Thursday, August 25, 2011

Budaya "Jancuk" bagi Orang Surabaya: Satu Kata Berjuta Makna.


Kata umpatan biasanya bila diucapkan pasti dapat menimbulkan sakit hati, marah, bahkan juga bisa memicu terjadinya perkelahian. Dalam budaya orang Surabaya kata umpatan yang sering terdengar dan familiar di telinga kita yaitu kata “Jancuk”. Anehnya kata “Jancuk” tersebut dalam perkembangannya tidak hanya berfungsi sebagai bentuk luapan emosi atau amarah seseorang yang sedang terbawa dalam kondisi ego yang tinggi , namun kata “Jancuk” juga dapat berfungsi sebagai kata sapaan, kata keakraban dan lain sebagainya.
Istilah “Jancuk” bagi tradisi daerah lain di Jawa Timur tergolong sebagai kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan atau biasa disebut dengan “meso”. Daerah lain di luar Surabaya menganggap kata “Jancuk” sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga dapat menimbulkan pebuatan dosa.
Budaya Surabaya justru sebaliknya, menganggap kata “Jancuk” sebagai kata yang mampu menghadirkan jutaan makna. Ketika seseorang sedang bergembira kata "Jancuk" juga tetap diucapkan contoh: "Jancuk nemu duwek rek lumayan iki" arti dalam bahasa Indonesia:"Jancuk saya menemukan uang, asyik..." ketika seseorang sedang marah kata "Jancuk" justru lebih terasa mantab untuk digunakan, contohnya: "Jancuk,.!!! Raimu gateli, awas kon yo" arti dalam bahasa Indonesia:"Jancuk..!!! kamu kurang ajar ya, tunggu pembalasanku", ketika seseorang bertemu teman baiknya, kata "Jancuk" juga tetap tidak boleh ketinggalan contohnya "Jancuk, nangdi ae kon.? gak tau ketok blas rek" arti dalam bahasa Indonesia:"Jancuk, kemana saja kamu? kita jarang ketemu ya."

Dari beberapa contoh di atas dapat kita lihat bahwa kata "Jancuk" dalam budaya orang Surabaya merupakan kata yang memiliki beragam fungsi dan kegunaan. kata "jancuk" tidak hanya menjadi kata umpatan tetapi lebih dari itu kata "Jancuk" sudah menjadi suatu bentuk identitas atau bisa dikatakan sebagai bahasa pergaulan bagi orang Surabaya. 

Thursday, August 18, 2011

Sejarah Indonesia: Negeri Terbaik di Mata Yang Maha Esa

Dalam perjalanan sejarah dunia, kita
mengenal beragam agama dari mulai Hindhu, Budha, Yahudi, Kristen, hingga agama
Islam. Dari sekian macam agama tidak satupun agama yang diturunkan atau berasal
dari bumi Indonesia. Mengapa agama tidak turun di Indonesia?? Ternyata dari
perjalanan sejarah bangsa kita, ada suatu hal yang menakjubkan yang menjadi “Kunci
Jawaban” dari pertanyaan ini yaitu bahwa bangsa kita sejak Zaman Pra-Aksara
merupakan bangsa yang Beradab, berbudaya dan berperikemanusiaan.
Agama hanya diturunkan kepada kaum,
golongan, bangsa atau Negara yang rusak, tidak beradab, atau tidak memiliki
nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai contoh agama Islam diturunkan pada kaum Baduwi
di Arab Saudi yang disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kaum Baduwi merupakan
kaum dengan latar belakang budaya yang dapat dikatakan menyimpang, wanita tidak
dihormati sebagai mestinya, judi dan minuman keras menjadi suatu tradisi,
melahirkan bayi wanita merupakan aib dan harus dibunuh, oleh karena itu Islam diturunkan
ditengah masyarakat Baduwi agar dapat merubah kehidupan kaum Baduwi ke jalan
yang diridhoi Tuhan YME.
Jauh sebelum Islam diturunkan, di Indonesia
berkembang suatu kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Melihat kondisi demikian
seharusnya negeri kita juga merupakan bangsa yang tergolong “rusak”, namun
anehnya mengapa negeri kita tidak dipilih oleh Tuhan sebagai negeri lahirnya
Agama? Ternyata meskipun bangsa kita memiliki kepercayaan Animisme dan Dinamisme
namun kehidupan bangsa kita tergolong sebagai bangsa yang beradab. Bangsa kita
memiliki beberapa nilai-nilai kehidupan yang arif dan bijak seperti pentingnya
penghormatan kepada orang tua, ajaran Mo Limo/larangan melakukan 5 keburukan
yaitu Maen:Judi, Madon:Zina, Mendhem:Mabuk-mabukan, Maling:Mencuri,
Madhat:durhaka kepada orang tua serta toleransi dan rasa kekeluargaan yang
harus terus dilestarikan.
Dari sedikit gambaran di atas, mari kita
renungkan apa yang terjadi di negeri kita saat ini. Apakah kita tidak malu
kepada para nenek moyang kita..??? mereka yang dikatakan primitive dan belum
mengenal tulisan ternyata jauh lebih baik dari pada kita yang katanya
berperadaban modern. Bahkan sesama agama pun kita saling serang, sungguh
memalukan sebagai suatu bangsa yang Pancasilais. Marilah kita jaga  Bhinneka Tunggal Ika kita, jangan sampai ada
suatu orang atau bahkan golongan yang hendak merubahnya bahkan oleh ideology agama
sekalipun karena hanya itulah warisan terakhir dari nenek moyang kita.