Wednesday, December 29, 2010

Soe Hok Gie Antara Cinta, Hidup dan Mati Demi Indonesia


Soe Hok Gie (lahir di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Dalam perjalanan hidupnya yang singkat, sosok Soe Hok Gie merupakan suri tauladan yang baik, meskipun dia adalah warga keturunan etnis Tionghoa namun jiwa nasionalismenya dan rasa cinta terhadap tanah air sangatlah besar. dalam salah satu penggalan kalimat bijaknya Gie berkata "lebih baik mati muda daripada hidup dalam kemunafikan" dari kalimat ini sangat jelas menggambarkan bagaimana idealisme Gie yang prihatin dengan kondisi bangsa indonesia pada waktu itu dimana para elit bangsa saling sikut demi sebuah kekuasaaan yang fana. 








Timnas Indonesia Pembangkit Semangat Nasionalisme Rakyat



Kegagalan Timnas Indonesia dalam meraih gelar juara piala AFF tahun ini memang terasa menyakitkan hati, maklum saja penampilan Timnas yang sejak awal terlihat begitu meyakinkan seolah-olah gelar juara sudah bisa digenggam. Kekecawaan rakyat memang terasa mendalam namun ada dampak positif dari penampilan cemerlang Timnas yaitu tumbuhnya rasa nasionalisme yang begitu besar dari seluruh rakyat Indonesia. 

Dapat kita lihat hampir seluruh rakyat Indonesia baik laki-laki, perempuan, dewasa, anak-anak maupun pendukung dari luar kota sekalipun untuk berbondong-bondong mendukung Timnas Indonesia di Gelora Bung Karno dan tidak hanya sampai disitu hampir setiap laga Timnas Indonesia seluruh rakyat Indonesia serentak melihat siaran langsung di layar kaca.

Fenomena ini sangatlah langkah karena ditengah krisis nasionalisme bangsa indonesia yang bertubi-tubi dilanda berbagai persoalan baik dari mulai Korupsi, Mafia Hukum, hingga bencana alam yang tiada henti menerpa membuat bangsa porak-poranda tanpa ada suatu identitas pemersatu. Munculnya Timnas yang bermain gemilang menjadi sebuah obat baru bago krisis nasionalisme di Indonesia. Ayo Maju terus Garuda... 









Monday, December 27, 2010

China & Peradaban Modern

KONFUSIUS atau disebut Kong Zi kembali menjadi ikon bagi bangsa dan rakyat China di tengah perseteruan global antara China dan negara-negara Barat. Setelah kemakmuran dan keadidayaan ekonomi dan perdagangan, para penguasa komunisme di Beijing memerlukan image yang mampu menunjukkan peradabannya menggunakan Konfusianisme sebagai dasar.

Perseteruan selama tiga tahun terakhir mulai dari persoalan ekonomi dan perdagangan seperti nilai tukar mata uang yuan, persaingan ekspor, maupun persoalan politik dan militer menyangkut Semenanjung Korea serta desakan negara Barat untuk menjadikan China sebagai negara yang bertanggung jawab dalam kemajuan modernisasinya.

Penobatan Liu Xiaobo (55) sebagai peraih Hadiah Nobel Perdamaian awal Desember 2010 menyebabkan terjadinya keberangan dan kenistaan bagi China yang menahan Liu atas tuduhan subversi karena menyuarakan kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia.

Boikot China atas Hadiah Nobel Perdamaian disamakan dengan Uni Soviet lama ketika Moskwa bereaksi atas hadiah yang diberikan kepada Andrei Sakharov tahun 1975. Bahkan, juga disamakan dengan sikap Adolf Hitler ketika Nazi Jerman melarang Carl von Ossietzky yang ditahan karena pandangan pasifisnya pada tahun 1936. Penguasa di Beijing tidak memberikan tanggapan (karena takut dituduh bersikap sama dengan kebangkitan Nazi Jerman), ketika Kongzi Heping Jiang (Hadiah Perdamaian Konfusius) untuk pertama kalinya diberikan kepada mantan Wapres Taiwan Lien Chan yang pernah menjabat Ketua Kuomintang (Partai Nasionalis China).

Ikon kebangsaan Ada upaya untuk mengangkat Konfusius kembali sebagai ikon utama kebangsaan China dalam sukses modernisasi dan keterbukaan yang dijalankan China selama lebih dari tiga dekade. Perdebatan peradaban antara kemajuan China dan nilai universal Barat tentang manusia dan kemanusiaan memang menjadi polemik yang tidak kunjung selesai.

Dalam konteks kemajuan dan pembangunan, misalnya, muncul pertanyaan berkaitan upaya yang dicapai RRC mengangkat ratusan juta warganya dari kemiskinan. Dibutuhkan waktu sekitar 18 tahun bagi China untuk mencapai cadangan devisa sekitar satu triliun dollar AS, tapi hanya waktu yang relatif singkat memperoleh devisa satu triliun dollar AS berikutnya.

Ada banyak pengamat percaya Kofusianisme menjadi pendorong etos kerja China, mengingat gagasan tentang komunitas seperti dalam ajaran Konghucu, ketika diterapkan dalam ekonomi menjadi jalan bagi pertumbuhan dan kesejahteraan dengan menempatkan komunitas di atas hak-hak individu.

Kunci peradaban Kita teringat ketika sosiolog Jerman, Max Weber, dalam esainya Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus (Etik Protestan dan Semangat Kapitalisme) ditulis tahun 1930 yang mencatat adanya beberapa sekte Protestan (terutama Calvinis) telah mendorong tumbuhnya kapitalisme Jerman. Dalam ajaran Calvin tentang takdir dan nasib di hari nanti, terbentuk doktrin yang mendorong motivasi sikap hidup duniawi.

China modern yang kita lihat memang menjalankan sepenuhnya semangat kapitalistik dan dipacu penuh untuk menjadikan China sebagai sebuah kekuatan ekonomi, perdagangan, maupun politik baru. Apakah keberhasilan China ini memang didorong oleh etos Konfusianisme yang dijadikan acuan para penguasa China selama berabad-abad, menjadi berbeda dengan etika Protestanisme di Jerman.

Weber sendiri melihat, ”… Konfusianisme menjadi penyebab utama yang bertanggung jawab atas keterbelakangan ekonomi China.” Ini mungkin pandangan awal abad ke-20 ketika daratan China terkungkung dalam jerat imperialisme dan kebangkitan nasionalisme. Konfusianisme dalam kekuasaan komunisme menjadi nilai yang mendorong pengetahuan dan pembelajaran, termasuk kunci peradaban tentang konsep harmoni maupun China sebagai Negara Tengah.


sumber: kompas.com

Saturday, December 25, 2010

Sejarah Pesantren dan Pendidikan


Pondok pesantren yang merupakan sarana pendidikan agama Islam dinilai turut mengambil bagian penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pesantren, yang hanya dimiliki Indonesia itu, berperan membangun sensitifitas kebangsaan pada masa penjajahan.
"Pesantren ini menjadi tonggak. Sejarahnya, Belanda cukup direpotkan dengan pesantren," ujar Sekretaris Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama Mamat. S Burhanuddin dalam diskusi Rekfleksi Akhir Tahun Islamic College, Jakarta, Jumat (24/12/2010).

Mamat mengatakan, pondok pesantren membangun sensitifitas kebangsaan yang membuat pribumi merasa berbeda dari kompeni. Salah satu caranya dengan mengeluarkan fatwa yang melarang santri-nya mengenakan pakaian ala Belanda.

"Haram pakai baju orang belanda, kemeja, dasi, yang menyerupai suatu kaum itu bagian dari kaum itu. Tapi sayangnya fatwa itu tidak segera dianulir. Sampai sekarang masih ada yang selalu pakai sarung," tuturnya.

Hanya saja, kata Mamat, saat ini pesantren tidak lagi dipandang demikian baik. Berdasarkan hasil penelitian di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, lanjutnya, pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya seperti madrasah, didiskreditkan sebagai sarang teroris. Media-media luar pun menyamakan pesantren di Indonesia dengan pusat pendidikan Islam di Timur Tengah.

"Padahal sangat jauh berbeda," pungkasnya.

Selain itu, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah ini melanjutkan, Nahdlatul Ulama (NU) sangat prihatin dengan indikasi keberadaan kelompok-kelompok yang berusahan mencari identitas bangsa lain yang kabur dari identitas bangsa. Padahal, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu hal yang final.

"Tinggal bangsa Indonesia perlu mengisi identitas kebangsaannya ini, yang selama ini seringkali dicoba, digoyang, dikeroposi," katanya.

Identitas kebangsaan Indonesia, lanjut Mamat, seringkali digerogoti oleh indentitas lain seperti primodialisme keagamaan atau kedaerahan. Hal tersebut, lanjut Mamat, cukup berbahaya bagi bangsa. Oleh karenanya, peran para ulama dibutuhkan dalam mengisi identitas kebangsaan Indonesia.

sumber: kompas.com