Friday, July 31, 2015

Penjualan Air Minum Dibebaskan dari Pemungutan PPN Kecuali Air Minum Dalam Kemasan

penyerahan air minum dibebaskan PPN kecuali pakai kemasan
gambar dari yukiberbagisehat.blogspot.com
Mulai 23 Juli 2015 semua penyerahan atau penjualan air minum dibebaskan dari pemungutan PPN, kecuali jika air minum tersebut dijual melalui kemasan. Ketentuan yang membebaskan air minum dari pemungutan PPN tersebut adalah Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2015 tentang Penyerahan Air Bersih Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.


Istilah yang digunakan oleh PPN memang bukan air minum, tapi air bersih. Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2015 membagi air bersih menjadi dua:
  • air bersih yang belum siap untuk diminum;
  • air bersih yang sudah siap untuk diminum (air minum).
Secara umum, Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2015 membebaskan PPN atas penyerahan air bersih oleh pengusaha. Baik air bersih yang belum siap diminum atau air minum. Tetapi di Pasal 3 ayat (2) kemudian mengecualikan bahwa air minum dalam kemasan termasuk yang dibebaskan.

Hal ini berarti semua air minum yang belum siap untuk diminum atas penyerahannya dibebaskan dari pemungutan PPN. Tidak dipersyaratkan apakah penyerahan tersebut melalui pipa atau kemasan.

Di peraturan pemerintah sebelumnya sejak Peraturan Pemerintan nomor 12 Tahun 2001 sampai Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007 disyaratkan "melalui pipa". Sejak dulu memang air bersih yang dialirkan melalui pipa dibebaskan.

Dalam prakteknya kemudian banyak perusahaan yang menjual air bersih melalui mobil tanki. Terutama di kota-kota besar yang menyuplai "air pegunungan" ke kios-kios air minum isi ulang. Penjualan air bersih ini tidak melalui pipa. Karena tidak melalui pipa maka tidak dibebaskan. Karena tidak dibebaskan maka pengusaha wajib pungut PPN.

Mulai sekarang, perusahaan penyuplai air bersih ke kios isi ulang tidak wajib memungut PPN.

Walaupun atas penyerahan air bersih tersebut dibebaskan dari memungut PPN, pengusaha tetap wajib membuat faktur pajak dan melaporkan fakturnya di SPT Masa PPN.

Pengusaha wajib membuat faktur pajak dengan diberi kode "080". Kemudian dilaporkan di bagian penyerahan yang dibebaskan.




Thursday, July 23, 2015

Penyesuaian PTKP 2015 berakibat pajak yang dipotong lebih kecil

Para Pembayar Pajak adalah pahlawan masa kini, termasuk pegawai yang dipotong PPh Pasal 21
Tahun 2015 ini pemerintah telah memberikan "fasilitas" perpajakan berupa penyesuaian penghasilan tidak kena pajak. Sebenarnya bukan fasilitas mungkin lebih tepat penyesuaian dengan inflasi atau kenaikan gaji. Tetapi penyesuaian ini berdampak pada menurunnya PPh Pasal 21 yang wajib dipotong oleh perusahaan atau pemberi kerja. Karena PPh Pasal 21 menurun, maka otomatis penghasilan tunai yang dibawa oleh karyawan (take home pay) menjadi lebih besar. Itulal kenapa saya sebut "fasilitas".




Melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 pemerintah telah melakukan penyesuaian penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Ini merupakan perubahan kedua sejak berlakunya perubahan keempat UU PPh tahun 2008. Tahun 2012 dilakukan penyesuaian dari Rp.15.840.000,00 menjadi Rp.24.300.000,00. Dan tahun 2015 ini disesuaikan lagi menjadi Rp.36.000.000,00.

Inilah tabel PTKP tahun 2015
Tabel PTKP tahun 2015 dan 2012


Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 menyebutkan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku pada Tahun Pajak 2015 
Berbeda dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 162/PMK.011/2012 yang menyebut bahwa penyesuaian berlaku sejak 1 Januari 2013, peraturan menteri keuangan yang baru hanya menyebut tahun pajak 2015. Hal ini membuat banyak pertanyaan, apakah berlaku surut atau berlaku 29 Juni 2015?

Jika kita memperhatikan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 maka jelas bahwa berlaku sejak 29 Juni 2015 karena diundangkan pada tanggal tersebut. 

Menurut saya, klausul yang dipakai di Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 memiliki konsekuensi berikut:

  • Gaji atau Upah yang sudah dipotong PPh Pasal 21 yang sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 tidak perlu disesuaikan.
  • Gaji atau Upah yang dipotong sejak berlakukan Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 harus mengikuti ketentuan yang berlaku.
Jadi, upah tukang yang sudah dipotong tetap seperti bukti potong yang ada. Atau pembayaran PPh bagi yang bukan pegawai tidak perlu disesuikan jika memang sudah dipotong. Atau pegawai yang berhenti sebelum berlakunya peraturan ini.

Tetapi untuk pegawai yang berkesinambungan sampai dengan akhir tahun, maka harus ada penyesuaian.

Logika saya adalah karena PPh itu terutang pada akhir tahun. Sedangkan PPh Pasal 21 sebenarnya adalah cicilan PPh bagi pegawai tersebut.

PPh Pasal 21 selalu didesain bahwa kewajiban pembayaran PPh dilakukan oleh pemberi kerja. Artinya pada akhir tahun, pemberi kerja harus menghitung ulang dengan PTKP tahun 2015 diatas. PPh terutang untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tahun pajak 2015 wajib menggunakan Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015.

Akibat dari penyesuaian oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 maka pemberi kerja harus menghitung ulang dari Januari 2015. Tentu akan ada kelebihan pajak yang dipotong.

Nah, kelebihan pajak yang dipotong tersebut tidak direstitusi tetapi diperhitungkan dengan pajak terutang bulan-bulan berikutnya sampai dengan Desember 2015. Logikanya, bulan Agustus 2015 dan seterusnya, pegawai berkurang dipotong PPh Pasal 21 atau tidak ada sama sekali karena sudah ada "simpanan" awal tahun.

Jika sampai dengan Desember 2015 tetap lebih potong? Kelebihan ini dikembalikan dengan restitusi. Tetapi pihak yang meminta restitusi bukan pemberi kerja. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan yang berhak meminta restitusi.

Bukankah setiap Wajib Pajak Orang Pribadi wajib menghitung dan melaporkan SPT Tahunan? Nah, pada saat pembuatan SPT tahunan tersebut, dia menghitung ulang PPh terutang.

Jika memang menurut perhitungan tersebut ternyata lebih bayar, maka kelebihan tersebut dapat dimintakan resitusi. Itu hak Wajib Pajak.

Tetapi jika "simpanan" PPh Pasal 21 tersebut sudah habis, maka pemberi kerja baru memotong kekurangan PPh terutang atas nama pegawai. Dan menyetor ke Kas Negara.