Wednesday, May 31, 2017

Intensive Course Transfer Pricing Untuk Eksekutif

Saat ini, sebagian besar negara di dunia mulai menyadari perkembangan dari struktur-struktur multinasional. Selama ini, pemerintah di banyak negara,  termasuk pemerintah Indonesia, telah menyadari adanya risiko sehubungan dengan manipulasi harga yang dilakukan oleh grup-grup internasional dalam transaksi lintas batas mereka. Peraturan-peraturan transfer pricing kemudian hadir untuk menemukan ketidaksesuaian potensial antara keuntungan-keuntungan yang dialokasikan dengan distribusi risiko, asset, serta fungsi antar grup multinasional. 



Banyak negara berkembang tidak berpengalaman dalam menangani masalah-masalah transfer pricing dan prioritas utama mereka adalah menilai tingkat risiko transfer pricing potensial di negara mereka serta meningkatkan kemampuan dan kapasitas mereka dalam administrasi pajak untuk menangani resiko tersebut secara efektif. 

Untuk mengembangkan pemahaman akan prinsip-prinsip dan metodologi-metodologi transfer pricing, pengaplikasian transfer pricing secara praktis sangatlah penting. 

Oleh karena itu, DDTC Academy menyediakan program kursus intensif untuk memperkenalkan prinsip-prinsip dan metodologi-metodologi transfer pricing yang dilengkapi dengan studi-studi kasus. 

Fokus dari kursus ini adalah persyaratan dari 

  • OECD Transfer Pricing Guidelines, 
  • UN Manual on Transfer Pricing, dan 
  • peraturan pajak Indonesia yang timbul akibat penerapan dari persyaratan-persyaratan ini. 
Lebih lanjut, perkembangan terakit dengan proyek OECD/G20 Based Erosion and Profit Shifting (BEPS) juga akan dibahas dalam kursus ini. 

Topik yang dibahas:

  1. Pengenalan, Kerangka Kerja Dasar, dan Tren-tren Dalam Transfer Pricing; 
  2. Prinsip Kewajaran dan Analisis Fungsional;
  3. Metode-metode Transfer Pricing;
  4. Komparabilitas dan Pengukuran Arm’s Length;
  5. Transaksi-transaksi Spesifik; 
  6. Masalah-masalah Kepatuhan dan Penyelesaian Sengketa; 
  7. Lokakarya Analisis Transfer Pricing dalam Praktek dan Pengadilan Semu.


Jadwal Intensive Course:
Setiap Sabtu, 15, 22, 29 Juli, 5, 12, 19, 26 Agustus 2017


Waktu Kegiatan:
09.30 sampai 15.30 WIB


Tempat:
DDTC Academy
Menara Satu Sentra Kelapa Gading

Lantai 5, Unit #0501
Jl. Bulevar Kelapa Gading LA3 No.1

Summarecon, Kelapa Gading, Jakarta Utara 14240

Investasi:
IDR 7.500.000,-


Informasi lebih lanjut:
Eny Marliana
Mobile: +628158980228

Ana Lailatul

Daisy Anita

Tuesday, May 30, 2017

Practical Course : Penyelesaian Sengketa Pajak Internasional

Pajak internasional adalah sebuah permasalahan yang sering diperdebatkan antara para praktisi pajak dan otoritas pajak. Lebih lanjut, perbedaan-perbedaan dalam menginterpretasikan peraturan-peraturan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara wajib pajak dan otoritas pajak dan juga masalah mengenai penerapan dari prosedur P3B seringkali menjadi penyebab terjadinya sengketa pajak internasional di Indonesia. 

Bahkan beberapa sengketa besar yang ada di pengadilan pajak disebabkan oleh perbedaan dalam menginterpretasikan ketentuan dalam P3B.

Dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang mungkin timbul dari sengketa mengenai pajak internasional, sangatlah penting untuk mengetahui strategi dan cara penyelesaiannya. 

Lebih lanjut, penting juga untuk mengetahui tren dari sengketa pajak internasional mengenai apa yang sering terjadi dan bagaimana cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut di pengadilan. Sekali lagi, pengetahuan dan pengalaman menjadi kunci penting untuk memahaminya.

Oleh karena itu, melalui kursus ini, para peserta akan diberikan pemahaman dan pengetahuan dalam merumuskan strategi untuk menyelesaikan sengketa mengenai pajak internasional dengan mengacu pada kasus-kasus yang nyata terjadi. 

Melalui kursus ini, kami akan berbagi pengalaman kami dalam menyelesaikan sengketa pajak internasional yang telah kami hadapi.

Topik yang dibahas:
  1. ​Gambaran umum: Isu-isu pajak internasional;
  2. Memetakan sengketa pajak internasional berdasarkan kasus nyata (pada level keberatan dan pengadilan pajak);
  3. Penyelesaian sengketa pajak internasional;
  4. Pengadilan semu.

Pengajar:
​​​1.    Anggi P. I. Tambunan, S.Sos., M.H., ADIT., BKP
      Manager of Tax Compliance & Litigation Services at DDTC
 
2.   Riyhan Juli Asyir, S.I.A.
      Specialist of Tax Compliance & Litigation Services at DDTC

Jadwal Kegiatan
:
​Selasa, 
11 Juli 
2017
Waktu kegiatan:
​09.00 - 17.00 WIB​
Tempat:
DDTC Academy
Menara Satu Sentra Kelapa Gading
Lantai 5, ​Unit #0501

Jl. Bulevar Kelapa Gading LA3 No.1 Summarecon
Kelapa Gading Jakarta Utara 14240


Informasi lebih lanjut:

Eny Marliana
Mobile: +628158980228

Ana Lailatul

Daisy Anita

Monday, May 29, 2017

Ini penjelasan Menteri Keuangan Pentingnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Data Perbankan Untuk Kepentingan Perpajakan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan penjelasan perlunya diterbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tentang Akses Keterbukaan Informasi Data Perbankan Untuk Kepentingan Perpajakan dalam rapat kerja bersama Komisi XI di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (29/5/2017). Selain itu, di akun instagram Menteri Keuangan juga memberikan penjelasan secara tertulis. Nah, dibawah ini merupakan copy penjelasan Menteri Keuangan yang dimuat di instragram.





Hari ini saya menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR untuk memberikan penjelasan dan informasi tentang latar belakang diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Pada kesempatan tersebut, saya menjelaskan latar belakangnya yang dimulai pada tahun 2008, ketika Amerika Serikat (AS) berhasil menemukan bahwa salah satu bank di Swiss telah menjadi tempat penyembunyian aset keuangan milik Wajib Pajak AS yang bertujuan untuk menghindari pajak. Pemerintah AS mengenakan denda kepada bank tersebut sebesar USD700 juta dan mewajibkan bank tersebut untuk mengungkapkan informasi lebih dari 5000 rekening milik orang AS kepada Internal Revenue Service (IRS). 

Dari pengalaman tersebut, tahun 2010 pemerintah AS menerbitkan kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang mengharuskan semua Lembaga Keuangan Asing (Foreign Financial Institution/FFI) untuk memberikan informasi tentang nasabah mereka yang merupakan warga negara AS ke IRS.

Terdorong dengan kebijakan Amerika Serikat tersebut, negara-negara yang tergabung dalam forum G20 bersepakat bahwa kebijakan tersebut tidak hanya dapat diterapkan secara unilateral, namun juga dapat diterapkan secara global untuk mengatasi praktik penghindaran pajak. Para pemimpin negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia dalam London Summit 2009, telah mendeklarasikan untuk mengambil tindakan terhadap negara atau yurisdiksi yang tidak kooperatif terkait transparansi untuk kepentingan perpajakan, termasuk negara-negara “tax haven”. 

Para pemimpin negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia siap memberlakukan sanksi dalam rangka melindungi keuangan publik dan sistem keuangan negara mereka. Pada pertemuan tersebut, juga telah dideklarasikan bahwa era kerahasiaan perbankan telah berakhir untuk kepentingan perpajakan.

G20 kemudian mendorong Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) melalui Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose (Global Forum) untuk menerbitkan Common Reporting Standard (CRS), sebagai sebuah standar pengumpulan data dan pelaporan. 

Global Forum adalah forum yang saat ini beranggotakan 139 negara atau yurisdiksi, termasuk Indonesia, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan pertukaran informasi di bidang perpajakan agar sesuai dengan standar-standar pertukaran informasi yang telah disepakati termasuk pelaksanaan Automatic Exchange of Financial Information (AEOI).

Saat ini, sebanyak 100 negara atau yurisdiksi telah berkomitmen untuk ikut serta dalam AEOI, 50 negara atau yurisdiksi telah berkomitmen untuk mulai menerapkan AEOI per September 2017, dan 50 negara atau yurisdiksi lainnya berkomitmen untuk mulai menerapkan AEOI per September 2018. Negara atau yurisdiksi telah berkomitmen tersebut termasuk Offshore Financial Center seperti Swiss, Hong Kong, Singapura, Panama, Luxemburg, dan Uni Emirat Arab. Saat ini, Hong Kong, Swiss, dan Singapura telah mengesahkan legislasi primernya untuk mengimplementasikan AEOI dan telah menyatakan siap bertukar informasi keuangan hanya dengan negara yang tingkat transparansi untuk kepentingan perpajakan yang sama (level playing field).

Dalam rangka memenuhi komitmen implementasi AEOI, Indonesia harus memiliki legislasi primer (Undang-Undang) dan sekunder (peraturan di bawah UU) paling lambat pada tanggal 30 Juni 2017. Kegagalan mengambil langkah cepat dan tepat akan merugikan Indonesia karena Indonesia dapat dikategorikan sebagai “Non-Cooperative Jurisdiction” yang berdampak pada penilaian dunia internasional bahwa Indonesia tidak level playing field dengan negara-negara yang telah memenuhi komitmen AEOI. 

Hal ini dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang tidak transparan, tax haven country, tempat untuk pencucian uang, dan tujuan penyimpanan pendanaan terorisme. Akibatnya, Indonesia menjadi tidak kompetitif secara ekonomi karena cost of doing business menjadi lebih mahal dibandingkan negara yang telah memenuhi komitmen AEOI. Selain itu, sesuai dengan prinsip resiprokal yang dianut, Indonesia tidak akan memperoleh informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang disimpan di luar negeri baik yang sudah atau tidak mengikuti program pengampunan pajak.

Dengan pertimbangan adanya keadaan yang memaksa dan kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera memberikan akses bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan diundangkan pada tanggal 8 Mei 2017. Penyusunan PERPU ini telah dikoordinasikan dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Pemerintah menjamin bahwa kewenangan DJP atas akses informasi keuangan ini hanya untuk kepentingan perpajakan dan tidak disalahgunakan oleh pegawai DJP untuk kepentingan yang lain. Informasi keuangan Wajib Pajak akan dijaga kerahasiaannya. Bagi pegawai DJP yang tidak menjaga kerahasiaan informasi keuangan tersebut akan dikenakan sanksi pidana denda dan pidana kurungan. Pemerintah akan terus melakukan peningkatan kualitas pengamanan atas kerahasiaan informasi keuangan dengan merujuk pada standar yang diakui secara internasional.

Momen penguatan basis data administrasi perpajakan yang bersumber dari hasil AEOI ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk penerimaan pajak yang digunakan untuk membiayai pembangunan guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Jakarta, 29 Mei 2017 

Monday, May 22, 2017

Ini Cara Menghitung PPh Final Pajak UKM

Persepsi rumitnya kewajiban perpajakan bisa dikatakan menjadi salah satu alasan wajib pajak enggan mengurus pajak. Hal ini lah yang melatarbelakangi diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46/2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu di bawah Rp 4,8 miliar setahun.
Lebih jauh, peredaran bruto yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah omzet. Peraturan ini adalah inti dari Pajak UKM karena memberikan solusi bagi pelaku UKM berupa kemudahan dan kesederhanaan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Penghitungan pajak yang berdasarkan omzet dimaksudkan agar pelaku UKM dapat mudah menghitung pajak yang harus dibayarkan tanpa keharusan atas pembukuan yang lengkap.
Sebagai contoh, Ibu Tisya adalah seorang pedagang batik dan telah merintis usahanya selama tiga tahun dengan omzet setahun terakhir Rp 200 juta. Rinciannya adalah sebagai berikut:
Januari25.000.000Juli20.000.000
Februari11.000.000Agustus18.000.000
Maret13.000.000September25.000.000
April16.000.000Oktober13.000.000
Mei15.000.000November17.000.000
Juni11.000.000Desember16.000.000
Total omzet usaha Ibu Olivia selama setahun adalah Rp 160 juta. Jadi, PPh Final UKM Ibu Olivia untuk Januari sebesar:
1% x Rp 25 juta = Rp 250 ribu
Pajak penghasilan pada Juni adalah
1% x Rp 20 juta = Rp 200 ribu
Demikian seterusnya. Omzet per bulan dikalikan 1%. Total pajaknya selama setahun adalah Rp 2 juta.
Seperti diketahui, PPh Final merupakan istilah atau nama lain dari PPh Pasal 4 ayat 2. Ada berbagai macam objek PPh Final, seperti untuk sewa bangunan, jasa konstruksi, pajak atas obligasi, pajak atas peredaran bruto (omzet) usaha.
Berdasarkan penghitungan di atas, semua transaksi penjualan Anda per bulan harus dijumlahkan terlebih dahulu, kemudian dikalikan 1%. Pada tanggal 15 setiap bulannya, Anda harus membayarnya ke kas negara. Setelah membayarnya, Anda akan mendapatkan bukti bayar pajak atau Nomor Tanda Penerimaan Negara (Bukti Pembayaran/NTPN).
Di aplikasi OnlinePajak, Anda dapat menghitung otomatis dan bayar pajak 1% dengan mudah, 1 klik saja. Tak perlu lagi datang ke bank untuk antre buat ID billing dan bayar pajak. Bagaimana caranya? Ini langkah-langkah mudahnya:
  • Daftar atau Masuk Aplikasi PPh Final 1%. Daftarkan akun Anda atau kalau sudah, pilih dan masuk ke aplikasi PPh Final 1% OnlinePajak.
  • Buat Faktur Penjualan. Buat faktur penjualan dengan mudah. Masukkan nama barang penjualan, jumlah dan harganya. OnlinePajak akan menghitung pajaknya secara otomatis.
  • Setor PPh Final 1% Selanjutnya, klik "Setor Pajak". Anda akan terhubung sistem Cash Management OnlinePajak untuk bayar pajak online dan buat e-billing pajak sekaligus. Pastikan Anda sudah menambah saldo (top up) di sistem Cash Management OnlinePajak.
  • Dapatkan NTPN. Dapatkan NTPN dan status setor pajak Anda berubah menjadi "Lunas".

Wednesday, May 17, 2017

Jadikan Perppu Momentum Meningkatkan Tax Ratio

Sampai dengan tahun 2017 ini, tax ratio Indonesia masih sekitar 11%. Rasio ini dipandang kecil dibandingkan dengan negara-negara G20 dimana Indonesia sebagai anggota. Pun begitu dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia. Salah satu alasan kenapa tax ratio Indonesia kecil adalah rahasia bank. Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak tidak memiliki kewenangan untuk mengakses data perbankan seperti otoritas pajak di negara lain. Nah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2017 mencabut rahasia tersebut dan memberikan kewenangan kepada Ditjen Pajak untuk mengakses informasi keuangan. 
Tahun 2017 ini pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali membukan rahasia perbankan untuk tujuan perpajakan. Terlalu besar risiko yang harus ditanggung jika Indonesia masih mempertahankan rezim rahasia bank.

Risiko yang akan ditanggung Indonesia sudah tertulis dalam bagian menimbang. Begini risiko yang dihindari dengan menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2017 :

Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017.


Apabila Indonesia tidak segera memenuhi kewajiban sesuai batas waktu yang ditentukan, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang gagal untuk memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment), yang akan mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, antara lain : 

  • menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, 
  • menurunnya kepercayaan investor, dan 
  • berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta 
  • dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal.


Kenapa Perppu No. 1 Tahun 2017 sangat penting bagi perpajakan? Ditjen Pajak sampai sekarang sering disebut "berburu di kebun binatang". Maknanya, Ditjen Pajak mengandalkan intensifikasi atas wajib pajak yang sudah bayar pajak.

Ada banyak wajib pajak yang tidak lapor dan tidak bayar pajak dan sebenarnya secara potensi cukup besar. Secara teoritis tax gap masih besar. Potensi pajak yang belum direalisasikan menjadi penerimaan negara masih banyak.Tetapi perhitungan tax gap ini tidak bisa dieksplorasi karena Ditjen Pajak tidak memiliki data.

Ya, Ditjen Pajak tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak memiliki bukti bahwa seseorang tidak patuh pajak. Tidak cukup dengan melakukan himbauan melaksanakan kewajiban perpajakan berdasarkan indikasi saja.

Perppu No. 1 Tahun 2017 dapat dijadikan modal bagi Ditjen Pajak untuk mengeksplorasi tax gap dan "berburu di hutan rimba". Memperluas basis pengawasan perpajakan berdasarkan data perbankan.

Berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2017, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:

  • laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan
  • laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,

yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender.

Menyampaikan informasi keuangan ke Direktur Jenderal Pajak sifatnya wajib (mandatory) bagi lembaga keuangan. Lembaga keuangan yang dimaksud bukan hanya bank, tapi termasuk pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Berdasarkan data keuangan tersebut, maka Ditjen Pajak dapat menganalisis siapa-siapa yang memiliki penghasilan BESAR tetapi tidak bayar pajak.

Sebaliknya, wajib pajak juga tidak dapat mengelak atas kewajiban perpajakan karena Ditjen Pajak memiliki dasar yang kuat untuk menetapkan pajak terutang.

Secara nasional, informasi keuangan yang dihimpun oleh Ditjen Pajak dapat memetakan bolong-bolong yang selama ini bersembunyi dan tidak bayar pajak. Dan pada akhirnya, tax ratio Indonesia diharapkan akan meningkat.

Karena aturan baru mewajibkan lembaga keuangan menyampaikan informasi keuangan ke Direktur Jenderal Pajak, maka Perppu No. 1 Tahun 2017 menghapus pasal-pasal "penjaga rahasia". Berikut pasal yang dihapus dengan Perppu No. 1 Tahun 1017 khusus terkait kepentingan perpajakan :

  • Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU KUP;
  • Pasal 40 dan Pasal 41 UU Perbankan;
  • Pasal 47 UU Pasar Modal;
  • Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 UU Perdagangan Berjangka Komoditi;
  • Pasal 41 dan Pasal 42 UU Perbankan Syariah; 

Monday, May 8, 2017

Wajib Pajak UKM yang Dikenakan Tarif PPh Final

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh Final adalah jumlah peredaran bruto (omzet) setiap bulan yang dikalikan tarif PPh final satu persen. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.

Siapa saja yang harus lapor dan setor Pajak PPh Final? Berikut ini kriteria wajib pajak UKM yang dikenakan dan tidak dikenakan tarif PPh Final/Pajak UKM. Wajib pajak yang dikenakan tarif PPh Final:

  1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan yang tidak termasuk bentuk usaha tetap
  2. Menerima penghasilan dari usaha, tetapi tidak termasuk penghasilan dari jasa yang berhubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Tidak termasuk wajib pajak yang dikenakan PPh Final/Pajak UKM adalah:

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya, yaitu:
    • menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
    • menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

  1. Wajib Pajak Badan yang:
    • belum beroperasi secara komersial; atau
    • Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto (omzet) melebihi Rp 4,8 miliar.

Batas akhir penyetoran Pajak UKM adalah tanggal 15 setiap bulannya. Pajak UKM ini disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi yaitu bank yang menerima pembayaran pajak. Setelah melakukan setor pajak Anda akan mendapatkan bukti bayar atau NTPN (Nomor Tanda Penerimaan Negara).

Setiap tahun, pelaku UKM harus melaporkan pendapatan tahunannya dengan form SPT 1770 kepada DJP. Pada form SPT 1770 terdapat lampiran PPh Final. Pada lampiran ini, pelaku UKM harus memberikan laporan peredaran bruto atau omzet penjualannya dan melaporkannya ke KPP paling lambat tanggal 31 Maret.

ADAKAH PTKP UNTUK UKM?

Pada para pelaku UKM tidak dikenakan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) pada penghasilannya. Hal ini dikarenakan penghasilan bruto pelaku UKM sudah dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar satu persen.

Hal ini berbeda dengan pegawai atau pekerja bebas yang menerima penghasilan dari suatu perusahaan dan dikenakan PTKP dengan jumlah tertentu yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak. Klik https://www.online-pajak.com/id/pph-final untuk info selengkapnya. 

Thursday, May 4, 2017

PPh Final: Mengapa Harus Bayar Pajak UKM?

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, penghasilan terbagi menjadi dua; penghasilan yang merupakan objek pajak dan penghasilan yang bukan objek pajak. Begitu pula cara pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan yang merupakan objek pajak, juga terbagi menjadi dua. Pertama, dikenakan PPh secara umum dengan menggunakan tarif pasal 17 (tarif umum), dan pengenaannya dilakukan di SPT Tahunan. Kedua, dikenakan PPh Final.
Pengenaan PPh secara final berarti penghasilan yang diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu, dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang, tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut.
Maka dari itu, penghasilan yang dikenakan PPh Final ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
PPh Final menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 dikenakan pada wajib pajak pribadi dan badan yang memiliki omzet usaha kurang dari Rp 4,8 miliar dalam setahun. Berikut ini tiga alasan mengapa Anda wajib bayar PPh Final dengan tarif yang telah ditentukan:

TIGA ALASAN WAJIB PAJAK HARUS BAYAR PPH FINAL 1%

Warga negara yang baik tentu harus menghargai keputusan yang telah dibuat pemerintah dan mengikuti aturan. Wajib pajak perlu berpikir lebih bijak. Orang bijak, taat pajak! Mari sukseskan pembangunan negara melalui ketaatan dan kepatuhan pembayaran pajak. Pajak yang Anda bayarkan digunakan untuk kepentingan bersama dan manfaatnya dapat dirasakan bersama.
1. Mematuhi Peraturan
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh Final atas penghasilan-penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengenakan PPh Final atas penghasilan tertentu dengan pertimbangan kesederhanaan, kemudahan, serta pengawasan.Pengenaan PPh Final sebagian berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini. Namun demikian, ada juga pengenaan PPh final berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang PPh.
2. Ikut Membangun Indonesia
Salah satu fungsi pajak adalah untuk pembangunan infrastruktur. Infrastruktur transportasi seperti jalan dan jembatan dibangun membangun dana dari pajak. Selain itu, dana dari pemungutan pajak juga digunakan untuk meningkatkan fasilitas kesehatan serta memberikan subsidi di bidang pertanian. Jika Anda juga belum tahu, pajak merupakan salah satu anggaran terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sangat berpengaruh bagi kemajuan pendidikan di Tanah Air karena hasil penarikan pajak juga digunakan untuk membiayai Biaya Operasional Sekolah.
Sebagai warga negara sekaligus wajib pajak teladan, mari jadikan Indonesia lebih baik lagi melalui pengumpulan pajak. Pajak 1% dari penjualan Anda sangat berarti bagi kemajuan bangsa.
3. Menghindari Risiko Bisnis
Direktorat Jenderal Pajak akan memeriksa laporan pajak usaha atau bisnis Anda. Jika Anda lalai dalam melakukan setor dan lapor pajak, DJP bakal menutup bisnis yang telah Anda bangun selama ini. Hindari risiko bisnis terjadinya permasalahan tersebut dari sekarang. Penuhi kepatuhan pajak Anda dengan menggunakan aplikasi OnlinePajak yang sangat mudah.
Klik link di bawah ini untuk mengetahui cara menghitung PPh Final UKM dengan mudah: https://www.online-pajak.com/id/pph-final-cara-menghitung-pph-final-ukm