Monday, March 31, 2008

Aturan Baru Merger

Jakarta, 26 Maret 2008 - Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas, Djoko Slamet Surjoputro dan Direktur Peraturan Perpajakan II, Djonifar Abdul Fatah, hari ini bertempat di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan atau Pemekaran Usaha yang mulai berlaku sejak tanggal 13 Maret 2008.

 

1. Aturan Pokok

Dalam aturan pokok, nilai perolehan atau penggalihan harta yang dialihkan dalam rangka merger atau pemekaran usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Kebijakan pemerintah yang diatur dalam PMK No 43/2008 ini adalah untuk memberikan fasilitas menggunakan nilai buku dalam rangka merger atau pemekaran usaha.

2. Business Purposes Test

Busines Purpose Test adalah suatu pengujian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengetahui apakah perusahaan yang mengajukan permohonan penggunaan nilai buku dalam rangka merger secara nyata ditujukan hanya untuk pengembangan usaha semata. Pengujian ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak (WP) yang akan menggunakan nilai buku dalam rangka merger atau pemekaran usaha. Tujuannya adalah agar WP dapat dievaluasi tentang maksud dan tujuannya untuk melakukan merger, sehingga dapat dicegah kemungkinan adanya usaha untuk penghindaran pajak yang tidak seharusnya terjadi.

Persyaratan ini sebetulnya dapat diilustrasikan secara sedeerhana sebagai berikut: kalau suatu perusahaan yang usahannya adalah bengkel sepeda ingin melakukan merger dengan pabrik tekstil, tentunya hal ini tidak memenuhi business purpose test karena merger tersebut bukan bertujuan untuk pengembangan usaha atau menciptakan sinergi yang lebih baik. Lain halnya suatu bank yang bermaksud merger denga perusahaan bank lainnya, disini terlihat maksud penggabungannya adalah dalam rangka pengembangan usaha (a good faith business purpose)

3. Tidak dicantumkannya Persyaratan Likuidasi

Dalam ketentuan terdahulu ditegaskan bahwa merger dilaksanakan dengan melikuidasi badan usaha yang menggabung atau badan-badan usaha yang bergabung (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2005). Dalam ketentuan baru hal ini tidak dicantumkan lagi, sehingga perusahaan yang ingin menggunakan nilai buku dalam rangka merger tidak perlu likuidasi terlebih dahulu.

4. Tidak diperbolehkannya mengalihkan kerugian/sisa kerugian.

Dalam ketentuan terdahulu, WP dalam rangka merger boleh mengalihkan kerugian/sisa kerugian dengan syarat wajib melakukan revaluasi yang atas selisih revaluasi (capital gain) dikenakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final 10%.

Dalam ketentuan sekarang ini, Wajib Pajak dalam rangka merger tidak boleh mengalihkan kerugian/sisa kerugian.

5. Tidak adanya persyaratan revaluasi

Dalam ketentuan sekarang ini persyaratan revaluasi tidak dicantumkan. Berarti Wajib Pajak yang merger tidak wajib melakukan revaluasi terlebih dahulu, sehingga capital gain tidak akan timbul. Dengan demikian tidak ada penggenaan pajak.

 

Selesai

Contact person : Yari Yuhariprasetia, Subdit Hubungan Masyarakat P2Humas. Gedung B lantai 15 Kantor Pusat Jl. Gatot Subroto Kav 40-42.

 

disalin dari http://10.9.13.215/441

Catatan : sampai dengan saat ini [posting melalui email@pajak.go.id] saya belum mendapatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 karena di portaldjp pun belum dimuat. Terima kasih.

 

 



Catatan II [edit 14 April 2008]
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 bisa didapat disini. Terima kasih.

Wednesday, March 26, 2008

SUNSET POLICY

Terus terang saya sendiri baru baca istilah "sunset policy" sejak keluarnya undang-undang No. 28 tahun 2007 [UU KUP]. Sesuai dengan namanya, "sunset" atau magrib, mungkin diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang sudah mau "tidur" atau beristirahat dengan tenang. Sebenarnya, kantor pajak tidak memiliki data atau tidak bermaksud untuk mengejar-ngejar Wajib Pajak tersebut, tetapi karena ada kebijakan ini, maka si Wajib Pajak tersebut jadi bangun dan melaporkan penghasilannya ke kantor pajak. Begitu kira-kira yang saya tangkap.

Memang, tujuan sunset policy ini  untuk menarik mereka yang berada di "undercover" dan selama ini tidak tersentuh oleh kantor pajak.  Tetapi kabar-kabur yang saya terima, ini sebenarnya pelipur lara karena DJP tidak tercapai membuat "UU Pengampunan Pajak" yang lebih komprehensif.  Maunya DJP adalah adanya UU Pengampunan Pajak yang bisa menghilangkan sanksi pidana bagi mereka yang melaporkan penghasilannya sampai dengan tahun tertentu [kumulatif]. Dan sanksi pidana yang dibebaskan tersebut adalah semua sanksi pidana termasuk sanksi pidana korupsi.

Sunset policy yang dimaksud adalah  Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2008 yang berbunyi :

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

 Wajib Pajak yang membetulkan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2007 [artinya untuk tahun pajak 2006 sampai dengan 1998, lebih lama lagi sudah daluarsa penagihan pajak] selama tahun 2008 ini, diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.  Pasal 37A ayat (1) UU KUP diatas tentunya diberlakukan untuk Wajib Pajak yang sudah terdaftar dan memiliki NPWP sebelum tahun 2008.

Wajib Pajak Orang Pribadi yang dengan sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP  selama tahun 2008 ini :

[a.] Diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga; 

[b.] Tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar, atau SPT Tahunan PPh OP menyatakan lebih bayar [tambahan "atau keterangan"  ada di peraturan pemerintah dan peraturan menteri keuangan].

Pasal 37A ayat (2) UU KUP diatas diberlakukan untuk mereka yang sampai dengan akhir tahun 2007 belum mendaftarkan diri dan padan tahun 2008 ini secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.  Tahun pajak yang dilaporkan adalah tahun pajak 2007 dan tahun  pajak  sepuluh tahun kebelakang. Selain itu,  Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 mengatur bahwa pelaporan SPT Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut paling lambat 31 Maret 2009. Artinya, untuk pelaporan Pembetulan SPT PPh Tahunan  OP masih ada waktu satu lagi.

Hal yang penting dan harus diingat bahwa sebelum Pembetulan SPT [atau SPT sebagaimana dimaksud Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2008]  disampaikan ke kantor pajak, maka pajak yang kurang bayar [jika ada] akibat pembetulan [atau pelaporan] tersebut harus DIBAYAR LUNAS.

Untuk menyukseskan kebijakan ini, DJP membuat pengumuman sebagai berikut :

 

P E N G U M U M A N

NO. 02 /PJ.09/2008

FASILITAS PENGHAPUSAN SANKSI PAJAK PENGHASILAN

Kepada seluruh masyarakat dihimbau untuk memanfaatkan fasilitas perpajakan sesuai dengan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang baru, bahwa:

1.    Bagi orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP paling lambat tanggal 31 Desember 2008 dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan tahun-tahun sebelumnya paling lambat tanggal 31 Maret 2009, diberikan fasilitas penghapusan sanksi administrasi dan tidak akan dilakukan pemeriksaan.

2.    Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan yang membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun sebelumnya, diberikan fasilitas penghapusan sanksi administrasi, sepanjang pembetulan tersebut dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember 2008.

3.    Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi Kriing Pajak (Call Center Pajak) 500200 atau Kantor Pelayanan Pajak terdekat.

Jakarta,   24  Maret 2008

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas

t.t.d

Djoko Slamet Surjoputro

NIP 060044562

 

Tuesday, March 25, 2008

Penundaan Penyampaian SPT Tahunan

Bagi Wajib Pajak yang "hari gini" belum selesai juga membuat Laporan Keuangan dan SPT Tahunan 2007, bisa membuat SPT Tahunan "sementara".  Saya yakin cuma perlu waktu hanya (paling lama) satu jam untuk mengisinya.  SPT Tahunan "sementara" yang dimaksud adalah

[1] Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh WP Badan, yang disebut  Formulir 1771 � Y

[2] Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh WP Badan Dollar Amerika Serikta, yang disebut  Formulir 1771/$ � Y

[3] Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi, yang disebut  Formulir 1770 � Y

[4] Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21, yang disebut  Formulir 1721 � Y

Formulir dimaksud dapat diminta ke KPP yang bersangkutan atau di website www.pajak.go.id  dan formulir diatas [tahun pajak 2007] sama seperti formulir tahun pajak 2006 [tidak ada perubahan]. Lewat email saya juga bisa, tapi saya tidak bisa jamin balasan email tepat waktu. Mohon maaf karena saya tidak on-line setiap hari.

 

Buka di Hari Sabtu

Pada Surat Edaran yang lalu,  SE-15/PJ/2008, Direktur Jenderal Pajak telah mengintruksikan bahwa pada bulan Maret ini KPP yang berada di ibukota provinsi harus buka pada hari Sabtu khusus untuk penerimaan SPT Tahunan 2007. Tetapi tidak semua hari Sabtu, hanya tanggal 8 Maret 2008 dan 22 Maret 2008.

Nah hari Senin lalu, 24 Maret 2008, Direktur Jenderal Pajak mengintruksikan lagi, SE-07/PJ/2008, bahwa pada hari Sabtu tanggal 29 Maret 2008 semua kantor pelayanan pajak di seluruh Indonesia wajib bukan dari jam  08.30 sampai dengan 17.00 waktu setempat khusus untuk penerimaan SPT Tahunan 2007.

Bagi wajib Pajak yang sudah selesai membuat SPT, lebih baik gunakan kesempatan di hari Sabtu tersebut karena jika hari Senin, 31 Maret 2008, kemungkinan antrian pelapor akan panjang. Pengalaman yang sudah-sudah sih begitu J

Salaam

Kring Pajak 500200

 

Peluncuran Kring Pajak 500200
Direktorat Jenderal Pajak akan meluncurkan Kring Pajak yang merupakan sarana informasi dan juga complain center yang disediakan untuk Wajib Pajak. Diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan sebaik-baiknya dengan menghubungi Nomor Telepon : 021-500200

 

 

Thursday, March 13, 2008

Kuasa Wajib Pajak

Pak Darussalam dan Pak Danny tanggal 26 Februari menulis tentang Surat Kuasa di perpajakan sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 22 tahun 2008. Bahkan sebuah artikel pada awal Maret 2008 di www.bisnis.com memperingatkan bahwa para manajer perpajakan di perusahaan besar supaya siap-siap angkat koper.

Sebenarnya siapa kuasa Wajib Pajak?
Kuasa Wajib Pajak bermula dari Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari 2008 [UU No. 28 Tahun 2008]. Berikut bunyi lengkapnya :
(3)Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Nah, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 32 ayat (3a)UU KUP, Menteri Keuangan kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 yang diterbitkan tanggal 6 Februari 2008 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa.

Dan di Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 ada ketentuan yang menjadi "belenggu" bagi pegawai Wajib Pajak [termasuk para manajer atau supervisor perpajakan di perusahaan besar]. Inilah ketentuan yang dimaksud, Pasal 4 ayat (1)
Seseorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan Wajib Pajak hanya dapat menerima kuasa dari:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun; atau
c. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 2.400.000.000,00 (dua miliar empat ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun.

Perhatikan kata-kata "termasuk karyawan WP". Staf, Supervisor, Manajer, Direktur atau Spesialis Perpajakan yang bekerja di perusahaan besar dengan omset diatas Rp.2,4 milyar tentu tidak akan bisa menjadi kuasa Wajib Pajak. Para karyawan Wajib Pajak [apapun jabatannya] hanya bisa menerima kuasa jika perusahaan tersebut beromset dibawah itu. Dengan kata lain, perusahaan besar hanya bisa memberi surat kuasa ke konsultan pajak.

Apalagi ditambah dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 berikut :
Setiap Pegawai dilarang menindaklanjuti pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak yang memberikan kuasa kepada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Tentu yang dimaksud "setiap pegawai" di pasal ini adalah setiap pegawai kantor pajak, apapun jabatannya. Karyawan Wajib Pajak yang tidak memenuni persyaratan Pasal 4 tentu tidak bisa menerima surat kuasa sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (2).
Inilah tafsiran yang diperdebatkan.

Beruntung, Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk mengatur lebih lanjut tentang kuasa Wajib Pajak. Hanya saja kewenangan di Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengharuskan Dirjen Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dan sampai saat ini, saya belum membaca PerDirjen dimaksud. Tetapi pada tanggal 10 Maret 2008, Dirjen Pajak justru menerbitkan Surat Edaran No. 16/PJ/2008. Jika mau membaca lebih lanjut silakan diunduh disini.

Kesimpulan dari Surat Edaran tersebut menyebutkan :
... dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Pengurus, komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali serta karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan perusahaan dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

Dokumen perpajakan seperti Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak, dapat ditandatangani oleh pejabat/karyawan yang ditunjuk oleh Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

Penyerahan dokumen yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu, tidak memerlukan surat kuasa khusus atau surat penunjukan.


Perhatikan kata-kata "karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan ... tanpa memerlukan surat kuasa khusus". Artinya, sejak dikeluarkan Surat Edaran ini para karyawan Wajib Pajak "yang memiliki kewenangan menentukan kebijakan" [apapun jabatannya] bisa mewakili Wajib Pajak di kantor pajak untuk urusan perpajakan dan tidak perlu ada Surat Kuasa.

Apakah Surat Edaran ini melangkahi Peraturan Menteri Keuangan? Mungkin ya, terutama karena saya menduga bahwa Surat Edaran ini keluar sebelum terbit PerDirjen. Tetapi [setelah saya pikir-pikir] kuncinya ada di kata-kata "yang memiliki kewenangan menentukan kebijakan". Jika karyawan Wajib Pajak yang tidak memiliki kewenangan mengurus perpajakan di kantor pajak [terutama masalah pemeriksaan dan keberatan] maka karyawan tersebut tetap harus dibekali Surat Kuasa sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008.

Cag ah!

Pajak Ditanggung Pemerintah Demi Investasi dan Stabilisasi Harga

Mungkin berita berikut untuk menanggapi kritikan Ketua BPK. Sebenarnya, saya juga heran kenapa Ketua BPK baru sekarang mempermasalahkan Pajak Ditanggung Pemerintah yang sering disingkat DTP. Kebijakan DTP sudah lama diadopsi pemerintah sejak lama [terutama di PPN] bahkan sejak saya kuliah di STAN pun sudah ada.

Inilah berita yang saya maksud sebagai berita tanggapan.

Sejumlah Pajak Ditanggung Pemerintah Demi Investasi dan Stabilisasi Harga

(13/03/08)Pemerintah menanggung pembayaran sejumlah jenis pajak untuk mengantisipasi kemungkinan turunnya investasi, karena melambatnya perekonomian global dan meningkatnya harga komoditas pangan strategis, seperti terigu, gandum, kedelai, dan minyak goreng.


Kepala Biro Humas Depkeu, Samsuar Said, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, menyebutkan, mekanisme pajak ditanggung pemerintah (DTP) merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka stabilisasi harga pangan pokok dan upaya mendorong investasi.

DTP adalah pajak terutang suatu perusahaan, baik swasta maupun BUMN yang ditanggung oleh pemerintah melalui penyediaan pagu anggaran dalam subsidi pajak.

Dengan demikian, dalam perhitungan anggaran Pemerintah akan bersifat netral (in-out), karena penerimaan perpajakan akan bertambah sebesar nilai DTP dan pada saat yang sama subsidi pajak yang tercatat pada pengeluaran juga akan bertambah sebesar nilai DTP yang dicatat pada penerimaan.

"Dengan kata lain, Pemerintah tidak membayar pajak, namun memberikan keringanan beban pajak kepada masyarakat melalui DTP. Jadi pemberian DTP tersebut lebih transparan dan dapat dikontrol," jelas Samsuar.


DTP mulai dikenal pada APBN-P tahun 2002. Pengertian DTP sama dengan pengertian "tax expenditure" yang banyak diterapkan di kelompok negara industri maju yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan juga telah sesuai dengan klasifikasi pendapatan negara dalam "Government Financial Statistic" (GFS) tahun 2001 serta IMF "paper".

Dalam RAPBN-P 2008 yang sedang di bahas di DPR, Pemerintah meringankan beban pajak sektor-sektor tertentu kepada masyarakat serta kepada perusahaan yang kegiatannya berhubungan dengan kebijakan stabilisasi harga dan investasi.

Pemberian keringanan beban pajak melalui mekanisme DTP tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10/2008 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah atas impor dan/atau penyerahan gandum dan tepung gandum/terigu, PMK No. 14/2008 tentang PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak goreng curah di dalam negeri, PMK No. 15/2008 tentang PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri.

Insentif fiskal lainnya didasarkan kepada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 776/1992 tentang tata cara perhitungan, penyetoran dan pelaporan bagian pemerintah, PPh, PPN dan pungutan-pungutan lainnya atas hasil pengusahaan panas bumi untuk pembangkit listrik. Juga PMK No. 178/2007 tentang PPN ditanggung pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi.

Dalam RAPBNP 2008, terdapat tambahan alokasi anggaran untuk program stabilisasi harga pangan sebesar Rp7,9 triliun yang terdiri dari tambahan insentif pajak untuk minyak goreng, gandum dan terigu sebesar Rp4,3 triliun, tambahan subsidi raskin 5 kg untuk rumah tangga miskin sebesar Rp2,6 triliun, dan untuk operasi pasar minyak goreng dan bahan baku bagi perajin tahu tempe sebesar Rp1 triliun.

Sementara untuk mendorong investasi sektor energi, dalam RAPBNP 2008 terdapat tambahan alokasi anggaran sebesar Rp17,1 triliun. Jumlah itu antara lain terdiri dari beban Pajak Penghasilan (PPh) panas bumi sebesar Rp0,5 triliun dan beban pendapatan dalam rangka impor (PDRI) untuk eksplorasi minyak dan panas bumi sebesar Rp7,8 triliun.


www.antara.co.id
disalin dari http://portaldjp

Tuesday, March 11, 2008

PowerPoint BPHTB

Sesuai dengan namanya, file PowerPoint biasanya menampilkan poin-poin penting yang menjadi penekanan pembicara. Bahan-bahan dalam PowerPoint diharapkan akan membuat pembaca memahami apa yang disampaikan. Begitu juga dengan file BPHTB berikut ini.

File ini dibuat untuk Property Law Training yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2006. Disampaikan oleh Direktur PBB & BPHTB Ditjen Pajak pada waktu itu. Tidak diragukan lagi, file tentang BPHTB ini tentu sangat penting bagi para pencari ilmu perpajakan khususnya BPHTB.

File ini saya dapatkan dari Fordis intranet. Saya unggah apa adanya. Jika ada peraturan yang keluar setelah tanggal 9 Agustus 2006 tentu tidak akan terakomodasi oleh PowerPoint tersebut, diantaranya Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB yang diterbitkan tanggal 13 Oktober 2006.

Ok. Bagi yang berminat mengoleksi, silakan unduh disini!

Salaam

88 Hari Menuju Lelang

Tidak ada yang pasti kecuali dua hal : kematian dan pajak. Seandainya orang yang berutang kepada Negara (utang pajak) meninggal dunia dan pajak-pajaknya belum dilunasi maka atas warisan yang belum terbagi pun bisa disita kemudian dilelang untuk membayar pajak. Tetapi lelang juga bisa dilakukan kepada Wajib Pajak yang belum meninggal. Dan dalam kondisi normal, harta kekayaan Wajib Pajak akan dilelang sekurang-kurangnya 88 hari setelah produk hukum diterbitkan atau diterima.

Jika satu bulan 30 hari maka formulanya sebagai berikut 30 + 7 + 21 + 2 + 14 + 14 = 88. Nah dari mana angka-angka tersebut? Berikut contekan dari Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 tanggal 06 Februari 2008.

Jatuh tempo pembayaran PPh dan PPN adalah satu bulan sejak tanggal penerbitan. Produk hukum yang dimaksud adalah
(1) Surat Tagihan Pajak (STP),
(2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta
(3) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan
(4) Surat Keputusan Pembetulan,
(5) Surat Keputusan Keberatan,
(6) Putusan Banding, serta
(7) Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jangka Waktu pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak untuk jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Sedangkan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) jatuh tempo pembayaran pajak sebagai berikut:

(1) Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB)
(2)Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKPKB),
(3) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), serta
(4) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan(STB), dan
(5) Surat Keputusan Pembetulan,
(6) Surat Keputusan Keberatan,
(7) Putusan Banding, serta
(8) Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.

Nah, setalah satu bulan lewat dan pajak yang ditetapkan belum juga dibayar oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, maka setelah 7 (tujuh) hari akan keluar Surat Teguran. Tujuh hari tersebut dihitung :

1. sejak saat jatuh tempo pelunasan
2. sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan
3. sejak saat jatuh tempo pengajuan banding
4. sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding
5. sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut.

Apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi [juga] oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.

Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak dan utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, diterbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang.

Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan [lelang] barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara.

Siapa Penanggung Pajak yang harus melunasi pajak negara? Berikut adakah definisi UU KUP,
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Termasuk "wakil" yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiba Wajib Pajak. Siapa sebenarnya wakil menurut UU KUP? Berikut adalah Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP
(1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal :
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.

(2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.


Nah, jika ingin baca lebih lengkap, silakan unduh saja Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 disini.

Salaam

Monday, March 10, 2008

Jika RI 1 Lapor SPT

Tidak bisa disangkal jika Dirjen Pajak merupakan bawahan Presiden. Karena itu, pada saat Presiden "melaporkan" kewajiban perpajakannya ke kantor pajak, boss kantor pajak sekalian lapor juga ke Presiden. Pada momen tersebut, Dirjen Pajak juga sekalian konfrensi pers tentang kegiatan perpajakan. Diantaranya sebagai berikut :

Pajak Buru Produsen Kaya Mendadak

TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktorat Jenderal Pajak terus memburu para produsen batu bara dan kelapa sawit yang kaya mendadak akibat booming harga komoditas internasional. PT Adaro Indonesia mengakui ada kekurangan membayar pajak.

Dirjen Pajak Darmin Nasution memberi batas hingga akhir tahun ini bagi para penunggak pajak itu menyelesaikan kewajiban sekitar Rp 6 triliun. Sekarang, ia sedang menyusun jadwal cicilan pelunasannya. "Kalau telat nyicil, ya kami denda," katanya akhir pekan lalu.

Darmin tidak menyebutkan siapa saja wajib pajak kakap yang dikejar. Namun, sumber di kalangan pengusaha menyebutkan ada beberapa nama besar yang sudah dipanggil. Di bisnis kelapa sawit, ada Indofood, Sinar Mas dan Asian Agri. Sedangkan, di bisnis batu bara, ada Adaro, serta dua unit usaha Bumi Resurces, yakni Kaltim Prima Coal dan Arutmin.

Para pengusaha besar itu telah menikmati rezeki nomplok akibat kenaikan harga komoditas dunia. Apalagi, mereka diduga melakukan transfer pricing. Mereka menjual murah produknya ke anak usahanya di luar negeri untuk mengurangi beban pajak di Indonesia.

Dari hasil pemanggilan eksekutif sejumlah perusahaan kakap itu, menurut Darmin, sudah tiga perusahaan yang mengakui kurang membayar pajak. Namun, ada satu yang protes. Perusahaan ini sedang mengajukan dokumen-dokumen baru. "Kami akan teliti apakah dokumen mereka kuat."

Upaya Darmin itu didukung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat membayar pajak penghasilan (PPh) pribadi di kantor pajak akhir pekan lalu, Presiden memerintahkan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak menuntaskan utang pajak mereka secara transparan, fair dan bisa dipertanggung jawabkan.

Sampai disini wartawan salah persepsi. Presiden tentu tidak bayar PPh di kantor pajak tetapi melaporkan PPh yang telah dilaporkan. Saya yakin, PPh-nya sendiri telah dibayar oleh bendaharawan pemerintah.

Presiden: Tak Ada Tawaran Damai bagi Asian Agri

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai'menyorot penyelesaian kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri Grup. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menegaskan, Presiden telah menginstruksikan untuk tidak ada penyelesaian damai selain lewat jalur hukum.
"Presiden meminta tidak ada out of court settlement. Pokoknya sesuai prosedur yang ada. Sekarang kami sedang menyusun seluruh bukti dan dan data yang ada untuk kami gunakan sebagai landasan untuk mendapatkan hak negara yang harus kami tagihkan ke Wajib Pajak itu," kata Sri Mulyani Sabtu (8/3) saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyerahkan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT).

Orang nomor satu di Indonesia juga mengaku telah mendapat laporan secara lengkap dari Ditjen Pajak mengenai pengusutan kasus Asian Agri. Presiden juga minta pajak segera menyelesaikan kasus ini agar menjadi pelajaran bagi perusahaan lain supaya patuh membayar pajak,

Mendapat dukungan dari Presiden, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Darmin Nasution sumringah bukan main. Meski hingga, kini Ditjen Pajak belum bisa memanggil bos besar Asian Agri Sukanto Tanoto sebagai saksi. Darmin mengaku segera melayangkan panggilan ketiga, sehingga kasus Asian Agri tuntas pada akhir Maret.

Yang pasti pada kasus ini, kata Darmin, penyidik pajak bukan sekadar harus bisa menjelaskan jumlah kekurangan pajak Asian Agri. Lebih dari itu, aparat pajak juga harus bisa membuktikan sumber kekurangan pembayaran pajak tersebut. "Pada kasus kurang bayar pajak di perusahaan lain, kami masih membiarkan mereka menyelesaikan tanpa melanjutkan kepada penyelidikan karena mereka kooperatif menyerahkan semua dokumen yang kami minta," jelas Darmin.


disalin dari http://10.9.13.215/441/

Sri Mulyani Indrawati

Pemimpin Berpengaruh Asia

(11/3/2008) Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meraih penghargaan dari sebuah lembaga kajian berpengaruh Singapore Institute of International Affair (SIIA). Sri Mulyani dinobatkan sebagai salah satu pemimpin yang mempengaruhi perkembangan Asia (Leaders in Rising Asia).

Menkeu dinilai berkontribusi dalam kemajuan kawasan. Baik dalam bidang ekonomi, kebijakan publik, dan tata kelola pemerintahan. Kepala Biro Humas Depkeu Samsuar Said mengatakan, acara penganugerahan digelar di Hotel Grand Copthorne, Waterfront, Singapura, Senin (10/3). "Menkeu menyampaikan presentasi yang berjudul leadership and public governance in Asia," ujar Samsuar.

Menurut Samsuar, isi presentasi Menkeu antara lain menjelaskan dampak dari kombinasi regulasi yang tidak konsisten. Selain itu juga memaparkan kelemahan tata kelola pemerintahan yang dinilai sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi di Asia 1997-1998. "Menkeu juga menjelaskan agenda reformasi ekonomi dan penegakan tata kelola pemerintahan," kata Samsuar.

Selain Sri Mulyani, tokoh lain yang juga mendapat award tersebut adalah Sekjen ASEAN Surin Pitsuwin, Chairman Infosys Technologies Ltd. India N.R. Narayana Murthy, dan Chairman Hang Lung Group Ltd. Hongkong, Ronnie C. Chan.

disalin dari http://portaldjp/

Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP)

JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan mengkritik kebijakan pajak ditanggung pemerintah. Kebijakan itu dimuat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan konsep ini adalah menghapuskan pajak atau bea masuk beberapa komoditas, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) minyak goreng dan bea masuk kedelai. Namun, dalam catatan APBN, pemerintah tetap mencatatnya sebagai penerimaan negara. Selain itu, ada beban belanja untuk membayar pajak minyak goreng dan kedelai.

Dalam rancangan APBN perubahan, pemerintah mengalokasikan pajak ditanggung pemerintah sebesar Rp 500 miliar untuk PPN impor terigu. Selain itu, PPN dalam negeri untuk minyak goreng Rp 3 triliun, PPN impor gandum Rp 1,4 triliun, dan bea masuk kedelai Rp 500 miliar. Pemerintah juga memberikan fasilitas subsidi bea masuk sebesar Rp 2 triliun, subsidi pajak penghasilan panas bumi Rp 500 miliar, pajak penghasilan bunga obligasi Rp 800 miliar, dan PPN bahan bakar minyak dalam negeri bersubsidi Rp 9 triliun. Total pajak yang harus dibayar negara mencapai Rp 25 triliun lebih.

Menurut Anwar, kebijakan itu aneh dan tidak ada acuannya di dalam peraturan perundang-undangan bidang perpajakan. Sebab, ada dua definisi dalam pajak, yaitu yang harus dibayar oleh wajib pajak atau pajak yang harus dipungut dari wajib pajak. "Lah kok ini aneh, ada pajak yang dibayar negara," kata Anwar di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan kasus seperti ini tidak ada di negara lain. "Di negara lain, mana ada negara bayar pajak?" kata Anwar. Dalam aturan pajak, kebijakan ini juga tidak ada. Anwar menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak konsisten menerapkan aturan.


Anwar juga mencurigai pengelolaan penerimaan pajak. Menurut dia, bila tidak dilakukan secara hati-hati, restitusi pajak secara besar-besaran yang dikeluarkan pemerintah bisa merugikan negara. Tahun lalu, restitusi pajak naik 70 persen, padahal ekspor tidak meningkat. "Sayangnya, bagaimana hitungan restitusi pajak itu tidak ada yang tahu," katanya. Anwar berharap uji materi Undang-Undang Pajak oleh Mahkamah Konstitusi bisa meloloskan audit pajak. AGUS SUPRIYANTO

disalin dari http://10.23.254.215/web

Barang Strategis Yang Bebas PPN

Di posting tanggal 19 Mei 2007, telah bahas barang-barang strategis yang dibebaskan PPN-nya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2007, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 31/PMK.03/2008 tanggal 19 Februari 2008 yang menambah RUSUNAMI sebagai barang strategis yang dibebaskan. Karena itu, barang strategis yang dibebaskan sekarang menjadi:

[a.] barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas (tidak termasuk suku cadang ), yaitu yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;

[b.] makanan ternak, unggas dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan;

[c.] barang hasil pertanian;
[c.1.] pertanian, perkebunan dan kehutanan;
[c.2.] peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
[c.3.] perikanan baik dari penangkapan atau budidaya; yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernyatermasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007

[d.] bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;

[e.] dihapus [sebelumnya : bahan baku perak dalam bentuk butiran (granule) dan atau perak dalam bentuk batangan];

[f.] dihapus [sebelumnya : bahan baku berupa kertas uang dan logam uang yang dipergunakan oleh Bank Indonesia dan atau Perum Peruri untuk pembuatan uang kertas rupiah dan uang logam rupiah];

[g.] air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;

[h.] listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan

[i.] Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:
[i.1.] luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
[i.2.] harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp. 144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah);
[i.3.] diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
[i.4.] pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana; dan
[i.5.] merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
[i.6.] syarat RUSUNAMI dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah: dibeli oleh bank dengan tujuan untuk dijual kembali kepada masyarakat dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; dan rumah tersebut harus dijual kembali kepada masyarakat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dibeli.

Bagi pengusaha yang mengimpor atau melakukan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana disebutkan diatas wajib mencantumkan "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007." di faktur pajak standar atau PIB [jika impor]. Karena itu, tidak perlu lagi membuat surat keterangan bebas (SKP) ke kantor pajak.

Semoga bermanfaat. Cag!

Presiden Membayar Pajak Penghasilan Rp 127 Juta

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak selama tahun 2007 lalu Sabtu (8/3). Bersamaan dengan penyerahan SPT itu, Presiden menyetor pajak penghasilan sebesar Rp 127 juta. Jumlah ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 115 juta. �Gaji presiden sampai tahun ke empat tidak naik. Kenaikan pembayaran itu karena kenaikan tunjangan pensiun saya, �ttutur Presiden di Kantor Pusat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.


Pajak Presiden ini untuk memenuhi ketentuan tentang pajak penghasilan (PPh) Pasal 29. Dalam pasal itu, pajak wajib dibayar apabila dalam satu tahun ternyata pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak sebelumnya.

Seperti kita tahu, selain sebagai Presiden, SBY juga memiliki penghasilan lain seperti pencipta lagu, penyanyi, dan penulis buku. Otomatis, SBY juga mendapat royalti dari penjualan album dan buku tersebut. Selain membayar pajak kunjungan presiden ke kantor pajak juga untuk melakukan rapat kerja dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Harian Kontan, 10 Maret 2008
dsalin dari http://10.9.254.215/jb1/

Sunday, March 9, 2008

Pengurangan PBB

Jika pada posting sebelumnya, PER-6/PJ./2008 diatur tentang pengurangan denda administrasi PBB maka pada posting kali ini akan disalin tata cara pengurangan PBB, pokok pajaknya. Hal ini diatur di Keputusan Menteri Keuangan No. 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan PBB. Nah, biar tidak terlalu panjang, saya potong sampai pasal 6 saja deh. Selamat mencermati!

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Pajak terutang adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang;
2. Bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya;
3. Sebab-sebab lain yang luar biasa adalah kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman;
4. Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya adalah :
a. obyek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi;
b. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;
c. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
d. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
e. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan;
f. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.


Pasal 2

Pengurangan atas pajak terutang dapat diberikan kepada :
1. wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4;
2. wajib pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan 3;
3. wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.


Pasal 3

Pengurangan PBB diberikan atas pajak terutang yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).


Pasal 4

(1) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi objek pajak serta penghasilan wajib pajak.
(2) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 2 dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang.
(3) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 3 ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang.


Pasal 5

(1) Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan.
(2) Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung :
a. sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP; atau
b. sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.


Pasal 6

(1) Permohonan pengurangan pajak terutang dapat diajukan secara kolektif atau perseorangan.

(2) Permohonan pengurangan pajak terutang secara perseorangan harus dilampiri :
a. foto copy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya; dan
b. foto copy tanda anggota Veteran, bagi anggota Veteran.

(3) Permohonan pengurangan pajak terutang secara kolektif dapat diajukan sebelum SPPT diterbitkan, selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan melalui :
a. Pemerintah Daerah setempat; atau
b. Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia, bagi anggota Veteran.

(4) Permohonan pengurangan pajak terutang untuk wajib pajak badan harus dilampiri dengan :
a. Foto copy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya;
b. Foto copy SPT PPh tahun pajak terakhir beserta lampirannya; dan
c. Laporan Keuangan.

(5) Permohonan pengurangan pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 2 harus dilampiri Surat Keterangan dari Pemerintah Daerah setempat/Instansi terkait.

(6) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang apabila telah melunasi PBB untuk tahun sebelumnya atas objek pajak yang sama.

Meminta Pengurangan Denda PBB

Berikut ini ada salinan pasal-pasal Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ./2008 tentang Tata Cara Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan. Mudah-mudahan berguna bagi mereka yang keberatan dengan penetapan besarnya PBB oleh kantor pajak.

PBB adalah masalah pajak untuk kelas atas sampai rakyat jelata. Sehingga, tidak jarang penetapan denda PBB sebesar [misalkan] Rp.100.000,00 akan memberatkan Wajib Pajak. Untuk tata cara permintaan pengurangan, peraturannya akan saya cari dulu :-)

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan UU KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

2. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan UU PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.

3. Pengurangan denda administrasi adalah pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UU PBB.

4. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan/Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut KPPBB/KPP Pratama adalah KPPBBIKPP Pratama tempat objek pajak terdaftar.

5. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disebut dengan SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak.

6. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan
SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a UU PBB.

7. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan STP PBB adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) UU PBB.

8. Bukti pelunasan PBB adalah Surat Tanda Terima Setoran (STTS) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan STTS.

Pasal 2

(1) Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu.

(2) Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak yang tercantum dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) UU PBB;

b. denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) UU PBB.

(3) Hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang mengalami kesulitan keuangan atau Wajib Pajak badan yang mengalami kesulitan likuiditas.

Pasal 3

(1) Permintaan pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif.

(2) Permintaan pengurangan denda administrasi secara kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan pokok pajak paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

(3) Permintaan pengurangan denda administrasi secara kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Kepala Desa/Lurah.

Pasal 4

(1) Permintaan pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. satu permintaan diajukan untuk 1 (satu) SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, kecuali yang diajukan secara kolektif;

b. diajukan kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama;

c. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;

d. mengemukakan besarnya persentase pengurangan denda administrasi yang diminta disertai alasan yang jelas;

e. melampirkan surat kuasa khusus dalam hal surat permintaan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU KUP kecuali permintaan yang diajukan secara kolektif;

f. melunasi pokok pajak yang dimintakan pengurangan denda administrasi;

g. tidak memiliki tunggakan tahun-tahun sebelumnya dan belum daluwarsa menurut ketentuan perpajakan yang berlaku;

h. permintaan pengurangan secara kolektif hanya untuk SPPT dan/atau SKP PBB, atau STP PBB Tahun Pajak yang sama;

i. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak pelunasan pokok pajak yang dimintakan pengurangan denda administrasi.

(2) Dalam hal kepada Wajib Pajak diberikan pengurangan pajak yang terutang, maka pokok pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah pokok pajak setelah pengurangan.

(3) Permintaan pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan bukti pendukung.

Pasal 5

(1) Dalam hal pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Kepala KPPBB/KPP Pratama dapat meminta kepada Wajib Pajak untuk melengkapi kekurangan persyaratan dimaksud.

(2) Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun atas kesadaran sendiri, Wajib Pajak harus melengkapi kekurangan persyaratan dimaksud dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi oleh KPPBBIKPP Pratama.

(3) Permintaan pengurangan denda administrasi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan telah melampui waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dianggap sebagai surat permintaan sehingga tidak dipertimbangkan.

Pasal 6

Terhadap SPPT/SKP PBB/STP PBB yang telah diajukan permintaan pengurangan denda administrasi tidak dapat lagi diajukan permintaan pengurangan denda administrasi.

Pasal 7

Bukti pendukung permintaan pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) untuk:

a. Wajib Pajak orang pribadi:

1. fotokopi SPPT/SKP PBB/STP PBB yang dimintakan pengurangan denda administrasi;

2. fotokopi bukti pelunasan PBB 5 (lima) tahun sebelumnya, atau bukti pelunasan tahun-tahun sebelumnya dalam hal Wajib Pajak memiliki, menguasai, dan/atau memanfaatkan objek pajak yang bersangkutan kurang dari 5 (lima) tahun;

3. fotokopi bukti pelunasan pokok pajak tahun yang dimintakan pengurangan denda administrasi;

4. fotokopi slip gaji atau dokumen lain yang menyatakan besarnya penghasilan dan/atau surat keterangan kesulitan keuangan dari Kepala Desa/Lurah;

5. fotokopi bukti pendukung lainnya.

b. Wajib Pajak orang pribadi secara kolektif:

1. fotokopi SPPT/SKP PBB/STP PBB yang dimintakan pengurangan denda administrasi;

2. fotokopi bukti pelunasan PBB 5 (lima) tahun sebelumnya, atau bukti pelunasan tahun-tahun sebelumnya dalam hal Wajib Pajak memiliki, menguasai, dan/atau memanfaatkan objek pajak yang bersangkutan kurang dari 5 (lima) tahun;

3. fotokopi bukti pelunasan pokok pajak tahun yang dimintakan pengurangan denda administrasi;

4. surat keterangan kesulitan keuangan dari Kepala Desa/Lurah; dan

5. fotokopi bukti pendukung lainnya.

c. Wajib Pajak badan:

1. fotokopi SPPT/SKP PBB/STP PBB yang dimintakan pengurangan denda administrasi;

2. fotokopi bukti pelunasan PBB 5 (lima) tahun sebelumnya, atau bukti pelunasan tahun-tahun sebelumnya dalam hal Wajib Pajak memiliki, menguasai, dan/atau memanfaatkan objek pajak yang bersangkutan kurang dari 5 (lima) tahun;

3. fotokopi bukti pelunasan pokok pajak tahun yang dimintakan pengurangan denda administrasi;

4. fotokopi laporan keuangan; dan

5. fotokopi bukti pendukung lainnya.

Pasal 8

Surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e berlaku untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan pokok pajak paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan Wajib Pajak badan.

Pasal 9

(1) Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan atas permintaan pengurangan denda administrasi untuk pokok pajak lebih banyak dari Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(2) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak berwenang memberikan keputusan atas permintaan pengurangan denda administrasi untuk pokok pajak lebih banyak dari Rp. 500.000,000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(3) Kepala KPPBB/KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak berwenang memberikan keputusan atas permintaan pengurangan denda administrasi untuk pokok pajak paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 10

(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permintaan.

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) harus diberikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pengurangan denda administrasi yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) harus diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pengurangan denda administrasi yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atau Kepala KPPBBIKPP Pratama tidak memberi suatu keputusan, maka permintaan dianggap dikabulkan dengan menerbitkan keputusan sesuai dengan permintaan Wajib Pajak.

(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil penelitian.

Pasal 11

Bentuk formulir Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan formulir Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) ditetapkan sebagaimana Lampiran I dan Lampiran II peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 12

Permintaan pengurangan denda administrasi yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini diselesaikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku.

Pasal 13

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 11 Februari 2008

Direktur Jenderal Pajak,
ttd,

Darmin Nasution
NIP 130605098

Lapor SPT di Hari Sabtu

Tanggal 6 Maret 2008 Pak Dirjen mengeluarkan Surat Edaran No. SE-15/PJ/2008 yang mengintruksikan agar KPP di ibukota provinsi buka hari Sabtu. Hanya saja, hari Sabtu yang disebutkan di Surat Edaran tersebut tanggal 8 Maret 2008 dan 22 Maret 2008. Hari Sabtu terakhir di bulan Maret, yaitu 29 Maret 2008 tidak disebutkan. Padahal hari-hari mendekati tanggal 31 Maret 2008 biasanya Wajib Pajak semakin rajin melaporkan kewajibannya.

Seperti biasa, hari kerja di akhir pekan cuma setengah hari. KPP yang buka hari Sabtu memiliki jam kerja 8.30 s.d. 13.30 waktu setempat. Dan pada puncak [hari terakhir] tangal 31 Maret 2008, biasanya Wajib Pajak berdesak-desakan untuk melaporkan SPT tahunannya. Menurut Surat Edaran No. SE-15/PJ/2008, pada tanggal tersebut KPP harus buka sampai jam 19.00 waktu setempat. Padahal, biasanya KPP buka sampai selesai! Walaupun sampai tengah malam, jika masih banyak yang antri untuk lapor, KPP tetap buka. Tanggal tersebut memang tanggal �keramat� bagi kantor pajak :-)

Untuk pelaporan SPT Masa, seperti biasa tetap tanggal 20 setiap bulan, kecuali bagi bendaharawan pemungut PPh Impor dan Badan Pemungut PPN. Karena tangal 20 Maret 2008 merupakan hari libur, Maulid Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa salaam, maka pelaporannya dimajukan ke hari kerja berikutnya. Artinya, bisa lapora di hari Sabtu tanggal 22 Maret 2008.

Selamat lapor. Cag!