Thursday, September 11, 2008

Pembayaran komisi dan jasa lain

Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya.

Contoh kasus Pembayaran lisensi, franchise dan royalti :

Contoh 1 :
PT. A, perusahaan komputer, memberikan lisensi kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal di negara X untuk memasarkan program komputernya dengan membayar royalti 20% dari penjualan bersih. Selain itu PT. A juga memasarkan program komputernya melalui PT. B di negara B (ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal dan membayar royalti 15% dari penjualan bersih.

Perlakuan perpajakan :
Oleh karena program komputer yang dipasarkan PT. B sama dengan yang dipasarkan PT. X, atas dasar matching transaction method untuk tujuan perpajakan maka royalti di PT. B juga harus 20%. Kalau kondisi yang sama tidak diperoleh maka perlu diadakan penyesuaian. Pendekatan demikian disebut comparable adjustable method (metode sebanding yang disesuaikan).

Contoh tersebut dapat juga digunakan untuk menguji kewajaran franchise atau imbalan lain yang serupa dengan itu.


Catatan saya:
Walaupun pembayaran royalti ke pihak independen (PT X) sebesar 20% tetapi tidak serta merta bahwa royalti 20% tersebut dapat diterapkan ke pihak yang memiliki hubungan istimewa (PT A). Jika perbedaan harga tersebut disebabkan faktor-faktor yang wajar, seperti biaya marketing, maka harga transfer pricing ke PT A harus direkonstruksi dengan menyamakan atau mengeliminasi faktor-faktor pembeda sehingga didapat kondisi yang sebanding.

Contoh 2 :
G GmbH Jerman, perusahaan farmasi, memiliki 50% saham PT. B (Indonesia) yang beroperasi di bidang usaha yang sama. G GmbH mensuplai bahan baku dan pembantu kepada PT. B dengan harga DM 120 per unit. Selanjutnya didapat informasi, misalnya dari SGS di Jerman, bahwa harga internasional untuk bahan tersebut adalah DM 100 per unit.

Perlakuan perpajakan :
Harga sebanding untuk bahan tersebut adalah DM 100 per unit. Untuk bahan farmasi umumnya terdapat paten atas penemuan ramuannya. Kemungkinan tidak terdapat kontrak lisensi yang ditutup antara G GmbH dengan PT. B. Kalau dalam praktek perdagangan ternyata pada umumnya terdapat imbalan royalti (tanpa diketahui berapa jumlahnya), maka jumlah sebesar DM 20 dianggap sebagai pembayaran royalti.

Di lain pihak kalau diperoleh data bahwa royalti umumnya adalah 10% dari harga, maka dapat disimpulkan bahwa royaltinya sebesar DM 10, sedang selisihnya dianggap pembagian dividen.


Catatan saya:
Prakteknya sangat sulit memperoleh data tentang royalti. Sampai saat ini saya belum menemukan standar prosentase pemberian royalti, seperti sebesar 10% dari harga. Tetapi pada contoh diatas, royalti 10% sudah diasumsikan. Jika ada standar pemberian royalti yang ditentukan oleh pemerintah atau DJP maka akan memudahkan para petugas di lapangan. Karena banyak juga ditemukan penggunaan intangible property right tetapi tidak ada pemberian royalti. Padahal di dunia bisnis, kondisi seperti ini tentu tidak mungkin kecuali jika pembajakan [produk bajakan].

Pada kasus yang pernah saya temukan pemberian royalti bukan hanya dimasukkan dalam komponen harga barang [impor] tetapi teknik rekayasa keuangan dengan menimbulkan hutang yang tidak wajar.

Contoh kasus imbalan atau jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa sejenis lainnya :
PT. A memiliki 25% saham PT. B. PT. A memberikan bantuan teknik kepada PT. B dengan imbalan sebesar Rp. 500. Imbalan jasa yang sama dengan keadaan yang sama atau serupa adalah Rp. 250.

Perlakuan Perpajakan :
Dalam kasus di atas, maka imbalan jasa yang wajar adalah Rp 250.


Contoh kasus komisi :
PT. A memiliki 25% saham PT. B. PT. B juga merupakan distributor PT. A dengan komisi 5% dari harga jual. Disamping itu PT. B juga sebagai distributor produk perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa dengan komisi 9%.untuk memasarkan produk PT. A, diperlukan biaya-biaya promosi dan sebagainya yang menjadi beban PT. B.

Perlakuan perpajakan :
Berdasarkan analisis fungsi, maka besarnya komisi dari PT. A sebesar 5% adalah kurang wajar karena sebagai distributor PT. B masih menanggung biaya promosi, dsb yang dapat melebihi jumlah komisinya.

Di lain pihak diketahui bahwa komisi dari pihak ketiga yang tidak dibebani biaya promosi adalah 9%. Oleh karena itu maka komisi dari PT. B yang wajar adalah minimal sebesar 9% ditambah dengan suatu jumlah untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan.


Catatan saya:
Analisa fungsi bisa dilakukan pada waktu pemeriksaan dengan mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Pembebanan bunga shareholder loan

Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan) :

Contoh :
H Ltd di Hongkong memiliki 80% saham PT. C dengan modal yang belum disetor sebesar Rp. 200 juta. H Ltd juga memberikan pinjaman sebesar Rp. 500 juta dengan bunga 25% atau Rp. 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang berlaku adalah 20%.

Perlakuan perpajakan :
(a) Penentuan kembali jumlah utang PT. C. Pinjaman sebesar Rp. 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT. C yang dapat diakui adalah sebesar Rp. 300 juta ( RP. 500 juta - Rp. 200 juta ).
(b) Perhitungan Pajak Penghasilan. Bagi PT. C pengurangan biaya bunga yang dapat dibebankan adalah Rp. 60 juta (20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan kena pajak.

Selisih Rp. 65 juta (Rp. 125 juta - Rp. 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan tarif sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.


Catatan saya :
Pinjaman sebesar Rp. 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung dikarenakan H Ltd belum menyetor saham. Dari Rp.500 juta pinjaman, Rp. 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal sedangkan sisanya masih tetap diakui sebagai pinjaman induk kepada anak perusahaan. Artinya, kantor pajak mengakui hutang H Ltd ke PT C hanya sebesar Rp. 500 juta � Rp. 200 juta = Rp. 300 juta.

PT C memberi bunga ke H Ltd sebesar Rp. 25% dari Rp. 500 juta atau Rp. 125 juta setahun. Padahal tingkat bunga yang berlaku di pasar hanya sebesar 20% atau Rp. 100 juta saja. Karena itu, pemberian bunga sebesar Rp. 125 juta harus dikoreksi karena :
1. Pokok hutang dikoreksi, dan
2. Tingkat bunga harus menggunakan tingkat bunga wajar [tingkat bunga pasar].

Bunga yang boleh dibebankan di PT C hanya sebesar Rp. 20% x Rp. 300 juta = Rp. 60 juta. Sedangkan sisanya, Rp. 125 juta � Rp. 60 juta = Rp. 65 juta dianggap sebagai deviden dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan bruto.

Dengan demikian, walaupun formalitasnya [nama dan bukti formal] pembayaran Rp. 125 juta merupakan pembayaran bunga ke H Ltd tetapi pada substansinya bunga yang dibayar seharusnya hanya sebesar Rp. 60 juta saja (substance over form rule).

Peraturan seperti ini dalam perpajakan disebut thin capitalization rule yang digunakan untuk mengetahui adanya modal yang tersembunyi atau terselubung melalui pinjaman yang berlebihan. UU PPh 1984 menempatkan thin capitalization rule di Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi :
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.


Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PPh 1984 ini berbunyi :
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.

Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.

Wednesday, September 10, 2008

Penerapan tarif PPh Jasa Konstruksi

Beberapa pertanyaan masih dikirimkan di saya berkaitan dengan penerapan PPh atas Jasa Konstruksi, terutama tentang apa dokumen yang menunjukkan kualifikasi penyedia jasa konstruksi dan penerapannya dengan tarif. Uraian dibawah ini merupakan jawaban saya yang lebih lengkap.

PEMBAGIAN JASA KONSTRUKSI
Jasa Konstruksi dibagi tiga, yaitu Jasa Pelaksana Konstruksi, Jasa Perencanaan Konstruksi, dan Jasa Pengawasan Konstruksi. Pasal 4 No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan :
(1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.

(2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

(3) Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.

(4) Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksimulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasilkonstruksi.


PEMBAGIAN KUALIFIKASI JASA KONSTRUKSI
Pasal 8 ayat (3) PP 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi menyebutkan :
Kualifikasi usaha jasa konstruksi didasarkan pada tingkat/ kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha, dan dapat digolongkan dalam:
a. kualifikasi usaha besar;
b. kualifikasi usaha menengah;
c. kualifikasi usaha kecil termasuk usaha orang perseorangan.

Pengertitan kualifikasi menurut PP 28 tahun 2000 adalah
bagian kegiatan registrasi untuk menetapkan penggolongan usaha di bidang jasa konstruksi menurut tingkat / kedalaman kompetensi dan kemampuan usaha, atau penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut tingkat / kedalaman kompetensi dan kemampuan profesi dan keahlian.


Pasal 10 ayat (1) Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 11a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi menyebutkan :
Penggolongan kualifikasi usaha jasa pelaksana konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 didasarkan pada kriteria tingkat/kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha, yang selanjutnya dibagi menurut kemampuan melaksanakan pekerjaan berdasarkan kriteria risiko, dan/atau kriteria penggunaan teknologi, dan/atau kriteria besaran biaya, dapat dibagi jenjang kompetensinya dalam Gred sebagai berikut :
a. kualifikasi usaha besar, berupa : Gred 7, Gred 6
b. kualifikasi usaha menengah, berupa : Gred 5
c. kualifikasi usaha kecil, berupa : Gred 4, Gred 3, Gred 2, Gred 1 (usaha orang perseorangan)

Sedangkan menurut Pasal 10 ayat (2) Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 12a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Perencana Konstruksi dan Jasa Pengawas Konstruksi menyebutkan :
Penggolongan kualifikasi usaha jasa perencana konstruksi dan jasa pengawas konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jenjang kompetensinya dalam Gred, dapat dibagi dalam golongan :
a. kualifikasi usaha besar, berupa : Gred 4
b. kualifikasi usaha menengah, berupa : Gred 3
c. kualifikasi usaha kecil, berupa : Gred 2, Gred 1 (usaha orang perseorangan)

Intinya, kualifikasi penyedia jasa konstruksi ada tiga, yaitu : besar, menengah, dan kecil.

SIAPA YANG MENENTUKAN KUALIFIKASI?
Untuk mendapatkan kualifikasi, penyedia jasa konstruksi harus melakukan sertifikasi. Pengertian sertifikasi menurut menurut PP 28 tahun 2000 adalah:
a. proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi yang berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha; atau
b. proses penilaian kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja seseorang di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu.

Hasil dari sertifikasi adalah sertifikat, yaitu
a. tanda bukti pengakuan dalam penetapan klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi baik yang berbentuk orang perseorangan atau badan usaha; atau
b. tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu.


Dan, siapa yang meyelenggarakan sertifkasi?

Menurut Pasal 39 Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 11a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi menyebutkan :
(1) LPJK Nasional bertanggung jawab atas penyelenggaraan sertifikasi usaha jasa pelaksana konstruksi secara nasional.

(2) Penyelenggaraan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup kegiatan menetapkan pengakuan tingkat kompetensi dan kemampuan usaha, klasifikasi, dan kualifikasi jasa konstruksi, yang diwujudkan dalam bentuk Sertifikat.

(3) Penyelenggaraan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh :
a. LPJK Nasional/LPJK Daerah untuk Badan Usaha yang baru-berdiri yang belum menjadi anggota asosiasi dan Badan Usaha anggota asosiasi belum terakreditasi.
b. Asosiasi terakreditasi untuk Badan Usaha anggota asosiasinya.

Redaksi senada juga terdapat di Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 12a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Perencana Konstruksi dan Jasa Pengawas Konstruksi. Dengan demikian, sertifikat penyedia jasa konstruksi dikeluarkan oleh LPJK dan asosiasi yang telah mendapat akreditasi.

PPh JASA KONSTRUKSI
Dengan uraian diatas saya pikir pembaca dapat menerapkan PP No. 51 tahun 2008 terutama tentang tarif. Berikut ketentuan tarif PPh Jasa Konstruksi :
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tarif 2% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat Gred 4, Gred 3, Gred 2, dan Gred 1.

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tariff 4% ini adalah mereka yang TIDAK memiliki sertifikat. Pengguna jasa harus memotong 4% jika penyedia jasa tidak menunjukkan sertifikat!

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tarif 3% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat Gred 5, Gred 6, dan Gred 7. Penjelasan PP 51 tahun 2008 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Penyedia Jasa selain Penyedia Yang dimaksud dengan" Penyedia Jasa selain Penyedia antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar.

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan olehPenyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha;
Penyedia jasa perencana konstruksi dan pengawas konstruksi yang menggunakan tariff 4% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat, baik Gred 4, Gred 3, Gred 2, maupun Gred 1.

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Penyedia jasa perencana konstruksi dan pengawas konstruksi yang menggunakan tarif 6% ini adalah mereka yang TIDAK memiliki sertifikat!

Dengan uraian ini semoga pembaca jadi lebih jelas.
Salaam

Tuesday, September 9, 2008

Withholding Taxes

Kami adalah perusahaan yang bergerak di luar konstruksi tp pada saat ini mendapat pekerjaan konstruksi per bulan dengan nilai 80.000.000 ( delapan Puluh Juta ).

Yang ingin saya tanyakan adalah sbb :
1. Apakah saat saya menagih harus menyertakan PPpn dan pph 23 ?
2. Apakah saat menagih hanya total nilai tagihan saja ?
3. Apakah hanya pph 23 saja ?
3. Untuk proyek yang sedang sedang berjalan pph 23 dibayarkan langsung oleh pemakai jasa.

Demikian email yang masuk pagi ini. Saya tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kesan saya, penanya belum paham mekanisme perpajakan kita. Karena itu, selain dibalas langsung, saya posting jawaban yang lebih lengkap. Pembahasan lebih difokuskan kepada mekanisme withholding taxes [sering juga disebut potput].

Withholding taxes merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak diterapkan di negara lain. Sistem ini memiliki keunggulan karena pajak dibayar pada saat penghasilan diterima. Jika penghasilan disudah diterima dan digunakan, maka sudah jadi kebiasaan dimanapun bahwa kita akan berat bayar pajak. Nah, withholding taxes kita adalah yang sering disebut PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2) Final. Selain itu PPN juga sebenarnya bagian dari withholding taxes.

PEMOTONG PPh
Pada umumnya withholding taxes dikenakan pada penyeraha jasa. Tetapi ada juga yang diterapkan pada beberapa jenis industri atau penyerahan barang, seperti di PPh Pasal 22. Atas jasa-jasa tertentu dipotong oleh pihak pemberi penghasilan. Salah satu jenis jasa yang dipotong oleh pemberi penghasilan adalah PPh atas jasa pelaksana konstruksi.

Seandainya kita memberikan jasa kepada orang lian maka pihak pemberi penghasilan atau pengguna jasa kita atau klien harus [dibebani kewajiban] memotong PPh kita. Penghasilan yang kita terima dipotong dulu PPh. Jadi saat kita terima penghasilan maka kita terima penghasilan netto ditambah Bukti Pemotongan. Bukti Pemotongan ini nanti dilaporkan dan dikreditkan di SPT PPh kita.

Khusus jasa konstruksi, karena berdasarkan pembayaran, maka saat kita menerima pembayaran maka pembayaran kita nanti akan dipotong oleh klien kita dengan PPh. Tetapi, tidak semua klien dapat memotong PPh. Pemotong PPh hanya diwajibkan pada Wajib Pajak yang berbentuk badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi [WPOP] tertentu.

Siapa WPOP yang dapat memotong PPh? Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ./1994 bahwa WPOP yang wajib [wajib karena sudah ditunjuk sebagai pemotong] memotong PPh Pasal 23 adalah
[a]. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
[b]. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

Selanjutnya SE-08/PJ.4/1995 menjelaskan, yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan di bidang lainnya.


Bagaimana jika klien kita bukan pemotong PPh? Maka kewajiban PPh dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Khusus untuk jasa konstruksi, disebutkan di Pasal 5 ayat (1) huruf b PP No. 51 tahun 2008, yaitu, �disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.�


PEMUNGUT PPN
PPN sebenarnya pajak atas konsumsi yang dilakukan di wilayah RI atau daerah pabean. Karena pajak atas konsumsi maka pembayar PPN pada akhirnya konsumen atau end user. Tetapi mekanismenya, konsumen membayar PPN kepada penjual. Dan penjual membayar ke Kas Negara dengan metode PK � PM [pajak keluaran dikurangi pajak masukan]. Tetapi, tidak semua penjual boleh memungut PPN. Hanya Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan sebagai PKP oleh kantor pajak yang boleh memungut PPN. Akan tetapi, walaupun belum dikukuhkan sebagai PKP tetapi jika secara peraturan wajib memungut PPN maka kewajiban tersebut melekat sehingga si Wajib Pajak tersebut wajib dikukuhkan sebagai PKP baik dengan permohonan sendiri atau secara jabatan [jika dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu].

PKP [pengusaha kena pajak] memiliki kewajiban memungut PPN atas penyerahan barang atau jasa kena pajak. Bukti pemungutan PPN adalah faktur pajak standar. Jika konsumen PKP merupakan end user [seperti toko eceran yang jual barang] maka cukup dibuatkan faktur pajak sederhana. Faktur pajak sederhana bisa hanya berupa bon atau nota penjualan. Pembuatan dan pelaporan faktur pajak sederhana memiliki konsekuensi bahwa pembeli tidak bisa mengkreditkan PPN yang telah dibayar. Karena itu, saya tekankan bahwa pembuatan faktur pajak sederhana ditujukan untuk konsumen end user.

Jasa pelaksana konstruksi adalah jasa kena pajak. Penyedia jasa konstruksi wajib memungut PPN jika dia PKP. Dengan demikian, klien kita wajib membayar PPN sebesar 10% atas jasa yang dia nikmati.

Prakteknya, kita dipotong PPh oleh konsumen sedangkan kita memungut PPN. Jika kita hitung-hitungan, kita dipotong PPh 4% [untuk penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi/sertifikat] sedangkan kita memungut 10%. Netto kita memungut 6%. Jika kontrak 80juta merupakan DPP [tidak include pajak] maka kita menerima 80juta + 6% = 84.8jt.

Salaam

Monday, September 8, 2008

Kekurang-wajaran overhead cost

Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost) :

Contoh :
Pusat perusahaan (Head Office) di luar negeri dari BUT di Indonesia sering mengalokasikan biaya administrasi dan umum (overhead cost) kepada BUT tersebut. Biaya yang dialokasikan tersebut antara lain adalah :
a. Biaya training karyawan BUT di Indonesia yang diselenggarakan kantor pusat di luar negeri;
b. Biaya perjalanan dinas direksi kantor pusat tersebut ke masing-masing BUT;
c. Biaya administrasi/manajemen lainnya dari kantor pusat yang merupakan biaya penyelenggaraan perusahaan;
d. Biaya riset dan pengembangan yang dikeluarkan kantor pusat.

Perlakuan perpajakan :
Alokasi biaya-biaya tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya. Biaya kantor pusat yang boleh dialokasikan kepada BUT tidak termasuk bunga atas penggunaan dana kantor pusat, kecuali untuk jenis usaha perbankan, dan royalti/sewa atas harta kantor pusat. Dalam hal berlaku perjanjian penghindaran pajak berganda maka pengalokasian biaya kantor pusat, kepada BUT adalah seperti yang diatur dalam perjanjian tersebut. Kewajaran biaya training di atas dapat diuji dengan membandingkan jumlah biaya training yang sama atau sejenis, yang diselenggarakan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Untuk biaya lainnya, maka besarnya biaya yang dapat dialokasikan dihitung berdasar faktor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik proporsi manfaat yang diterimanya, misalnya perbandingan jumlah peredaran.


Catatan saya:
Untuk BUT, kantor pusat tidak diperbolehkan meminjamkan dana ke BUT kemudian BUT memberi atau membebankan biaya bunga kepada kantor pusat. Ini karena BUT sebenarnya masih dianggap sabagai satu entity antara kantor pusat dengan BUT. Lebih lengkap di Pasal 5 ayat (3) disebutkan :
Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah :
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;

c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.


Perbandingan jumlah peredaran adalah kontribusi BUT terhadap total peredaran konsolidasi kantor pusat [total peredaran seluruh dunia]. Perbandingan [nisbah] peredaran BUT dengan peredaran seluruh dunia bisa dijadikan acuan untuk overhead cost yang dibebankan oleh BUT.

Kekurang-wajaran harga pembelian

Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran harga pembelian :

Contoh :
H Ltd Hongkong memiliki 25 % saham PT. B. PT. B mengimpor barang produksi H Ltd dengan harga Rp. 3.000 per unit. Produk tersebut dijual kembali kepada PT. Y (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp. 3500 per unit.

Perlakuan perpajakan :
Pada contoh tersebut di atas, pertama-tama dicari harga pasar sebanding untuk barang yang sama, sejenis atau serupa atas pembelian/impor dari pihak yang tidak ada hubungan istimewa atau antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa (sama halnya dengan kasus harga penjualan). Apabila ditemui kesulitan, maka pendekatan harga jual minus dapat diterapkan, yaitu dengan mengurangkan laba kotor (mark up) yang wajar ditambah biaya lainnya yang dikeluarkan Wajib Pajak dari harga jual barang kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa.

Apabila laba yang wajar diperoleh adalah Rp. 750,- maka harga yang wajar untuk perpajakan atas pembelian barang dari H Ltd di Hongkong adalah Rp. 2.750 (Rp. 3.500 - Rp.750). Harga ini merupakan dasar perhitungan harga pokok PT. B dan selisih Rp. 250 antara pembayaran utang ke H Ltd di Hongkong dengan harga pokok yang seharusnya diperhitungkan dianggap sebagai pembayaran dividen terselubung.



Catatan saya :
Pada contoh kali ini pembelian impor dilakukan ke pihak yang memiliki hubungan istimewa. Sedangkan penjualan dilakukan ke pihak independen. Dengan demikian, kemungkinan tidak wajar ada pada pembelian impor. Karena itu, harga beli impor harus direkonstruksi dengan harga wajar. Karena terdapat kesulitan menentukan metode comparable uncontrolled price [CUP, pembelian hanya dari satu pihak yang memiliki hubungan istimewa], maka digunakan metode harga jual minus [sales minus / resale price] yaitu dengan mengurangkan laba kotor (mark up / margin) yang wajar ditambah biaya lainnya yang dikeluarkan Wajib Pajak dari harga jual barang kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Mark up / margin yang wajar tersebut diambil dari perusahaan sejenis yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang independen [tidak memiliki hubungan istimewa].

Pada contoh ini PT B membeli / impor barang dari H sebesar Rp. 3000 per unit. Tetapi berdasarkan metode sale minus, harga pokok yang wajar dari barang tersebut adalah Rp. 750 sehingga harga impor wajar adalah Rp.3000 - Rp.750 = Rp. 2.750.

Terdapat selisih antara harga impor wajar dengan harga impor yang dilaporkan yaitu Rp. 3000 � Rp. 2.750 = Rp. 250. Selisih ini dianggap sebagai pemberian deviden terselubung. Dan Deviden bukan biaya atau pengurang penghasilan bruto tetapi objek PPh Pasal 23 [ jika penerima WP Dalam Negeri] dan PPh Pasal 26 [jika penerima WP Luar Negeri].

Kekurang-wajaran harga penjualan

Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurangwajaran harga penjualan.

Contoh 1 :
PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang PT. A ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 160,- per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp. 200,- per unit.
Perlakuan Perpajakan :
Dalam contoh tersebut, harga pasar sebanding (comparable uncontrolled price) atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT. X yang tidak ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp. 200,- per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak. Kalau PT. A adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), ia harus menyetor kekurangan PPN-nya (dan PPn BM kalau terutang).

Atas kekurangan tersebut dapat diterbitkan SKP dan PT. A tidak boleh menerbitkan faktur pajak atas kekurangan tersebut, sehingga tidak merupakan kredit pajak bagi PT. B.

Contoh 2 :
PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 160,- per unit. PT. A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa.

Perlakuan Perpajakan :
Dalam contoh di atas, maka harga yang wajar adalah harga pasar atas barang yang sama (dengan barang yang diserahkan PT. A) yang terjadi antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila ditemui kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sama (terutama karena PT. A tidak menjual kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa), maka dapat ditanggulangi dengan menerapkan harga pasar wajar dari barang yang sejenis atau serupa, yang terjadi antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa.

Dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sejenis atau serupa, karena barang tersebut mempunyai spesifikasi khusus, misalnya semi finished products, maka pendekatan harga pokok plus (cost plus method) dapat digunakan untuk menentukan kewajaran harga penjualan PT. A.

Misalnya diketahui bahwa PT. A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu produksinya dari para pemasok yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi per unit adalah Rp. 150,- dan laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable mark up) adalah 40% dari harga pokok.

Dengan menerapkan metode harga pokok plus maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT. A kepada PT. B untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 210 {Rp. 150 + (40% x Rp. 150)}.

Contoh 3 :
PT. B menjual kembali barang yang dibeli dari PT. A pada contoh 2 di atas ke pihak yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp. 250,- per unit. Laba kotor sebanding untuk penjualan barang tersebut adalah 20% dari harga jualnya.

Perlakuan Perpajakan :
Dalam menguji kewajaran harga penjualan dari PT. A ke PT. B, selain pendekatan harga pokok plus, dapat pula diterapkan pendekatan harga jual minus (sales minus/ resale price method). Dengan menerapkan metode tersebut maka harga penjualan barang PT. A ke PT. B yang wajar untuk perhitungan pajak penghasilan/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 200,- {Rp. 250,- - (20% x Rp. 250,-)}.

Apabila ternyata terdapat kesulitan dalam memperoleh harga pasar sebanding dan juga sulit menerapkan metode harga jual minus maupun harga pokok plus maka dapat digunakan metode lainnya, misalnya dengan pendekatan tingkat laba perusahaan sebanding (comparable profits) atau tingkat hasil investasi (return on investment) dari usaha yang sama, serupa atau sejenis. Misalkan diketahui bahwa persentase laba kotor jenis usaha yang sama dengan usaha PT. A dari data dunia bisnis adalah 30%. Selanjutnya ternyata bahwa laba kotor yang dilaporkan PT. A adalah 15%. Karena terdapat deviasi tingkat laba PT. A dari tingkat laba rata-rata tersebut di atas, maka dapat diduga bahwa ada penggeseran laba melalui penjualan dengan harga yang kurang wajar dari PT. A ke PT. B. Kalau misalnya PT. B merupakan pembeli tunggal (monopsoni) barang yang dijual PT. A tersebut, laba kotor PT. A atas barang tersebut untuk tujuan penghitungan pajak terutang harus dihitung kembali menjadi sebesar 30%.


Catatan saya:
Pertama, tidak diperlukan adanya barang yang sama. Jika memang ada barang yang sama yang satu dijual ke pihak independen dan yang satu ke pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka harga patokan adalah barang yang sama. Tetapi jika tidak ada barang yang sama, maka cukup dengan barang sebanding yang sejenis atau serupa.

Kedua, untuk mengoreksi harga jual, kantor pajak dapat menggunakan metode : comparable uncontrolled price [CUP], cost plus method, sales minus / resale price method, dan comparable profits secara berurutan. Artinya metode kedua dipakai jika metode pertama tidak dapat diterapkan.

SE - 04/PJ.7/1993

Terus terang, saya mengetahui adanya prinsip material di UU PPh sejak kuliah di UI khususnya dari Pak R. Mansury. Prinsip materialitas disebutkan di Pasal 4 ayat (1) UU PPh dengan kata-kata "dengan nama dan dalam bentuk apapun". Menurutnya, kata-kata tersebut adalah istilah lain dari [the substance over-form priciple].Tetapi ada yang bertanya, "Dimana kata-kata substance over-form dalam peraturan perpajakan kita disebutkan?" Nah, ternyata ada di SE - 04/PJ.7/1993 tentang PETUNJUK PENANGANAN KASUS-KASUS TRANSFER PRICING (SERI TP - 1)

Berikut kutipan asas material dimaksud:
Perlu ditegaskan pula bahwa Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-riil (substance over form rule).

Nah sekarang lebih yakin bahwa UU PPh kita menganut substance over form rule. Formalitas diatas kertas yang dituangkan dalam bentuk perjanjian [agreement], misalnya, bisa diabaikan atau dikoreksi jika memang substansi dari suatu transaksi berbeda dengan formalitasnya.

Koreksi yang dilakukan bisa terjadi pada :
(1) Harga penjualan;
(2) Harga pembelian;
(3) Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
(4) Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
(5) Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;
(6) Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
(7) Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).

Postingan selanjutnya tentang transfer pricing saya kutip dari SE - 04/PJ.7/1993. Karena surat edaran ini cukup panjang maka saya potong-potong :D

bersambung ...

Hubungan Istimewa

Pasal 18 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000 :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Selanjutnya, yang dimaksud hubungan istimewa diatur lebih lanjut di Pasal 18 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000 :
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.


Walaupun UU perubahan Keempat UU PPh 1984 sudah disetujui oleh DPR, tetapi sampai tulisan ini dibuat belum juga dipublikasikan. Dan sampai sekarang nomor UU-nya juga belum tahu. Jadi sementara saya pakai UU No. 17 Tahun 2000.

Saya pikir aturan hubungan istimewa tidak banyak berubah karena pada intinya adanya kontrol "seseorang" atas "orang" lain. Orang lain itu bisa satu atau lebih. Dan yang dimaksud oleh seseorang bisa orang pribadi atau perusahaan. Dalam bahasa lain, hubungan istimewa sering disebut afiliasi, intra grup, atau grup saja :D

Penguasaan seseorang atas orang lain bisa menyebabkan penentuan harga yang tidak wajar (non arm's length price) baik penjualan, pembelian ataupun pembebanan biaya seperti : pemberian jasa-jasa, pemberian hak paten dan pengetahuan tertentu, pemberian pinjaman dan lain-lain. Karena itu tidak heran banyak Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang terus merugi [sehingga tidak pernah bayar PPh] tetapi terus dipertahankan di Indonesia. Kasus seperti ini [kabarnya] banyak.

Karena itu, sebenarnya UU PPh kita telah memberikan kewenangan ke DJP untuk melakukan penghitungan kembali PPh terutang bagi merekan yang memiliki hubungan istimewa. Saya salin penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000:
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.


Inilah catatan pertama tentang transfer pricing, yaitu kantor pajak dapat melakukan koreksi harga atau biaya jika memang adanya hubungan istimewa. Artinya, hubungan istimewa merupakan gerbang ke transfer pricing.

Salaam

Piutang Tidak Tertagih

Kemarin pagi ada email yang menanyakan persyaratan Piutang Tidak Tertagih menurut perpajakan. Memang peraturan perpajakan lebih ketat tentang Piutang Tidak Tertagih. Piutang hanya boleh dibiayakan jika benar-benar sudah tidak dapat ditagih. Bukan hanya sekali dua kali ditagih dan tidak bayar, terus dicatat sebagai Piutang Tidak Tertagih. Tidak! Inilah persyaratan Piutang Tidak Tertagih menurut SE - 08/PJ.42/1999 yang sampai sekarang masih berlaku :
a) Wajib Pajak telah membebankan piutang tak tertagih tersebut sebagai kerugian perusahaan dalam Laporan Keuangan Komersial; dan

(b) menyerahkan nama debitur dan jumlah piutang tak tertagih tersebut kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); dan

(c) mengumumkan daftar nama tersebut dalam suatu penerbitan; dan

(d) menyerahkan Daftar Piutang Tak Tertagih Yang Dihapuskan yang mencantumkan nama, alamat, NPWP dan jumlahnya, serta dokumen lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pajak.


Lebih lanjut tentang penerbitan disebutkan:
Yang dimaksud dengan suatu penerbitan adalah :
a)Penerbitan khusus HIMBARA/PERBANAS; atau
b)Penerbitan koran/majalah/buletin atau media massa cetak yang lain; atau
c)Laporan ke Bank Indonesia, kemudian oleh Bank Indonesia diterbitkan/diumumkan dalam data base bank di Bank Indonesia.


Perhatikan pada syarat keempat diatas bahwa Dirjen Pajak dapat meminta dokumen lain jika dipandang perlu. Hal ini saya kira jika terjadi pemeriksaan. Menyerahkan Daftar Piutang Tak Tertagih bisa dilakukan bersamaan dengan penyerahan SPT PPh Tahunan [Lampiran SPT].

Berdasarkan informasi Daftar Piutang Tak Tertagih tersebut, kantor pajak dapat melakukan cross check ke debitur karena penghapusan piutang dipihak kreditur merupakan biaya sedangkan dipihak debitur merupakan penghasilan.

Cag!

Tuesday, September 2, 2008

Cash Basis di PPh Konstruksi

Berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008. Seperti yang telah disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 menyiratkan cash basis.

Ternyata, di Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008 lebih jelas. Berikut kutipannya :

5. Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada butir 1:
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran,
dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa,
dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

6. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada butir 5 adalah:
a. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 2; atau
b. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.


Selain itu, diaturan peralihan yaitu kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2008 tetapi pembayarannya pada tahun 2008 atau setelahnya diatur sebagai berikut :
Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan langgal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Alas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konslruksi; [artinya ketentuan baru tidak berlaku].

Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah langgal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi [artinya berlaku ketentuan baru].

Sekedar mengulang, tarif Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi adalah :
[1]. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

[2]. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

[3]. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam angka [1] dan angka [2]

[4]. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha;

[5]. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Dan semuanya bersifat FINAL! Karena itu, jika ada kerugian dari usaha Jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasi sampai dengan Tahun Pajak 2008 saja.

Salaam.

Monday, September 1, 2008

SE-45/PJ/2008

Beberapa waktu yang lalu telah diposting [catatan] adanya ketentuan Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008. Nah pada akhir Agustus [ditetapkan tanggal 28 Agustus 2008] lalu telah dikeluarkan Surat Edaran No. 45/PJ/2008.

Berkaitan dengan Surat Edaran No. 45/PJ/2008 saya catat ketentuan lanjutan tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Pada intinya isi Surat Edaran No. 45/PJ/2008 berkaitan dengan proses pemberian ijin dan setelah ada ketetapan dari Kanwil DJP baik permohonan penggunaan nilai buku diterima maupun ditolak. Catatan saya berkaitan dengan pencatatan harta yang dialihkan, penyusutan, offset piutang-hutang, dan lainnya. Silakan �

Pencatatan harta yang dialihkan:
a. Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku tidak mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pengalihan seluruh harta tersebut harus dinilai dengan harga pasar dan atas keuntungan yang diperoleh dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

b. Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku telah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta tersebut harus mencatat nilai perolehannya sesuai dengan nilai buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang mengalihkan harta.

c. Dalam hal Wajib Pajak sebelum merger atau pemekaran usaha telah melakukan penilaian kembali aktiva tetap, nilai buku yang dicatat adalah nilai buku setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap.

Penyusutan dan Amortisasi harta yang dialihkan
a. Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku terjadinya pengalihan harta dilakukan secara prorata (perhitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang mengalihkan harta.

b. Bagi Wajib Pajak yang mengalihkan harta, penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan dihitung secara prorata sampai dengan bulan dilakukannya pengalihan harta.

c. Bagi Wajib Pajak yang menerima harta, penyusutan dan amortisasi atas harta yang diterima dihitung secara prorata sebanyak sisa bulan sesudah bulan pengalihan harta.

d. Penyusutan dan amortisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c menggunakan metode penyusutan dan amortisasi yang dianut Wajib Pajak yang bersangkutan.

Kompensasi Timbal-Balik (offset) Utang Piutang
Dalam hai terjadi kompensasi timbal-balik (offset) utang piutang di antara para Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger, maka:
a. penghapusan utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan;
b. penghapusan piutang bagi pihak kredilur bukan merupakan biaya.

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
a. Apabila merger dilakukan dalam tahun pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Wajib Pajak yang menerima harta setelah merger tidak boleh lebih kecil dari penjumlahan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum merger.

b. Dalam hal setelah merger Wajib Pajak yang menerima harta mengalami penurunan usaha, Wajib Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan Pajak Penghasilan
Dalam hal merger atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan:
a. kewajiban formal penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang mengalihkan harta berakhir sampai dengan masa pajak/bagian tahun pajak dilakukannya merger;

b. kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak baru yang menerima harta dalam rangka peleburan dan pemekaran usaha, dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak segera setelah pendirian badan usaha baru.

Pemeriksaan Pajak Menyangkut Tahun-Tahun Pajak Sebelum Tahun Terjadinya Merger
Apabila setelah merger dilakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang mengalihkan harta menyangkut tahun-tahun pajak sebelum tahun terjadinya merger, surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan pajak tersebut serta tindakan penagihan dan/atau restitusinya diterbitkan atas nama dan NPWP Wajib Pajak yang mengalihkan harta q.q nama dan NPWP Wajib Pajak yang menerima harta.

Ketentuan Terhadap Pemegang Saham
Apabila pemegang saham dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta tidak setuju dengan rencana pengalihan harta dan pemegang saham tersebut memilih menjual sahamnya :

a. atas selisih lebih antara harga perolehan dengan harga jual merupakan penghasilan pemegang saham tersebut dan terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku

b. atas selisih kurang antara harga perolehan dengan harga jual yang diterima pemegang saham tersebut dapat dibebankan sebagai biaya, dengan syarat sepanjang pemegang saham tersebut menyelenggarakan pembukuan.

Pengenaan Sanksi
Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun Direktur Jenderal Pajak melalui penelitian atau pemeriksaan menemukan bukti bahwa:
a. merger atau pemekaran usaha tidak memenuhi persyaratan business purpose test

b. dalam hal harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger atau pemekaran usaha dipindahtangankan sebelum 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha namun Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta:
[1] tidak menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak dijual; atau
[2] menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak dijual tetapi pernyataan tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
maka nilai pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.

Apabila Wajib Pajak yang telah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku dalam rangka pemekaran usaha, namun:
a. belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (initial public offering); atau

b. telah memperoleh persetujuan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan penawaran umum perdana (initial public offering) tetapi sampai dengan jangka waktu perpanjangan yang diberikan belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (initial public offering),
nilai pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.

Masa transisi
Permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan. peleburan, atau pemekaran usaha yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 namun permohonan tersebut masih dalam proses penelitian dan evaluasi setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008, dilaksanakan dan diproses sesuai dengan tata cara berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008.

Permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang diajukan seteiah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 namun sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ./2008,dilaksanakan dan diproses sesuai dengan tata cara berdasarkan ketentuan.