Friday, December 28, 2007

Pengenaan BPHTB atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat

Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak. Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.


Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Disamping orang pribadi, penerima hibah wasiat juga berupa badan yang biasanya mempunyai kegiatan pelayanan kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Contoh 1 [NJOPTKP lebih besar dari nilai pasar & NJOP]
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 200.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris (NPOPTKP) sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 250.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak N i h i l
BPHTB terutang N i h i l



Contoh 2 [Nilai pasar lebih besar dari NJOP & NJOPTKP]
Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai JuaI Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 500.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 200.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 200.000.000,00
= Rp I0.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 5.000.000,00


Contoh 3
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 800.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 800.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 500.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 500.000.000,00
= Rp 25.000.000,00
BPHTB terutang = 50% x Rp 25.000.000,00 = Rp 12.500.000,00

Contoh 4
Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat dari seseorang sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 900.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal selain waris dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 60.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 1.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 940.000.000,00
= Rp 47.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 47.000.000,00
= Rp 23.500.000,00

[Dikutip dari PP 111 Tahun 2000]

Catatan : Untuk mendapatkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang berlaku bisa ditanyakan ke KPP Pratama di Seksi Ekstensifikasi (pelayanan PBB hanya ada di KPP Pratama atau KPPBB jika belum ada KPP Pratama).

BPHTB karena Pemberian HPL

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Hak Pengelolaan sebagai objek pajak adalah karena penerima Hak Pengelolaan memperoleh manfaat ekonomis dari tanah yang dikelolanya. Namun, mengingat pada umumnya Hak Pengelolaan diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan, sehingga pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak Pengelolaan perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan lembaga pemerintah lainnya antara lain Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan, dan lembaga pemerintah sejenis yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.


Besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut :

0% (nol persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan NasionaI (Perum Perumnas).

50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan NasionaI (Perum Perumnas).

Dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas), maka sebagai pengganti Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Surat Keterangan Bebas BPHTB dari Kantor Pelayanan PBB [KPP Pratama] yang wilayahnya meliputi letak tanah dan atau bangunan yang diberikan Hak Pengelolaan.

Contoh :
Suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memperoleh Hak Pengelolaan atas tanah seluas 10 Ha dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 1.000.000.000, 00, maka besarnya BPHTB terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 1.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
BPHTB terutang = 5% x Rp 940.000.000,00 = Rp 47.000.000,00
BPHTB yang harus dibayar = 50% x Rp 47.000.000,00 = Rp 23.500.000;00


[Dikutip dari PP 112 Tahun 2000]

Catatan : Untuk mendapatkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang berlaku bisa ditanyakan ke KPP Pratama di Seksi Ekstensifikasi (pelayanan PBB hanya ada di KPP Pratama atau KPPBB jika belum ada KPP Pratama).

Pengurangan BPHTB

Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembangan dan dibayar secara angsuran.

Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
2. Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat.
3. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
4. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak.
5. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum.
6. Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak.
7. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta.
8. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
9. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.


Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
10. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis.
11. Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
12. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah.


Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 100% (seratus lima persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
13. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger).
14. Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS.
15. Wajib Pajak yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program Pemerintah di bidang pertanahan atau Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara.
16. Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
17. Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan, sebelum terjadinya bencana.
18. Tanah dan atau bangunan di Nanggroe Aceh Darussalam yang selama masa rehabilitasi berlangsung yang digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.


Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan [atau KPP Pratama jika KP PBB sudah dibubarkan] yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan. Surat Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat terutang.

[dikutif dari Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006]
Catatan : tidak dibenarkan meminta pengurangan melalui perantara, calo, atau pegawai KPP manapun. Permohonan pengurangan langsung disampaikan di tempat pelayanan terpadu (TPT) KPP Pratama dan atas pengajual surat permohonan tersebut diberikan bukti / tanda teriam (warna kuning). Permintaan pengurangan melalui perantara / calo terbukti dimanipulasi oleh orang-orang tertentu!

Wednesday, December 26, 2007

Restitusi

mo tanya soal retur pajak yg lebih bayar donk,prosesnya rumit ato tidak? apa saja yg perlu di siapkan perusahaan?
t3ddy@yahoo.com

Jawaban Saya:
Mungkin maksud Pa T3ddy adalah prosedur restitusi pajak yang lebih bayar, bukan retur pajak. Jika benar anggapan saya, maka dibawah ini saya kutip dari PER-122/PJ./2006 tentang dokumen apa saja yang diperlukan untuk pengajuan restitusi PPN.

Secara umum, dokumen yang wajib dipersiapkan adalah :
[a]. Faktur Pajak
[b]. Faktur penjualan/faktur pembelian (jika ada invoice komersial)
[c]. Bukti pengiriman/penerimaan barang
[d]. Bukti penerimaan/pembayaran uang (yang berkaitan dengan pembelian/penjualan)

Selain itu, untuk Wajib Pajak importir [atau berkaitan dengan impor] ada tambahan sebagai berikut :
[1]. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan Surat Setoran Pajak
[2]. Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS), jika ada
[3]. Surat kuasa kepada atau dokumen lain dari Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) untuk pengurusan barang impor, jika ada.

Untuk Wajib Pajak Eksportir [atau berkaitan dengan ekspor] :
[1]. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
[2]. Instruksi pengangkutan (melalui darat, udara atau laut), ocean B/L atau Master B/L atau Airway Bill, dan packing list;
[3]. Fotokopi wesel ekspor atau bukti penerimaan uang lainnya dari bank, yang telah dilegalisasi oleh bank yang bersangkutan atau fotokopi L/C yang telah dilegalisasi oleh bank koresponden jika ekspor menggunakan L/C;
[4]. Asli atau fotokopi yang telah dilegalisasi polis asuransi, jika diasuransikan.

Jika lebih bayar dikarenakan penyerahan kepada Badan Pemungut maka dokumen yang wajib dilampirkan pada waktu pengajuan restitusi adalah :
[1] Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK) atau surat pesanan atau dokumen sejenis lainnya; dan
[2] Surat Setoran Pajak.

Pada waktu kita mengajukan restitusi, dokumen-dokumen tersebut harus lengkap. Jika belum lengkap, maka KPP dalam waktu satu bulan sejak surat masuk akan memberitahukan kekurangan dokumen apa saja yang wajib disusulkan. Jika Wajib Pajak tidak memberikan dokumen yang diminta, dalam waktu satu bulan tersebut, maka dokumen yang disampaikan dianggap �lengkap�. Maksud lengkap [dalam tanda kutip] adalah dokumen itulah yang akan dijadikan dasar pemeriksaan materi oleh pemeriksa pajak.

Jangka waktu restitusi PPN sebagai berikut :
[1]. 1 (satu) bulan untuk PKP dengan kriteria tertentu. Namun dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak Kepala KPP setelah melakukan penelitian wajib menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPPKP) paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan diterima (baik dengan surat permohonan tersendiri maupun dengan SPT).
[2]. 2 (dua) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk permohonan yang diajukan oleh PKP yang melakukan kegiatan tertentu yang memiliki risiko rendah.
[3]. 4 (empat) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PKP yang melakukan kegiatan tertentu selain yang memiliki risiko rendah.
[4]. 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PKP selain PKP Kriteria Tertentu dan PKP yang melakukan kegiatan tertentu [selain no satu sampai tiga diatas].

Secara umum, proses restitusi wajib dijawab oleh DJP [maksudnya dikabulkan atau tidak] setelah jangka waktu 12 bulan dilewati. Hal ini diatur di Pasal 17B ayat (1) UU KUP. Jika dalam waktu 12 bulan tersebut belum ada keputusan menolak, maka permohonan restitusi wajib dikabulkan.

Di UU No. 28 tahun 2007 [perubahan UU KUP] disebutkan istilah �Wajib Pajak dengan kriteria tertentu� dan �Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu�. Untuk kedua Wajib Pajak tersebut DJP wajib menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga bulan) untuk PPh, dan 1 (satu) bulan untuk PPN.

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah [Pasal 17C UU KUP] :
[a]. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
[b]. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
[c]. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
[d]. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Syarat atau kriteria diatas adalah syarat kumulatif. Keempat syarat tersebut wajib terpenuhi. Selain itu, Wajib Pajak dengan kriteria tertentu �ditetapkan� oleh DJP.

Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah [Pasal 17D UU KUP] :
[a]. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
[b]. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
[c]. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
[d]. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.

Syarat diatas bukan kumulatif. Artinya, salah satu syarat terpenuhi maka Wajib Pajak tersebut dapat disebut �Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu�. Tetapi batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Namun, sampai dengan Desember 2007 ini, saya belum membaca Peraturan Menteri Keuangan dimaksud. Kemungkinan besar, peraturan pelaksakan UU No. 28 tahun 2007 ini belum diterbitkan.

Terakhir, jangan ragu meminta kelebihan pembayaran pajak kepada negara. Restitusi adalah hak Wajib Pajak. Surat permohonan restitusi boleh �hanya� dengan mencentang poin restitusi si SPT Masa PPN, atau dengan surat terpisah. Tetapi untuk restitusi PPh harus dengan surat terpisah dari SPT karena tidak ada form untuk permintaan restitusi.

Cag!

Komisi Luar Negeri

Pak Raden, apabila kita menagih komisi kepada WP Luar Negeri Apakah dikenakan PPN dan apakah dipotong PPH Pasal 23

satri_nursatria@yahoo.com

Jawaban Saya:
Komisi dari luar negeri berarti Wajib Pajak Dalam Negeri memberikan jasa kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Perlakuan perpajakan atas penghasilan lintas batas seperti itu pada dasarnya diatur pada dua asas : yaitu asas sumber dan asas domisili.

Asas sumber, artinya negara pemberi penghasilan, berhak mengenakan / memotong Pajak Penghasilan berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku di negara sumber. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka penghasilan yang bersumber dari Wajib Pajak yang terdaftar di Inggris tersebut akan dipotong Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak Luar Negeri jika menurut undang-undang perpajakan di Inggris diharuskan dipotong.

Kedua, asas domisili, yaitu negara tempat domisili penerima penghasilan akan mengenakan pajak berdasarkan undang-undang perpajakan di negara yang bersangkutan. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka atas penghasilan tersebut harus dilaporkan di SPT Tahunan kita. Darimana pun asal penghasilan tersebut, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri harus dilaporkan. Total penghasilan tersebut kemudian dihitung berapa pajak terutang menurut UU PPh 1984.

Karena satu objek akan dikenakan pajak di dua negara yang berbeda, maka pasti terjadi perpajakan ganda (double taxation). Untuk menghindari pajak ganda, maka dibuatlah perjanjian perpajakan (tax treaty). Tetapi jika posisi kita sebagai penerima penghasilan (asas domisili) maka kita tidak perlu pusing membaca tax treaty. Kita cukup membaca ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU PPh 1984 dan peraturan dibawahnya.

Isu yang penting bagi penerima penghasilan hanya berkaitan dengan kredit pajak. Apakah pajak yang sudah dibayar (jika sudah dipotong pajak di luar negeri) dapat dikreditkan? Berapa kredit pajak yang dapat diperhitungkan menurut peraturan perpajakan di Indonesia?

Karena itu, atas komisi yang diterima dari luar negeri tidak ada PPh Pasal 23 (atau withholding tax lain) yang terutang.

Apakah dikenakan PPN?
Permasalahannya adalah : apakah jasa yang kita berikan dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia atau di luar negeri? Jika jasa tersebut dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia maka menjadi objek PPN (prinsip destinasi). Artinya, atas jasa tersebut wajib dipungut PPN oleh pemberi jasa, dalam hal ini Wajib Pajak Dalam Negeri, sebesar 10%. Jika Wajib Pajak Luar Negeri tidak mau dipungut PPN maka kewajiban memungut PPN �tetap� dibebankan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Penjual menanggung pajak karena pembeli tidak mau membayar pajak!

Cag!

Saturday, December 15, 2007

Capital Lease

Dari beben : knp lessee tidak memotong pph pasal 23 atas leasing

Jawaban saya :
Leasing ada dua macam yaitu leasing (sewa guna usaha, SGU) dengan hak opsi dan leasing tanpa hak opsi. Bagi lessee : leasing dengan hak opsi bukan objek PPh Pasal 23 tetapi jika leasing tanpa hak opsi maka objek PPh Pasal 23.

Kenapa leasing dengan hak opsi bukan objek PPh Pasal 23? Sebenarnya leasing dengan hak opsi merupakan objek PPh Pasal 23 tetapi tidak dipotong. Menurut Pasal 16 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 bahwa lessee �tidak memotong�. Istilahnya, tidak memotong. Bahasa awamnya tidak memotong sama dengan bukan objek, karena bukan objek berarti tidak memotong.

Saya pikir landasan ketentuan keputusan menteri keuangan tersebut adalah Pasal 23 ayat (4) huruf b UU PPh 1984, yaitu �Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas � sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;� Artinya, semua pembayaran sewa sebenarnya objek PPh Pasal 23 tetapi jika sewa tersebut merupakan sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi maka atas objek tersebut tidak dilakukan atau tidak dipotong.

Buku Kas

Dari enzu : maaf ya Mas raden supratman, zu mau tanya klo kita mskan pajak ke buku kas apakah saldo akhirnya itu sdh termasuk pajak..?Mksh byk sblm dan sesdahnya.

Jawaban saya :
Betul, bahwa pajak yang kita masukkan ke buku kas berarti saldo akhir buku kas tersebut termasuk pajak sepanjang belum dikelaurkan, he .. he .. he ... Sebenarnya, di buku kas mencatat uang masuk dan keluar. Tetapi tidak perlu ada pemisahan adanya uang pajak. Saldo kas berarti sejumlah uang yang kita pegang. Harus ada buku lain, seperti buku piutang, hutang, penghasilan, dan biaya.

Tetapi jika kita menggunakan norma, dan memakai pembukuan basis kas maka tidak perlu buku penghasilan dan biaya. Semua uang masuk masuk dikurangi uang dari hutang maka dianggap total penghasilan. Uang pajak seperti potongan PPh Pasal 21 dan 23 termasuk hutang, yaitu hutang kepada Negara. Sepanjang belum dibayar ke Kas Negara (bank atau kantor Pos) maka tetap jadi hutang. Selain itu, uang masuk yang berasal dari setoran modal juga bukan penghasilan.

PPN Membangun Sendiri

Dari thio sunaryo : pak saya minta informasi tentang PPN membangun sendiri, apa dan bagaimana hal itu terjadi. salam thio

Jawaban saya :
PPN membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN 1984, yaitu, �Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.� Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 320/KMK.03/2002 bahwa yang dimaksud bangun adalah bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua ratus meter persegi) atau lebih dan bersifat permanen. Artinya, bangunan dibawah 200m2 tidak terutang PPN.

Cara menghitung PPN terutang adalah 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Setiap bulan, pemilik bangunan wajib membayar PPN sebesar 4% dari total pengeluaran pada saat pembangunan. PPN ini harus dibayar langsung ke Kas Negara dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Jika pengguna bangunan bukan pemilik bangunan maka pengguna wajib memperlihatkan bukti setoran PPN membangun sendiri. Jika tidak dapat memperlihatkan bukti setoran, maka pengguna memiliki tanggung jawab renteng.

Seringkali pemilik bangunan mencampuradukkan dengan jasa konstruksi. Jasa pelaksana konstruksi adalah objek PPh Pasal 23. Artinya, saat kita membangun, kita memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dan tidak membayar PPN membangunan sendiri. Artinya, hemat 2% bukan?

Harus ditekankan bahwa perbedaan antara membangun sendiri dengan jasa pelaksana konstruksi adalah adanya kontrak antara pemilik bangunan dengan perusahaan kontruksi. Kontraktor konstruksi harus memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi. Jika tidak memiliki sertifikat, maka dianggap �membangun sendiri�.

Angka Pengenal Impor

Dari wahyuning : bagaimana penghitungan API pada PPh Pasal 22

Jawaban saya :

Angka Pengenal Importir disingkat API adalah tanda pengenal sebagai importir yang harus dimiliki setiap perusahaan yang melakukan perdagangan impor. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/7/2007 bahwa impor hanya dapat dilakukan oleh oleh perusahaan dagang, perusahaan industri, Kontraktor KKS atau perusahaan penanaman modal yang telah memiliki API, kecuali :
[a.] impor tidak dilakukan secara terus menerus dan yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau yang tidak dimaksudkan untuk dipindahtangankan; dan

[b.] barang yang diimpor adalah barang untuk keperluan lainnya yang berupa alat penunjang kelancaran produksi atau alat pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 bahwa tariff PPh Pasal 22 sebagai berikut:
[a.] yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;

[b.] yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;

[c.] yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor. Artinya, dasar pengenaan pajak PPh Pasal 22 adalah nilai impor yang dibayar tidak termasuk PPN dan PPnBM, jika ada.

Komisi Penjualan

Dari Tamu : Komisi penjualan barang dikenakan PPh pasal berapa sich?

Jawaban saya :
Komisi Penjualan dipotong PPh Pasal 21. Kita kutip dulu bunyi Pasal 21 UU PPh 1984, �Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh pemberi kerja � dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.� Jadi kata kunci di pasal ini adalah imbalan pekerjaan. Baik pekerjaan itu berkaitan dengan pegawai atau bukan pegawai. Tarif yang digunakan adalah tarif progresif.

Berbeda dengan Pasal 23, yaitu hanya terhadap jasa-jasa atau imbalan pekerjaan yang telah disebutkan dalam Pasal 23 UU PPh 1984 dan peraturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984. Jika tidak disebutkan di Pasal 23 UU PPh 1984 dan PER-70/PJ./2007 maka tidak terutang PPh Pasal 23.

Karena itu, pembayaran komisi penjualan kepada Wajib Pajak badan bukan objek PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Perhatikan bunyi Pasal 21 diatas �yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri�. Bagaimana jika yang menerima Wajib Pajak luar negeri? Maka terutang PPh Pasal 26, baik yang menerima orang pribadi maupun badan. Dipotong sebesar 20%. Dasarnya adalah Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh 1984, yaitu �Atas penghasilan � (imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan) yang dibayarkan atau yang terutang oleh � Subjek Pajak dalam negeri � kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia � dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto�.

DPP PPh

Dari geoloveriana@plasa.com tolong saya pak, apakah menghitung pph setelah dikurangi ppn-nya dulu dari nilai pagu

Jawaban saya :
Semestinya DPP (dasar pengenaan pajak) antara PPh dan PPN harus sama. Penghasilan yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh dengan SPT Masa PPN semestinya sama. Karena itu, jika dalam harga beli termasuk PPN maka unsur PPN harus dikeluarkan dulu.

Dari andre_endratno: Pak, minta tolong di dalam spt 2007, apabila nama Wajib Pajak tidak mencukupi sesuai kotaknya, apakah bisa disingkat? Terima kasih. sukses selalu

Jawaban saya :Menurut saya, masalah nama Wajib Pajak tidak perlu persis sama antara Kartu NPWP dengan SPT. Hal tidak boleh berbeda adalah NPWP karena identitas dalam administrasi perpajakan adalah NPWP. Berikut adalah definisi NPWP berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU KUP terakhir [UU No. 28 tahun 2007], �Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.�

Nama di SPT

Dari andre_endratno: Pak, minta tolong di dalam spt 2007, apabila nama Wajib Pajak tidak mencukupi sesuai kotaknya, apakah bisa disingkat? Terima kasih. sukses selalu

Jawaban saya :
Menurut saya, masalah nama Wajib Pajak tidak perlu persis sama antara Kartu NPWP dengan SPT. Hal tidak boleh berbeda adalah NPWP karena identitas dalam administrasi perpajakan adalah NPWP. Berikut adalah definisi NPWP berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU KUP terakhir [UU No. 28 tahun 2007], �Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.�

Kredit Pajak Luar Negeri

Dari diermien : Pak kalau ada bukti potong pajak dari Luar Negeri apakah berlaku bukti potong tersebut di Indonesia (mis Pemotng dari Ghana)

Jawaban saya:
Kredit pajak dari Luar Negeri diatur di Pasal 24 UU PPh 1984. Bunyinya sebagai berikut :
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :

a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;

b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;

c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;

d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;

e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.

(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.


Keputusan Menteri Keuangan sebagai pengaturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud di Pasal 24 ayat (6) UU PPh 1984 adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Diantaranya diatur bahwa:
[a] agar kredit pajak luar negeri dapat diakui, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT. Permohonan dimaksud disertai dengan :
[aa.] Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
[ab.] Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
[ac.] Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

[b] jika kredit pajak dari luar negeri terdiri dari beberapa negara, maka dihitung tiap (masing-masing) negara dengan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri. Contoh penghitungan teknisnya lebih baik lihat langsung ke lampiran Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002.

[c] jika rugi maka kerugian tidak dapat digabungkan. Jadi yang harus digabungkan hanya penghasilan saja. Selain itu, kelebihan kredit pajak luar negeri tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

Friday, December 14, 2007

Wajib Pajak Baru

Saya awam banget nich soal Pajak, nah pas lagi cari2 info di google ketemu blog anda dan tulisannya tentang PTKP sangat informatif sekali cuma saya masih bingung nih, mudah2an Mas Raden ada waktu untuk menjawab email saya.
Bermula dari kewajiban di kantor saya supaya semua karyawannya mengumpulkan KTP untuk dibuatkan NPWP dan setelah NPWP jadi kemudian dibagikan ternyata karyawati yang berstatus istri tidak mendapatkan NPWP karena tanggungan Suami dan pihak kantor menyarankan untuk mengurus NPWP sendiri
Nah saya agak bingung nih karena Suami saya penghasilannya tidak tetap dan biasanya penghasilannya habis untuk operasional saja dan kami punya 4 orang anak. Pekerjaan suami saya di bidang pengobatan alternatif (terapi pijat/akupresur/shiatsu, konsultan spiritual, prediksi tarot,dll) dan saya sendiri sebagai marketing di perusahaan swasta
Yang jadi pertanyaan : * NPWP dibuat atas nama Suami saya atau saya ? Kalo atas nama suami saya, ketika saya apply NPWP melalui e-reg, apa yang harus diisi : Status Usaha --> tunggal atau orang pribadi tertentu (saya bingung nich bedanya) Jenis usahanya ditulis apa ? Alamat usahanya bagaimana ? karena pindah2 --> kalo ada uang ngontrak, kalo tidak buka di rumah / terima panggilan Terus suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan karena menyangkut lampiran untuk NPWP tsb, apa cukup KTP saja atau plus Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha --> maksudnya apa sih, semacam domisili ? kan bukan perusahaan ?
Kutipan dari blog Mas Raden: Karena maksud dari PTKP untuk kebutuhan minimum, penghasilan untuk kebutuhan minimum, maka jika WP OP memiliki istri dan tanggungan maka PTKP juga bertambah. Maaf, UU PPh 1984 memandang bahwa pencari rejeki (penghasilan) adalah suami. Sehingga jika seorang istri pekerja dan suaminya pengangguran maka untuk mendapatkan PTKP tanggungan suami, si istri tersebut harus mendapatkan keterangan dari kantor kecamatan! --> Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya ?
Berikut adalah jumlah PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan neto WP OP yang berstatus kawin, istri punya penghasilan dan penghasilan tersebut digabung dengan penghasilan suami di SPT PPh : 1. WP Kawin, dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 27,600,000 2. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 28,800,000 3. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 30,000,000 4. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 31,200,000 --> kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?
Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa ? apa dampaknya ? menyalahi aturankah ? Trus seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya ?
Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ? harus buat pembukuan ?, seperti apa ?, ada contohnya gak ? laporannya bagaimana? bingung nich walaupun sudah baca informasinya di pajak.go.id
Nindy

Jawaban saya :

Terus terang, saya sendiri belum pernah menggunakan e-registration. Saya dapat NPWP dengan prosedur biasa, mengisi form pendaftaran kemudian diserahkan ke KPP tempat kita akan daftar. Daftarnya juga kolektif, karena ada keharusan pegawai DJP punya NPWP. Jadi yang berkaitan dengan e-registration saya tidak bisa jawab lebih lanjut.

Berkaitan dengan Status Usaha, Jenis usaha, Alamat usaha, jawab dengan kenyataan atau yang �mendekati�. Misalnya, status usaha dijawab orang pribadi tertentu saja bila tidak ada pilihan. Jenis usaha jika masih bingung isikan aja �lain-lain� atau salah satu yang paling banyak mendapatkan penghasilan. Misalnya ibu lebih banyak penghasilan dari agen marketing, tulis saja itu. Dan, alamat usaha pilih yang sesuai dengan jenis usaha. Jadi alamat usaha bisa alamat kantor tempat ibu bekerja. Atau, jika punya tempat praktek, bisa alamat usaha tempat praktek suami ibu.

Ingat, data-data yang dimasukkan adalah data yang berlaku pada saat pendaftaran. Jika setelah pendaftaran ternyata usaha dan alamat usaha Wajib Pajak berubah, maka data tersebut harus di up-date ke KPP. Biasanya setiap SPT yang dikirim selalu ada form untuk perubahan data. Nah, saat menyampaikan SPT Tahunan, sekalian up-date data.

�Suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan?� WP OP non usahawan maksudnya tidak punya usaha sendiri, bukan wirausahawan. Mungkin yang lebih tepat pilihan itu untuk pekerja yang punya majikan atau karyawan. Jadi untuk suami ibu lebih baik WPOP usahawan karena dari pekerjaan suami ibu [selain tidak punyak majikan juga (?)] punya penghasilan.

Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha. Beragam orang mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Karena itu, formulir yang disediakan atau data yang dimintan tentu untuk semua orang. Banyak usaha yang mengharuskan memiliki ijin dari Pemda setempat seperti dari Dinas Perdagangan atau Dinas Perindustrian. Jika pada saat daftar kita sudah punyak ijin, maka isikan nomor ijin dari Pemda tersebut. Jika kita belum punya, jangan dipaksakan dengan mengisi nomor palsu :-).

�Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya?� Mungkin judulnya �Surat Keterangan� yang isinya menerangkan bahwa suami ibu pengangguran atau tidak memiliki penghasilan. Redaksi surat keterangan tersebut tentu tergantung masing-masing penerbit. Bentuknya tidak ada yang baku. Yang penting kan substansi surat tersebut. Kewajiban mengharuskan memiliki surat keterangan ini selalu disebutkan dalam peraturan petunjuk pelaksana pemotongan PPh Pasal 21 seperti KEP-545/PJ./2000.

�Kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?� Banyaknya tanggungan yang boleh ditanggung oleh Wajib Pajak paling banyak hanya 3 orang. Selebihnya tidak ditanggung. Ini kebijakan administrator pajak di Indonesia. Artinya, Wajib Pajak yang memiliki anak 12 orang [seperti saudara sepupu istriku :-)] tetap hanya bisa memiliki tanggungan 3 orang saja. Mungkin ini berkaitan dengan program KB [keluarga berencana].

�Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa?� Berdasarkan UU KUP yang berlaku tahun 2007 dan sebelumnya bahwa NPWP harus atas nama suami. Istri yang memiliki NPWP tersendiri adalah istri yang memiliki perjanjian pisah harta yang dibuktikan dengan akta notaris perjanjian harta. Atau bisa juga dengan keputusan hakim. Tetapi, prakteknya banyak juga yang memiliki NPWP, yaitu NPWP suami dan istri memiliki �NPWP cabang� [kode nomor sama] dengan menambahkan kode �001� setelah kode KPP.

Di Penjelasan Pasal 2 (1) UU No. 28 tahun 2007, berlaku mulai sejak 1 Januari 2008, disebutkan �Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan menuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.� Artinya, sejak 2008 boleh memiliki NPWP terpisan [nomor-nya beda] dari suami. Tetapi petunjuk lebih lanjut ketentuan ini belum ada.


�Seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya?� NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi berlaku seumur hidup. Artinya, bisa berlaku sampai kapan pun dan hanya bisa dirubah datanya, seperti : alamat domisili dan kode KPP terdaftar. Jika ibu tidak memiliki akta pisah harta, lebih baik memiliki NPWP gabungan atas nama suami. Tidak masalah, apakah yang memiliki penghasilan istri atau suami. Toh, pelaporan penghasilannya akan digabung dalam satu SPT. Jika ibu memiliki penghasilan yang sudah dipotong oleh pemberi kerja, maka potongan tersebut akan dikreditkan di SPT suami ibu. Potongan pajak tersebut tidak hilang. Penghasilan yang dilaporkan digabungkan dan pajak-pajak yang sudah dibayar juga digabungkan.

�Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ?� Setiap orang yang memiliki NPWP memiliki kewajiban melaporkan penghasilannya ke KPP terdaftar. Berdasarkan Pasal 3 UU KUP bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT. Sebenarnya, kewajiban ini tidak berlaku hanya untuk mereka yang punya NPWP. Setiap subjek pajak yang mendapatkan penghasilan secara otomatis berarti Wajib Pajak! Kabarnya, kedepan akan ada perbedaan tarif pajak untuk menghitung pajak orang yang punya NPWP dengan yang belum punya NPWP tapi ketahuan punya penghasilan [jika DPR setuju].

�harus buat pembukuan?� UU KUP membedakan antara pembukuan dan pencatatan. Pencatatan boleh disebut �pembukuan sederhana�. Syarat pencatatan berdasarkan Pasal 28 ayat (9) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) adalah catatan penerimaan kotor. Lebih detilnya: Wajib Pajak harus punya buku penerimaan penghasilan. Setiap memperoleh penghasilan dicatat di buku tersebut. Kemudian setiap bulan dijumlahkan untuk memudahkan penghitungan dalam satu tahun. Setiap tutup tahun, misalnya 31 Desember, dijumlah total penghasilan dalam satu tahun. Catatan ini akan jadi dasar pelaporan SPT.

Wajib Pajak yang dapat menggunakan pencatatan adalah mereka yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp.1.800.000.000,- (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dan memberitahukan ke KPP terdaftar 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.03/2007. Tetapi, jika terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Dengan menggunakan catatan maka Wajib Pajak memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan netto. Norma ini adalah persentase tertentu untuk menghitung penghasilan neto sebagai dasar menghitung pajak. Contoh : 32% x Rp.200 juta = Rp.64 juta. 32% adalah besarnya Norma. Rp.200 juta adalah total penghasilan dalam satu tahun. Rp.64 juta adalah penghasilan neto yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dari angka Rp.64 juta ini kemudian dikalikan dengan tarif pajak sebagaimana diatur di Pasal 17 UU PPh 1984.

Ketentuan yang mengatur norma penghitungan penghasilan netto sampai saat ini adalah KEP-536/PJ./2000. Wajib Pajak dapat meminta daftar norma ini ke pejabat AR di masing-masing KPP Pratama. Menurut saya, untuk profesi suami ibu sekarang ini masuk ke nomor urut 161 kode 97000 yaitu Jasa Perorangan dan Rumah Tangga dengan norma untuk wilayah Jakarta 32%.

Bagaimana menerapkan norma jika usahanya banyak? Pertama, penghasilan harus digabungkan sesuai jenis penghasilan atau jenis pekerjaan. Kemudian, masing-masing jenis pekerjaan tersebut dicari tarif normanya. Mungkin tarifnya berbeda-beda. Masing-masing jenis penghasilan dihitung penghasilan neto, kemudian digabung dan dikalikan tarif pajak.

Nah, mudah-mudahan sekarang lebih jelas.

Cag!