliling Kanwil DJP Jawa Tengah II, KPP Pratama Surakarta, KP2KP Wonogiri, KPP Pratama Karanganyar serta KPP Pratama Boyolali. Tujuan utama dari acara tersebut adalah untuk sosialisasi keberadaan dan fungsi Pajak keliling serta mendapatkan Wajib Pajak Baru dengan cara mendaftarkan langsung melalui Pajak Keliling. Sasaran masyarakat dengan pelaksanaan acara di depan Solo Square adalah pengunjung Solo Square sendiri, pengguna jalan Slamet Riyadi, konsumen warung seputar Solo Square serta area Korem.

Dipenda serta pihak Kepolisian berperan serta. Bahkan mobil unit mobil penerangan Polisi terlibat sangat aktif memberikan sosialisasi, sedangkan Dipenda juga melayani masyarakat untuk berkonsultasi serta membagikan leaflet seputar pemungutan PBB.

Untuk lebih menariknya acara juga melibatkan SPG sebanyak 8 orang yang terbagi dalam 4 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 2 orang SPG. Dua kelompok menempati operasi di traffic light timur dan barat Solo Square dengan didampingi oleh tokoh wayang dari Fakultas Seni UNS. SPG juga membagi bagikan leaflet dan bunga kepada pengguna jalan di Jl. Slamet Riyadi yang melintasi depan Solo Square.

Tugas lain SPG adalah memberikan keterangan secara singkat tentang fungsi Pajak Keliling serta sekilas tentang masalah NPWP dan Pajak. Untuk selanjutnya keterangan secara lebih rinci dan lebih teknis dilakukan oleh petugas pajak atau Account Representative. Sehingga fungsi SPG dalam hal ini lebih bersifat menggiring para calon WP untuk datang ke Pajak keliling.

Pada acara tersebut terjaring 57 Wajib Pajak baru, Dalam beberapa kesempatan pengunjung berkomentar sangat antusias mendatangi Pajak keliling. Kesan yang menghibur serta tidak formal memancing para pengunjung untuk bertanya lebih detail tentang pajak. Bagaimanapun juga sebagai para calon Wajib Pajak mereka enggan untuk datang langsung ke Kantor Pajak, sehingga Pajak Keliling adalah sarana yang sangat efektif untuk para calon Wajib Pajak dan masyarakat yang masih awam untuk mengetahui tentang pajak. Ke depan Pajak Keliling diharapkan akan memberikan layanan kepada masyarakat secara lebih baik, sehingga masyarakat merasa nyaman berhubungan dengan masalah-masalah perpajakan sebagai alternatife bagi mereka yang sibuk dan tidak sempat datang ke kantor atau bagi mereka yang berada jauh dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan KP2KP.




Sumber : portaldjp

Proyek dengan Dana Hibah Luar Negeri

Saya ada baca blog anda menyangkut pajak. Sedikit pertanyaan, kebetulan kantor kami adalah kantor dengan dana hibah yang menurut PP 42 tahun 95 proyek pemerintah yang dibiayai oleh dana hibah UN. Begitu juga dengan SK Menkeu no. 574/KMK.04/2000 kegiatan berbasis hibah adalah bebas pajak.

Kebetulan saat ini kami akan berlangganan mesin fotocopi yang dikenakan pajak dan kami telah mengirimkan surat pembebasan pajak disertai dokumen-dokumen pendukung (nomor hibah dari menkeu). Perlukah adanya NPWP bagi proyek mengingat kami bukanlah Wajib Pajak?

Perusahaan persewaan mesin fotocopi itu, dalam hal ini pt astragraphia menanyakan NPWP proyek kami, terus terang kami agak bingung dengan hal tersebut. Bisakah bapak membantu? terimakasih sebelumnya.


Regards,
Ailsa Amila
SSPDA Bappenas
Jl. Bappenas B 5 Jakarta Selatan
Tel/fax: 021-52907099


Wajib Pajak
Pertama, NPWP adalah identitas menurut kantor administrasi pajak [DJP]. Seharusnya, tanpa identitas [tanpa NPWP], kantor pajak tidak mengenal siapa pun. Berikut adalah pengertian NPWP:
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.


Perhatikan kata-kata : sarana dalam administrasi dan pengenal diri.

Kedua tentang proyek. Berikut adalah pengertian badan menurut UU KUP:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.


Perhatikan kata-kata berikut, " sekumpulan orang .. yang tidak melakukan usaha .. dan bentuk badan lain ..." Pendapat saya, proyek termasuk dalam pengertian badan dalam UU KUP.


Ketiga, proyek di dijalankan oleh orang pribadi. Ada upah untuk orang pribadi tersebut sebagai imbalan [apapun namanya] atas aktivitas tersebut. Jika mengacu ke peraturan perpajakan, setiap orang [proyek juga bisa disebut orang secara hukum] yang memberikan penghasilan kepada orang lain wajib memotong PPh jika melebihi PTKP. Berikut adalah kata-kata yang ada di Pasal 21 ayat (1) UU PPh 1984 :
Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh :
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;


Dalam hal ini pemberi kerja berarti proyek. Proyek memiliki kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keempat, pengertian Wajib Pajak :
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


Berkaitan dengan proyek, Wajib Pajak adalah "badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan"

Kesimpulannya, proyek juga Wajib Pajak. Pengecualian sebagai Wajib Pajak hanya bisa dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 3 huruf c UU PPh 1984.

Perlukah adanya NPWP bagi proyek mengingat kami bukanlah Wajib Pajak?
Kalau pendapat saya perlu. Proyek apapun namanya, walaupun bersifat nirlaba, akan lebih diterima oleh kantor pajak jika berNPWP. Jika proyek tersebut bubar, beritahu kantor pajak bahwa proyek tersebut SELESAI sehingga nanti NPWP dihapus.


Pengecualian Subjek Pajak
Pasal 3 UU PPh 1984 memberikan pengecualian beberapa �orang� sebagai subjek Pajak, yaitu :
a. badan perwakilan Negara asing,
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik,
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Jika proyek ibu termasuk Subjek Pajak yang dikecualikan oleh Menteri Keuangan, disebutkan secara khusus, berarti proyek ibu bukan Wajib Pajak. Di Keputusan Menteri Keuangan No. 574/KMK.04/2000 saya tidak menemukan SSPDA.

Hibah atau Pinjaman Luar Negeri
Apakah proyek yang dibiayai oleh APBN dibebaskan dari kewajiban perpajakan? Tidak. Salah satu alasannya adalah asas keadilan. Contoh : PT A mengerjakan bangunan milik pemerintah. PT B mengerjakan bangunan milik non-pemerintah. Masing-masing proyek sama memiliki dan spesifikasi sama. Jika PT A dibebaskan dari kewajiban perpajakan maka tentunya tidak adil �dong� karena penghasilan bersih (setelah Pajak) yang diterima PT A akan lebih besar daripada yang diterima PT B padahal nilai proyeknya sama.

Secara teori harus adil. Undang-undang perpajakan juga menghendaki demikian. Tetapi, khusus proyek yang dibiayai dengan hibah atau pinjaman Luar Negeri ada perlakuan khusus. Kabar / gosip yang saya tahu sih karena keinginan pemberi hibah dan kreditor. Kasarnya sih begini, �Aku bersedia memberi hibah asal tidak dipotong Pajak.� Karena syaratnya bebas pajak padahal undang-undang perpajakan tidak mengatur, maka pemerintah menanggung semua beban pajak. Walaupun dana proyek sama-sama berasal dari APBN, tetapi ada perbedaan perlakuan perpajakan antara proyek dengan dana hibah atau proyek dengan dana pinjaman Luar Negeri dengan proyek yang dibiayai dari pajak :-)

Pajak Pertambahan Nilai sebenarya terutang tetapi tidak dipungut. Pajak Penghasilan sebenarnya terutang tetapi ditanggung oleh Pemerintah. Prakteknya, memang bebas pajak. Tetapi beda pengertian �bebas pajak� dengan �ditanggung oleh Pemerintah�.

SSPDA
Ibu Amila bilang, �kantor kami adalah kantor dengan dana hibah�. Walaupun SSPDA merupakan Wajib Pajak dan memiliki NPWP tetapi karena merupakan proyek yang dibiayai oleh hibah atau pinjaman luar negeri maka atas Pajak Penghasilan yang terutang ditanggung oleh Pemerintah, atas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, tidak dipungut. Dan, dibebaskan dari Mea Masuk dan Bea Masuk Tambahan.

Khusus tentang Pajak Penghasilan, tidak semua pemasok proyek PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Saya kutip Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1995 :
Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah


Perhatikan kata "utama". Kata utama maksudnya kontraktor, konsultan, dan pemasok lapisan pertama. Biasanya lapisan pertama adalah pemenang tender atau yang ditunjuk langsung oleh proyek. Sedangkan lapisan kedua ditunjuk oleh lapisan pertama. Pemasok, konsultan, dan kontraktor lapisan kedua kewajiban PPh-nya dikembalikan kepada UU PPh pada umumnya.

Artinya, tidak semua pemasok yang PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Jika bukan pemasok utama tentu SSPDA wajib memotong PPh Pasal 23 karena PPh yang diterima oleh pemasuk tidak ditanggung oleh Pemerintah.

Nah, sekarang kita posisikan bahwa semua pemasok [termasuk pemasok mesin fotokopi] adalah pemasok utama proyek. Berarti PPh si pemasok ditanggung oleh Pemerintah. Penghasilan atas sewa yang didapatkan dari proyek, PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Karena perlakuannya �ditanggung oleh Pemerintah� maka tentunya harus ada pemisahan penghasilan. Tidak boleh digabung dengan penghasilan sewa lain. Ini dilihat dari sisi pemasok.

Apakah proyek memotong PPh Pasal 23 atas sewa tersebut? Pendapat saya, tidak perlu! Karena PPh pemasok ditanggung oleh Pemerintah berarti tidak ada PPh yang wajib dipotong oleh proyek. Jika proyek memotong PPh Pasal 23 atas sewa, maka pemasok akan �kelebihan� PPh. Pertama, PPh yang ditanggung oleh Pemerintah. Kedua, PPh yang dipotong oleh proyek. Jika ini terjadi, maka PPh yang dipotong oleh proyek dapat diminta kembali atau direstitusi.

Supaya tidak dipotong, apakah pemasok [atau proyek] harus membuat SKB? Terus terang, saya sendiri tidak tahu. Seminggu kemarin, saya cari-cari SOP yang berkaitan dengan PP No. 42 tahun 1995. Hasilnya Nihil. Karena itu, saya berkesimpulan tidak perlu dibuatkan SKB [surat keterangan bebas].

Keterangan atau dokumen lain yang menunjukkan bahwa proyek tertentu dibiayai oleh hibah atau pinjaman Luar Neger bisa dijadikan rujukan bahwa atas
[1]. Mea Masuk dan Bea Masuk Tambahan yang terutang, dibebaskan.
[2]. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, tidak dipungut.
[3]. Pajak Penghasilan yang terutang ditanggung oleh Pemerintah.

Cag!

Friday, April 11, 2008

NPOPTKP Baru

Bulan Februari 2008 Menteri Keuangan telah menetapkan batas atas Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB yang baru. Penetapan tiap-tiap tempat ditentukan oleh Kantor Wilayah DJP setempat. Hal yang baru di Peraturan Menteri Keuangan No. 33/PMK.03/2008 adalah:
[1]. Untuk perolehan hak RSH ditetapkan Rp.49.000.000,00
[2]. Untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan Rp.10.000.000,00

Seperti biasa, Peraturan Menteri Keuangan mulai berlaku sejak 22 Februari 2008.

Salaam