Sunday, October 26, 2008

Prinsip Keadilan PPh

Dibagian penjelasan umum perubahan keempat UU PPh 1984 disebutkan prinsip perpajakan yang dianut secara universal. Lebih lengkap bunyi penjelasan tersebut:
Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:
a. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
d. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
e. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing

dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Kabarnya, sejak Adam Smith menyusun buku An Inquiry into the Natura and Causes of the Wealth of Nations telah disarankan bahwa perpajakan harus berlandaskan prinsip Equality [keadilan], Certainty [kepastian], Convenience [kemudahan], dan Economy [efesien]. Kali ini saya [hanya] akan membahas masalah prinsip keadilan [equality].

Banyak yang mempertanyakan sistem keadilan yang dianut oleh UU PPh. Bahkan bagi sebagian orang, pajak merupakan kedzoliman yang nyata [terutama jika mengetahui hasil pemeriksaan pajak dari pemeriksa he .. he..]. Bagi sebagian lain merasa bahwa pajak penghasilan tidak adil. Lantas bagaimana keadilan dipraktekkan di PPh?

Pajak Penghasilan dikenakan kepada Wajib Pajak SEBANDING dengan kemampuannya untuk membayar. Atau sering juga disebut ability to pay. Ada juga yang menyebut daya pikul. Kata �sebanding� dalam perpajakan [bukan hanya PPh] diwujudkan dengan tarif yang menggunakan persentase tertentu. Karena menggunakan tarif persentase maka Wajib Pajak yang berpenghasilan besar akan membayar pajak lebih besar sebaliknya Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil akan membayar pajak lebih kecil. Bahkan pada batas tertentu, Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil tidak bayar PPh.

Ada lagi yang menyebutkan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Apa yang dimaksud dengan keadilan horizontal dan keadilan vertikal? Supaya lebih jelas saya kutip syarat-syarat keadilan [dikutip dari buku-nya Prof. R. Mansury yang berjudul Pajak Penghasilan Lanjutan] :

[a.] syarat keadilan horizontal :
[a.1.] Definisi Penghasilan : semua tambahan kemampuan ekonomis, yaitu semua tambahan kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa, dimasukkan dalam pengertian objek pajak atau definisi penghasilan.

[a.2.] Goblality : semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar atau �the global ability to pay�, oleh karena itu harus dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.

[a.3.] Nett income : yang menjadi ability to pay adalah jumlah netto setelah dikurangi semua biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

[a.4.] Personal Exemption : untuk Wajib Pajak orang pribadi suatu pengurangan untuk memelihara diri Wajib Pajak [di UU PPh 1984 disebut PTKP atau penghasilan tidak kena pajak].

[a.5.] Equal treatment for the equals : jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak dengan tarif pajak sama, tanpa membedakanjenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan.

[b.] syarat keadilan horizontal:
[b.1.] Unequal treatment for the unequals : yang membedakan besarnya tarif adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan.

[b.2.] Progression : apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih besar, dia harus membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang prosentasenya lebih besar.

Mudah-mudahan sekarang pembaca menjadi jelas definisi keadilan menurut pajak berbeda dengan definisi keadilan menurut hukum pidana atau perasaan manusia. Memang di dunia ini keadilan itu tergantung siapa dan posisi apa. Contoh pertanyaan yang sering saya dapatkan, �Apakah adil jika toko saya dikenakan pajak sedangkan toko sebelah tidak?� Pertanyaan seperti ini karena si Wajib Pajak sedangkan diperiksa sedangkan tetangganya tidak. Padahal menurut undang-undang yang berlaku, tidak ada pengecualian, semua harus dikenakan pajak. Walaupun tidak diperiksa oleh petugas pajak bukan berarti toko sebelah boleh tidak dikenakan pajak!

Salaam

Thursday, October 16, 2008

WPDN tapi tinggal di LN

Sebuah pertanyaan via email tentang PPh atas pembayaran deviden telah menyadarkan saya bahwa praktek di lapangan ada Wajib Pajak Dalam Negeri [WPDN] tapi tinggal di Luar Negeri [LN], misalnya Singapore. WPDN yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki NPWP. Kita perhatikan, siapa yang wajib memiliki NPWP menurut UU KUP berikut ini.

Pasal 2 ayat (1) UU KUP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Penjelasan ayat ini berbunyi :
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Dan persyaratan subjektif yang dimaksud [tentang WPDN] diatur di Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [perubahan tahun 2008]
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Sedangkan kapan berakhirnya seseorang menjadi WPDN, diatur di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 [perubahan tahun 2008]
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Memang di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan bahwa WPDN [atau lebih tepat subjek pajak dalam negeri] berakhir pada saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Kata-kata �untuk selama-lamnya� saya pikir tidak bisa disamakan dengan �tidak akan kembali ke Indonesia". Coba perhatikan memori penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984:

Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

Ditambah lagi penjelasan Pasal 2A ayat (4) UU PPh 1984 :

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.


Bagi saya, dua penjelasan diatas mempertegas bahwa bagi orang pribadi yang sering �mondar-mandir� antara dalan negeri dan luar negeri maka status WPDN atau WPLN ditentukan oleh keberadaan dirinya di Indonesia atau di LN selama 183 hari dalam satu tahun. Contoh, jika pada tahun 2009 seseorang berada di Singapore selama 183 hari maka dia berstatus WPLN. Sedangkan pada tahun 2010 dia berada di Singapore kurang 183 hari [misalkan cuma 180 hari saja] dan sisanya berada di Indonesia maka dia statusnya WPDN.

Kembali ke pertanyaan via email tadi. PT X pemegang sahamnya A dan B. Kebetulan A berdomisili di Singapore [misalkan tinggal lebih dari 183 hari]. Tetapi sebelumnya penduduk Jakarta sehingga dulunya memiliki NPWP. Sedangkan B masih di Jakarta. Dengan demikian, maka A sekarang statusnya WPLN dan B berstatus WPDN. Nah, pada waktu pembayaran deviden ke A, apakah dipotong PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26? Jawaban saya, dipotong PPh Pasal 26 karena statusnya sudah WPLN.

Walaupun di Pasal 2 ayat (1) UU KUP tidak disebutkan apakah kewajiban subjektif tersebut subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri tetapi pendapat saya hanya subjek pajak dalam negeri. Kenapa? Karena ada kewajiban mendaftarkan diri di KPP. Perhatikan kutipan berikut, �.. wajib mendaftarkan diri .. meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan �� Artinya, subjek pajak luar negeri memang tidak wajib memiliki NPWP.

Terus bagaimana dengan si A? Jika masih memiliki NPWP memang secara formal memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Menurut saya, selama NPWP belum dicabut, kewajiban perpajakan masih melekat. Dan mohon dicatat bahwa format SPT Tahunan kita hanya untuk WPDN dengan world wide income atau full liabilities. Bagaimana A yang berstatus WPLN tetapi harus melaporkan penghasilan seperti WPDN? Ini kontradiksi.

Salah satu prinsip yang dipakai di Indonesia adalah the substance over-form. Seharusnya peraturan materil juga mengalahkan peraturan formal. Si A secara substansi sebagai WPLN tetapi secara formal sebagai WPDN.

Tuesday, October 14, 2008

SPT Tahunan PPh Pasal 21

Banyak yang bertanya, baik Wajib Pajak maupun pegawai pajak [termasuk saya] sendiri, apakah tahun pajak 2008 tidak ada SPT Tahunan PPh Pasal 21? Jika ada yang bertanya ke saya pertama-tama saya jawab tidak ada. Karena di UU KUP terbaru memang tidak mengatur tentang SPT Tahunan PPh Pasal 21.

Kita kutif Pasal 3 ayat (3) UU KUP:
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;

b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau

c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Huruf a menyebutkan SPT Masa, huruf b menyebutkan SPT Tahunan PPh OP, sedangkan huruf c menyebutkan SPT Tahunan PPh WP Badan. Kalau ada SPT Tahunan PPh Pasal 21 akan timbul pertanyaan, "Kapan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21?" Undang-undang formal tidak mengatur!

Bagi Wajib Pajak sendiri, SPT Tahunan PPh Pasal 21 bisa dijadikan alat untuk "menggeser" pembayaran pajak. Karena SPT Tahunan PPh Pasal 21 merupakan akumulasi pelaporan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja atau pemberi penghasilan maka fakta dilapangan sering ditemukan Wajib Pajak benar-benar menghitung PPh Pasal 21 saat bikin SPT Tahunan. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 dibuat "daripada tidak bikin".

Saya pikir hal itu 'kesalahan' yang pantas dimaafkan. Pada waktu pemeriksaan, si pemeriksa pajak jarang memeriksa tanggal berapa objek PPh Pasal 21 dibayarkan dan harus dilaporkan di SPT Masa kapan? Berbeda dengan pembuatan faktur pajak standar dan pelaporan di SPT Masa PPN. Selain karena pengaturan di PPN lebih rinci tentang kapan harus dilaporkan juga berkaitan dengan cut-off omset. Karena itu PPN lebih mendapat perhatian.

Praktek yang sering saya temukan [juga biasa saya lakukan] untuk menguji kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 adalah equalisasi biaya-biaya dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Jika jumlah objeknya sudah sama, maka tidak ada koreksi objek. Jika ada koreksi objek maka sanksi bunga juga dihitung sejak bulan setelah tahun pajak berakhir [Januari tahun berikutnya]. Bukan sejak bulan setelah biaya tersebut dibayarkan!

Kembali ke SPT Tahunan PPh Pasal 21 di tahun 2008, ternyata untuk tahun pajak 2008 masih ada. Dengan diterbitkan PER-39/PJ/2008 maka khusus tahun 2008, para majikan bisa "menyelesaikan" kewajiban PPh Pasal 21 dengan SPT Tahunan ini.

Trik yang sering saya jumpai di lapangan untuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 antara lain :
[1] Mencantumkan jumlah objek pajak dengan kira-kira saja. Kepada siapa dibayarkan, itu mah urusan nanti. Yang penting jumlah objek pajak mendekati biaya.

[2] Menggeser penghasilan dari atasan kepada bawahan supaya ada 'pemerataan' sehingga terhindar tarif tertinggi.

[3] Penghitungan dan pembayaran PPh Pasal 21 di SPT Masa mah asal ada saja, karena penghitungan yang benar ada di SPT Tahunan. Toh di SPT Masa tidak ada perincian penghitungan seperti form 1721-A1.

Tapi perkiraan saya sih PER-39/PJ/2008 ini untuk menjembatani "kebiasaan" membuat SPT Tahunan dengan tidak membuat. Mungkin akan ada peraturan lain yang berkaitan dengan tahun pajak 2009. Sebelum PER-39/PJ/2008 muncul ada surat Direktur .. yang memberitahukan draf SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan kemungkinan pengaturan lebih lanjut tentang SPT Tahunan Pasal 21. Kita tunggu saja.

wasalam

Jasa perhotelan

Diantara yang sering dipertanyakan berkaitan dengan objek persewaan bangunan adalah persewaan ruangan oleh hotel kepada pihak lain. Apakah persewaan seperti ini termasuk objek PPh Pasal 4 ayat (2) Final yang mengacu ke Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 atau bukan. Sebelumnya, saya selalu berpatokan bahwa yang dikecualikan dari persewaan ruangan di hotel adalah sewa kamar untuk menginap karena termasuk wilayah Pajak Hotel. Tetapi pendapat itu sekarang dikoreksi karena ternyata ada yang namanya Jasa Perhotelan atau Jasa dibidang perhotelan. Berikut catatannya:

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 menyebutkan :
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.

Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 sebagai pelaksana dari PP No. 29 Tahun 1996 diatas memperluas pengertian persewaan bangunan dengan �atau pertemuan termasuk bagiannya�, berikut bunyi lengkap Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996:
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Walaupun Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 ini telah dirubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 120/KMK.03/2002 tetapi perubahan hanya untuk Pasal 2. Artinya pengertian persewaan tanah dan/atau bangunan tidak berubah.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-22/PJ.4/1996 mempertegas pengertian sewa yang dimaksud dengan PP No. 29 Tahun 1996. Berikut bunyi lengkapnya :
..atas penghasilan berupa sewa atas tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. Dalam Pengertian bagian dari gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk areal baik di dalam gedung maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut.

Karena itu sangat wajar jika sebelumnya saya berpendapat bahwa sewa ruangan untuk acara [ contoh ] : seminar, training management, dan acara rapat termasuk dalam pengertian sewa bangunan yang harus dipotong PPh Pasal 4 (2) Final sebagaimana dimaksud di PP NO. 29 Tahun 1996. Ruangan bagian hotel yang disewakan ke konsumen untuk acara seminar atau acara rapat [meeting] termasuk �pertemuan�.

Pendapat itu kemudian berubah setelah ada email yang menanyakan surat Sekretaris Ditjen Pajak tentang pemotongan PPh atas kegiatan di Hotel. Inti surat S-3285/PJ.013/2007 adalah jawaban kenapa Ditjen Pajak tidak memotong PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 untuk acara Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak yang dilakukan di hotel, padahal instansi lain memungut PPh dimaksud untuk acara yang sejenis [diselenggarakan di hotel]. Tentu saja saya tidak memiliki kapasitas �melawan� surat tersebut. Karena itu, sebelum menjawab, saya pelajari pelan-pelan surat yang disertakan di email tersebut. Ternyata, pendapat saya yang pertama salah.

Inti kesalahan pendapat pertama adalah adanya istilah �jasa perhotelan�. Sebenarnya lebih tepat disebut �Jasa dibidang perhotelan�. Kita urutkan, kenapa harus ada definisi jasa perhotelan. Bermula dari Pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984 bahwa jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai didasarkan atas kelompok-kelompok jasa, � .. jasa di bidang perhotelan; �

Kemudian berdasarkan kuasa Pasal 4A UU PPN 1984 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan :
Jenis jasa di bidang perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf k meliputi :
a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.


Berdasarkan pengertian ini, bahwa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel merupakan Jasa Perhotelan! Artinya, jasa perhotelan memiliki pengertian khusus. Pengertian khusus ini mengalahkan pengertian umum tentang �sewa bangunan�. Kita perhatikan bahwa Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 menyebutkan kata �pertemuan� sebagai bagian dari sewa bangunan. Begitu juga di Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan kata �pertemuan di hotel�. Sama-sama pertemuan!

Catatan saya bahwa persewaan ruangan selain untuk kegiatan acara atau pertemuan [seperti disewakan untuk kios, untuk kantor, untuk usaha lain] masih tetap merupakan sewa rungan yang mengacu kepada PP No. 29 Tahun 1996 walaupun dilakukan oleh hotel karena tidak sesuai dengan pengertian jasa perhotelan sebagaimana dimaksud di PP No. 144 Tahun 2000.

Jasa perhotelan merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN [bukan objek PPN]. Selain itu, jasa perhotelah bukan objek PPh Pasal 23 karena tidak disebutkan di PER-70/PJ/2007. Apakah objek PPh Pasal 22? Bukan juga karena objek PPh Pasal 22 merupakan pembelian atau belanja barang.

Cag!