Saturday, October 20, 2012

Sejarah Perjuangan Sunan Kali Jaga Menyebarkan Agama Islam

Sejarah Perjuangan Sunan Kali Jaga Menyebarkan Agama Islam
PENDAHULUAN
Islam dalam penyebarannya ke Indonesia khususnya ke Jawa, tidak begitu saja, tetapi ini melalui jalan-jalan yang sangat sulit sekali. Para wali khususnya Sunan Kalijaga menempuh jalan memasukkan ajaran Islam kepada rakyat di tanah Jawa antara lain:
a. Ajaran agama itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara memasukkan sedikit-demi sedikit, agar masyarakat tidak kaget atau tidak menolak.

b. Mengawinkan ajaran-ajaran agama Islam dengan kepercayaan Hindu Budha
Disamping kedua cara tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi hal-hal atau pun cara-cara yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga.
Untuk lebih jelas mengenai cara-cara atau pun hal-hal yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam, saya akan mencoba untuk mengupasnya lebih dalam.


II. Pembahasan
A. Sejarah Kehidupan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455.[1]Beliau diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang merupakan putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga mempunyai putri yang bernama Dewi Roso Wulan.
Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah merasakan dan melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi perampok orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman, Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.[2]
Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu Sunan Bonang sedang lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan Bonang berkata pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini, memakai pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini sebaiknya rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Said siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said, Sunan Bonang berubah menjadi empat. Raden Said ketakutan melihat kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk mengakhiri perbuatan nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau taat pada Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan kemudian beliau diambil ipar oleh Sunan Gunung Jati.[3]
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak, yaitu:
1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman
5. Nyai Ageng Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah juga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar Said (Sunan Muria)
2. Dewi Ruqoyah
3. Dewi Sofiyah[4]
Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan berasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya pelaksana, penghulu: sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.[5]
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat dimana wali itu dimakamkan. Tidak demikian halnya dengan Sunan Kalijaga yang makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal dengan sebutan “Sunan Kalijaga”.[6]
B. Peran Sunan Kalijaga dalam Penyebaran Islam
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Ternyata Sunan Kalijaga di dalam gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan oleh para sesepuh Walisongo, misalnya bimbingan yang diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan Bonang disamping dari pihak kesultanan Patah di daerah-daerah yang rawan tata krama, rawan tata susila dan masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan Budha serta masih melakukan kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di suatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam terus melakukan tugas itu. Beliau terus keliling dari daerah satu ke daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai “muballigh keliling”[7]atau Da’i keliling, ulama besar, seorang wali yang memiliki karisma tersendiri diantara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat juga dikenal bernama “Syeh Malaya”.
Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya : pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat / kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan Dandanggulo dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu lir-ilir yang sampai saat ini masih akrab di kalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah, acara ritual berupa gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi, menciptakan Gong sekaten bernama asli Gang Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam”, pencipta wayang kulit di atas kulit kambing, sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar), wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain jimat kalimasada dan dewa ruci serta petruk jadi raja dan wahyu widayat, serta sebagai ahli kata-kata seperti misalnya pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon beringin dan masjid.[8]
Diantara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi, daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (“reizendle mubaligh”). Jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. Karena caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam semasa hidupnya, Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani, beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan.
Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, atau dengan kata lain, masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam asimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengembangkan agama Islam disini.
Sedang menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konferensi besar para wali, di serambi masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (bahasa Jawa : terbangan) menurut seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat Jawa. Maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan di atas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasi beraneka macam bunga-bungaan yang indah, gapura masjid pun dihiasi pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung di sana.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya, uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang di tabuh, artinya dibunyikan itu dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu gapura. Upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari bahasa Arab Ghapura), maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik” berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika di serang pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap; mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.[9]
C. Jasa-jasa Sunan Kalijaga
1. Bidang strategi perjuangan
Seperti diketahui, Walisongo di dalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan-pertimbangan yang masak, tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesadaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Syiwa Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana dan melalui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para wali termasuk Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa Budha.
2. Bidang kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai yang berharga bagi bangsa Indonesia.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit), seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh Sunan Kalijaga (periode Demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam, sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti, di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata “quu” dan “qilla” atau “quuqilla” yang artinya “peliharalah ucapan (mulut) mu”.[10]
Di lain pihak Sunan Kalijaga juga menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Jawa dengan corak kehidupannya yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin.
Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga karena adanya pertimbangan, bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaan Hindu dan Budhanya.
3. Bidang lain-lain
Selain jasa-jasa beliau di atas tadi, masih ada jasanya yang lain seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko Total” artinya tiang pokok dalam masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter kurang lebih 70 cm. ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.[11]
D. Peninggalan-peninggalan Sunan Kalijaga
1. Masjid Sunan Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khususnya dikenal dengan nama Masjid Sunan Kalijaga.
Masjid ini tampak kelihatan angker dari luar, mungkin karena letaknya yang berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang “kera”. Di sekeliling masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya sedikit, jurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
2. Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, masjid Kadilangu itu masih berupa surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Hadi (putra ketiga) surau tersebut disempurnakan bangunannya sehingga berupa masjid seperti yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di pintu masjid sebelah dalam yang berbunyi “menika tiki mongso ngadekipun asjid ngadilangu hing dino ahad wage tanggal 16 sasi dzulhijjah tahun tarikh jawi 1456”, (ini waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari ahad wage tanggal 16 bulan dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456). Tulisan aslinya bertulisan huruf Arab. Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid itu beberapa kali mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.
3. Keris Kyai Clubuk
4. Keris Kyai Syir’an
5. Kotang Ontokusumo
Menurut beberapa cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu waktu para Walisongo sudah selesai menunaikan shalat subuh di masjid Agung Demak, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah bungkusan yang terletak di depan mikhrab. Maka oleh Sunan Bonang diminta supaya Sunan Kalijaga mengambil dan memeriksanya. Ternyata bungkusan tersebut berisi “baju” (kutang), dan secarik kertas yang menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi Muhammad Saw, dan menerangkan supaya kulit kambing yang terdapat juga dalam bungkusan itu dibuat baju juga. Menurut cerita kedua baju itu sampai sekarang masih terawat baik, yang pertama “baju ontokusumo” yang disimpan di musium kraton Solo dan “baju kyai Gondil” ada dalam makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.[12]


III. DAFTAR PUSTAKA
Drs. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005.
Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga Kadilangu Demak, Kudus: Menara Kudus, 1992.
http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm/


[1] Tentang tahun kelahiran Sunan Kalijaga (+ 1455 M) diambil dari cerita juru kunci makam Sunan kalijaga yang sekarang (keturunan Sunan Kalijaga yang ke XIV).
[2] http://www.syariah.com/walisongo.html
[3] Dr. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005, hlm. 39-41.
[4] Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga Kadilangu Demak,Kudus: Menara Kudus, 1992, hlm. 10.
[5] http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[6] Menurut R. Prayitno, juru kunci makam Sunan Kalijaga sekarang, Sunan Kalijaga wafat kira-kira + tahun 1586. Berarti kalau dihitung-hitung umur Sunan Kalijaga + 131 tahun lamanya.
[7] Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm. 13.
[8] http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm. 17-20.
[12] Ibid., hlm. 21-26.

Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial Atau Pemanfaatan Ilmu Sosial Dalam Studi Hukum


Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial Atau Pemanfaatan Ilmu Sosial Dalam Studi Hukum | Tehnik Menyusun Kerangka Teori Penelitian (GS)


A.       Latar belakang
Ilum hukum adalah ilmu yang mandiri atau otonom, keberadaannya betul-betul independen lepas sama sekali dari anasir-anasir di luar dirinya. Ungkapan tersebut sudah lazim didengar terutama oleh mereka yang beraliran positifisme hukum. Bagi mereka hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum
yang dibuat oleh manusia[1]. Hukum yang dibuat oleh Tuhan adalah apa yang terdapat dalam kitab suci suatu agama yang memuat perintah maupun larangan seperti, perintah solat,puasa,zakat,menunaikan ibadah haji sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci umat Islam (Al-Qur’an) dan perintah yang lain yang terdapat dalam agama lain yang tertuang dalam kitab suci masing-masing.
Adapun yang kedua adalah hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan menjadi dua yaitu hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dibuat oleh penguasa dalam hal ini pemerintah maupun institusi yang terkait, hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur, yaitu: perintah,sanksi,kewajiban dan kedaulatan.Kedua hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang berasal dari luar atau hukum yang bukan dari pemerintah itu sendiri, seperti hukum adat pada masyarakat adat dan lain-lain[2].
Apa yang diutarakan di atas merupakan pandangan dari aliran Analitical Jurisprudenci yang merupakan cabang positifisme hukum dimana tokoh penting dalam aliran tersebut adalah Jhon Austin. Berbeda halnya dengan. Aliran sosiologi hukum yang melihat hukum sebaliknya bahwa hukum tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, kedua-duanya adalah saling menguatkan ketika proses pembuatan maupun ketika diberlakukan. Sehingga muncul istilah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat[3].
Kedua aliran atau mazhab hukum sebagaimana yang diungkapkan di atas melihat hukum berbeda-beda hal ini tentu membawa konsekwensi perbedaan metologis masing-masing dalam melakukan kajian maupun penelitian terhadap hukum. Pada pembahasan kali ini sesuai dengan judul makalah studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn ilmu sosial pada hakikatnya sama-sama memiliki hubungan yang erat antara hukum maupun masyarakat kedua hal tersebut atau lebih sederhananya memiliki objek yang sama yaitu masyarakat.
B.       Pembahasan
Seperti yang disinggung di atas pada dasarnya studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn ilmu sosial dalam studi hukum adalah dua hal yang menurut penulis sama-sama memberikan ruang yang terbuka antara satu dengan yang lain dalam melihat maupun merumuskan persoalan-persoalan hukum baik yang terjadi maupun masih dalam rancangan pembuatannya.
Adanya keterbukaan hukum terhadap disiplin ilmu sosial merupakan sebuah bentuk dari ketidak puasan terhadap positifisme hukum yang sama sekali masih tertutup pada persoalan lain diluar dirinya, kompleksitas persoalan sosial yang terjadi telah mengubah pandangan para ilmuan hukum bahwa ketertutupan melihat persoalan-persoalan diluar dirinya menjadikan hukum tidak lebih dari musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum, atau seperti halnya seorang dokter yang hanya bisa menyembuhkan pasien tetapi tidak bisa memberikan saran supaya pasien tersebut tidak kambuh lagi, atau bagaimana caranya supaya seseorang supaya tidak terkena penyakit.
Jika hukum diumpamakan seperti itu maka tidak cukup hanya berkutat pada persoalan norma dan aturan saja. Oleh karena itu menurut aliran sosiologi hukum atau aliran empiri pada umumnya berpendapat bahwa penstudi dan praktisi hukum harus melakukan kajian atau penelitian hukum secara sosiologi empiris. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa untuk mampu memahami hukum lalu lintas tidak bisa hanya membaca undang-undang lalu lintas saja, tetapi juga harus turun mengamati langsung apa yang terjadi dijalan raya[4].
Tujuan dari studi secara sosiologi empiri adalah dalam rangka menjawab problem sosial Selain itu dapat juga memberikan pemahaman yang utuh terhadap hukum baik dalam konteks norma maupun dalam konteks sosial dan juga memudahkan para penstudi hukum untuk mendorong perkembangan ilmu hukum yang mempunyai nilai guna bagi masyarakat, begitu pula akan berguna bagi para praktisi dan para legislator dalam merumuskan peraturan perundang-undangan agar bisa melindungi kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan perkembangan zaman[5].
1.          Hukum dan masyarakat
Menurut Satjipto Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia kedalam hukum[6].
Dalam karyanya yang lain Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyrakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi, yaitu[7]:
a.         Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang
b.        Penyelesaian sengketa-sengketa
c.         Menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial
Dari tiga pekerjaan hukum sebagaimana disinggung di atas dapat digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial , yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Lebih lanjut Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa apabila proses pengontrolan sosial tersebut dihubungkan dengan bagan hubungan sibernetik dari parsons, maka tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom, melainkan kait-berkait dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat. Kait-berkait dalam arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam masyarakat ituserta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses yang memuat energi lebih yang besar[8].
Suatu hal yang mustahil jika hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat.[9] 
Lebih lanjut Sabian berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum  sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh Aliran ini berpandangan bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam masyrakat itu sendiri.
Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat[10].
Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.
Senada dengan apa yang di ungkapkan oleh para pemeikir tersebut di atas Menurut Sulistiowati Irianto. Kegagalan gerakan pembangunan hukum dibeberapa negara berkembang dalam konteks tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanya menurutnya dibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang studi ilmu hukum harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum[11].
Menarik untuk disimak pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan hukum untuk hukum merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang keberadaannya tidak bisa mengabaikan masyarakat begitu saja..
2.         Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosiologi Dan Konsekuensi Metodeloginya
Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial adalah sebuah upaya melakukan konstuksi hukum berdasarkan atas penomena sosial yang ada. Prilaku masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat prilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif[12]. Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi hukum dalam perspektif sosial adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Apakah ada ketidak sesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi masyarakat, sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan tanah dan seterusnya.
Studi hukum perspektif sosiologi dapat menggambarkan hubungan hukum dengan masyarakat dalam bentuk:
a.         Kesesuaian antara semangat hukum dengan realitas masyarakat yang ada.
b.        Peluang dan tantangan ketika hukum tersebut di undangkan
c.         Mengetahui pengaruh ditetapkannya sebuah ketentua terhadap prilaku masyarakat
Konsekuensi metodelogi yang digunakan dalam studi ini adalah perkawinan antara metode hukum dengan ilmu sosial yang kemudian menghasilkan metode kwalitatif sosiolegal dan etnografi sosiolegal[13].

3.         Studi sosiologi dalam ilmu hukum dan konsekuensi metodeloginya.
Studi sosiologi berbeda dengan sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum benih intelektualnya terutama berasal dari sosiologi arus utama, dan bertujuan untuk dapat mengkonstruksi pemahaman toritik dari sistem hukum. Ha itu dilakukan oleh para sosiolog hukum dengan cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas.
Hukum, preskripsi hukum dan definisi hukum tidak diasumsikan atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis secara problematik dan dianggap penting untuk dikaji kemunculan-artikulasi dan tujuan. Hukum sebagai mekanisme regulasi sosial dan hukum sebagai sesuatu profesi dan disiplin, menjadi perhatian dalam studi ini. Studi ini banyak memusatkan perhatian kepada wacana hukum yang merupakan bagian dari pengalaman dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hukum yang dimaksud adalah kaidah atau norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum dalam bentuk perundang-undangan. Lingkup kajiannya adalah mengenai berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat dengan melihat aspek struktur hukum, dan aparat penegak hukum. Beberapa konsep penting yang dikaji adalah mengenai pengendalian sosial, sosialisasi hukum, stratifikasi,perubahan hukum dan perubahan sosial. Karena menginduk pada sosiologi maka konsekwensi metodeloginya adalah menggunakan metodelogi penelitian sosiologis yang secara tradisi dicirikan berada dalam ranah kuantitatif[14].
Kesimpulan
Adanya keterkaitan antara hukum dan masyarakat serta persoalan-persoalan yang dihadapi telah mengubah paradigma para pemikir atau para ahli hukum bahwa hukum pada dasarnya adalah melayani kepentingan masyarakat. Maka dari itu hukum dituntut untuk dinamis seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Berangkat Dari sinilah sehingga dalam dunia hukum dikenal istilah sosiologi hukum maupun antropolgi hukum dan lain-lain. Munculnya gabungan antara ilmu sosial dan ilmu hukum tidak lain adalah untuk dapat menjawab problematika kehidupan masyarakat pada umumya begitu juga dengan antropogi hukum dan seterusnya.