Friday, September 22, 2017

Harta bersih yang diperlakukan sebagai penghasilan

Pemerintah telah melengkapi ketentuan amnesti pajak. Presiden Joko Widodo sudah menandatangani peraturan pemerintah nomor 6 tentang pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan. Peraturan pemerintah ini ditandatangani pada 6 September 2017. Apa saja isinya?



Sesuai judul peraturan pemerintah, ketentuan baru ini terkait harta bersih yang dianggap penghasilan. Ada harta yang dianggap penghasilan menurut peraturan. Dan peraturan tersebut dikenai pajak penghasilan.

Menurut bagian menimbang, peraturan ini diterbitkan untuk kepastian hukum pelaksanaan Pasal 13 dan Pasal 18 Undang-undang tentang Pengampunan Pajak.

OBJEK

Harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan dibagi dua, yaitu 
1. untuk Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak :
  • Gagal repatriasi/investasi/ holding 3 tahun;
  • Belum/kurang ungkap Harta dalam SPH;
  • SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah UU TA tidak benar;
  • Penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas SKet
2. untuk Wajib Pajak yang tidak ikut amnesti pajak :
  • Belum lapor Harta dalam SPT
raden agus suparman : dasar pengenaan harta sebagai tambahan penghasilan


TARIF 
Undang-undang amnesti pajak tidak menyebut tarif yang dikenakan terhadap penghasilan tambahan. Bunyi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Amnesti Pajak :
Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.

Dan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Amnesti Pajak :
Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Karena berbunyi "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan" maka sebelumnya berpendapat bahwa tarif yang dipakai adalah Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Tetapi, dengan Peratuan Pemerintah nomor 36 tahun 2017, tarif yang dimaksud diatur sebagai berikut :
  • Wajib Pajak badan sebesar 25% (dua puluh lima persen); 
  • Wajib Pajak orang pribadi sebesar 30% (tiga puluh persen); dan 
  • Wajib Pajak tertentu sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
.
raden agus suparman : kriteria wajib pajak tertentu yang dikenai pajak penghasilan tambahan

Tarif diatas adalah tarif tunggal dan bersifat final. Final disini diartikan bahwa atas penghasilan ini tidak digunggung dengan penghasilan lain. Jadi, tarif diatas kenakan atas jenis penghasilan yang di undang-undang amnesti pajak disebut " tambahan penghasilan".


SAAT TERUTANG .
Peraturan pemerintah menentukan kapan saat terutang atas tambahan penghasilan. Secara umum, saat terutang adalah saat diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).

raden agus suparman : saat terutang tambahan penghasilan

Jadi, bagi wajib pajak yang belum melaporkan harta di SPT Tahunan atau masih ada yang belum dilaporkan di SPT Tahunan, segeralah laporkan sebelum terbit SP2.

Bagi pembaca blog yang mau mempelajari lebih detil Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2017 silakan unduh dari file drive.

Menurut siara pers P2Humas Ditjen Pajak, peraturan pemerintah ini lebih kepada ajakan untuk melaporkan harta-harta yang dimiliki Wajib Pajak. Jika masih ada yang belum dilaporkan, diminta untuk segera lapor sebelum dilakukan pemeriksaan oleh kantor pajak. 

Jadi, Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2017 ini seperti senjata pamungkas. Wajib pajak dihimbau taat. Jika belum taat, maka dilakukan pemeriksaan dengan peraturan ini.

Perlu diingatkan bahwa Undang-undang Pengampunan Pajak memiliki efek "rampok". Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pengampunan Pajak mengenakan sanksi 200%. Artinya, jika harta senilai Rp100,- kemudian kenakan tarif 30% dan sanksi 200% maka 90% dari harta tersebut diambil oleh negara! Sebelum dirampok oleh negara, segeralah laporkan harta anda! Dengan lapor harta di SPT Tahunan, harta anda selamat.




Friday, September 15, 2017

Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek

Wajib Pajak Indonesia yang memiliki saham di luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung, minimal sebesar 50% dan saham tersebut tidak terdaftar di bursa saham, dikenai deemed dividend. Ketentuan ini berlaku mulai tahun 2017 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017.

Deemed Dividend adalah dividen yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN (Badan Usaha Luar Negeri) Nonbursa  terkendali langsung.

Ketentuan pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa, yaitu:
Wajib Pajak dalam negeri yang:

  • memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa; atau
contoh penyertaan langsung

  • secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa. 
contoh penyertaan tidak langsung


Saat diperolehnya Deemed Dividend

Saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam hal BULN Nonbursa terkendali langsung tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, saat diperolehnya Deemed Dividend  ditetapkan pada akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir.

Besarnya Deemed Dividend

Besarnya Deemed Dividend dihitung dengan cara mengalikan persentase penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung dengan dasar pengenaan Deemed Dividend. Dasar pengenaan Deemed Dividend  yaitu laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali langsung.

Contoh :
PT JKL yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri pada tahun akhir Tahun Pajak 2016 memiliki penyertaan modal langsung sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari jumlah saham yang disetor VWX Ltd. di negara D. Saham VWX Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.

Pada tahun pajak 2016, VWX Ltd. memperoleh laba setelah pajak sebesar US$50.000,00. 

Tahun pajak VWX Ltd. adalah 1 Januari s.d. 31 Desember 2016 dan batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk tahun pajak dimaksud di negara tersebut paling lambat 31 Mei 2017, sehingga saat diperolehnya Deemed Dividend bagi PT JKL atas penyertaan modalnya pada VWX Ltd. adalah 30 September 2017. Nilai kurs USD terhadap Rupiah yang berlaku pada tanggal 30 September 2017 adalah Rp11.500,00/USD.

Dengan demikian, besarnya Deemed Dividend tahun 20 17 yang diperoleh PT JKL adalah 65% x US$ 50.000,00 = US$32.500,00. 

Deemed Dividend tersebut dilaporkan PT JKL sebesar USD32.500,00 x Rp11.500,00 /USD = Rp373.750.000,00 dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017


Kredit Pajak Luar Negeri
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengkreditkan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung pada Tahun Pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak penghasilan tersebut.

Dalam hal dividen yang diterima tidak melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
  • pajak penghasilan yang seharusnya terutang atau seharusnya dibayar di luar negeri atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung dengan memperhtikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang berlaku efektif; 
  • pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung; atau
  • jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung terhadap jumlah Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan dikalikan dengan jumlah Pajak Penghasilan atas Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan tersebut. 

Dalam hal dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan dihitung sebagai berikut:

    • terhadap bagian dividen yang diterima sampai dengan sebesar Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, dihitung sesuai dengan ketentuan; dan
    • terhadap bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
    1. pajak penghasilan yang seharusnya terutang atau seharusnya dibayar di luar negeri atas bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang berlaku efektif;
    2. pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri atas bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan; atau
    3. jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan terhadap Penghasilan Kena Pajak, dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang pada Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak diterimanya dividen.
    Dalam hal dividen yang diterima bersumber dari 2 (dua) atau lebih negara atau yurisdiksi, penghitungan besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan dilakukan untuk masing-masing negara atau yurisdiksi (per country limitation).

    Persyaratan Kredit Pajak Luar Negeri
    Wajib Pajak dalam negeri yang mengkreditkan pajak penghasilan harus menyampaikan penghitungan pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan:

    1. laporan keuangan;
    2. fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, dalam hal terdapat kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan;
    3. perhitungan atau rincian laba setelah pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
    4. bukti pembayaran pajak penghasilan atau bukti pemotongan pajak penghasilan atas dividen yang diterima, 
    dari BULN Nonbursa terkendali langsung bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.

    Tuesday, September 12, 2017

    Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

    Mahkamah Konstitusi RI telah mengabulkan permohonan dengan nomor permohanan 39/PUU-XIV/2016. Permohonan ini terkait dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-undang PPN. Ketentuan tersebut kurang lebih berbunyi seperti ini, "Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;"
    Bagian batang tubuh tidak ada perincian barang kebutuhan pokok apa saja yang dimaksud. Tetapi di bagian penjelasan dan peraturan pelaksana, diantaranya peraturan menteri keuangan, menyebutkan 11 jenis kebutuhan pokok, yaitu :

    Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:

    1. beras;
    2. gabah;
    3. jagung;
    4. sagu;
    5. kedelai;
    6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
    7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
    8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
    9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
    10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
    11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
    Gugatan terkait dengan kata "meliputi" yang dimaknai pembatasan. Artinya selain yang 11 diatas tidak disebut makanan kebutuhan pokok dan tidak termasuk yang dikecualikan sebagai objek PPN.

    Setelah gugatan diterima, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.

    Inti dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 adalah memperluas maksud barang kebutuhan pokok. 

    Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai merupakan barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, yang berupa:

    1. beras dan gabah;
    2. jagung;
    3. sagu;
    4. kedelai;
    5. garam konsumsi;
    6. daging;
    7. telur;
    8. susu;
    9. buah-buahan;
    10. sayur-sayuran;
    11. ubi-ubian;
    12. bumbu-bumbuan;
    13. gula konsumsi

    Dan di peraturan menteri yang baru ada klausul bahwa daftar diatas dapat ditambah atau disesuaikan setelah mendapat usulan dari kementerian pembina sektor terkait.

    Sunday, September 10, 2017

    Badan dan lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

    Menurut ketentuan perpajakan, sampai dengan sekarang posisi zakat sama seperti sumbangan sebagai pengurang penghasilan bruto. Walaupun sudah ada wacana untuk menjadi kredit pajak atau pengurang pajak. Tetapi undang-undang yang ada belum sampai menjadi pengurang pajak. 




    Tetapi tidak semua zakat dan sumbangan dapat menjadi biaya. Berikut syarat zakat dapat dijadikan biaya :

    1. diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
    2. WP yang melakukan pengurangan zakat dari penghasilan bruto, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran zakat dari badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah pada SPT Tahunan PPh tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat tersebut. (Pasal 2 ayat (1) PER-6/PJ/2011 dan SE-80/PJ/2010)
    3. Zakat ini dapat berupa uang atau yang disetarakan dengan uang.

    Kata kuncinya adalah lembaga amil zakat yang disahkan oleh pemerintah. Karena itu penting untuk memeriksa, apakah amil zakat tempat kita menyalurkan zakat sudah disahkan oleh pemerintah.

    Berikut ini adalah lembaga amil zakat dan lembaga sumbangan keagamaan yang disahkan oleh pemerintah.

    Badan Amil Zakat sebagai berikut:
    • Badan Amil Zakat Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tanggal 25 November 2011 tentang Pengelolaan Zakat;
    • Badan Amil Zakat Nasional Provinsi berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 186 tanggal 29 April 2016;
    • Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten/Kota berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/499 Tahun 2016;

    Lembaga Amil Zakat (LAZ) skala nasional sebagai berikut:
    1. LAZ Rumah ZAkat (LAZ RZ) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 421 Tahun 2015 tanggal 30 Desember 2015;
    2. LAZ Nurul Hayat (LAZ NH) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 422 Tahun 2015 tanggal 30 Desember 2015;
    3. LAZ Inisiatif Zakat Indonesia (LAZ IZI) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 423 Tahun 2015 tanggal 30 Desember 2015;
    4. LAZ Baitul Maal Hidayatullah (LAZ BMH) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 425 Tahun 2015 tanggal 30 Desember 2015;
    5. Yayasan Lembaga Manajemen Infaq (LAZ LMI) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 184 Tahun 2016 tanggal 29 April 2016;
    6. Yayasan Yatim Mandiri Surabaya (LAZ Yatim Mandiri) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 185 Tahun 2016 tanggal 29 April 2016;
    7. Yayasan Dompet Dhuafa Republika (LAZ DD) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 239 Tahun 2016 tanggal 23 Mei 2016;
    8. Yayasan Pesantren Islam Al Azhar (LAZ Al-Azhar) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 240 Tahun 2016 tanggal 23 Mei 2016;
    9. Yayasan Baitul Maal Muamalat (LAZ BMN) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 256 Tahun 2016 tanggal 26 Mei 2016;
    10. Yayasan Daarut Tauhid (LAZ Daarut Tauhid) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 257 Tahun 2016 tanggal 26 Mei 2016;
    11. Yayasan Dana Sosial Al Falah (LAZ YDSF) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 524 Tahun 2016 tanggal 20 September 2016;
    12. Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 712 Tahun 2016 tanggal 2 Desember 2016;
    13. Yayasan Global Zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 731 Tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016;
    14. LAZ Perkumpulan Persatuan Islam (PERSIS) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 865 Tahun 2016 tanggal 30 Desember 2016;

    Lembaga Amil Zakat (LAZ) skala provinsi sebagai berikut:
    1. Yayasan Solo Peduli Ummat (LAZ Solo Peduli) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/271 Tahun 2016 tanggal 14 April 2016;
    2. Yayasan Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbas (LAZ DASI) NTB berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/391 Tahun 2016 tanggal 7 Juni 2016;
    3. Yayasan Baitul Maal Forum Komunikasi Aktifis Masjid (LAZ FKAM) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/392 Tahun 2016 tanggal 7 Juni 2016;
    4. Yayasan Dana Peduli Ummat (DPU) Kalimantan Timur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/515 Tahun 2016 tanggal 24 Agustus 2016;
    5. Yayasan Dompet Sosial Madani (LAZ DSM) Bali berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/563 Tahun 2016 tanggal 14 September 2016;
    6. Yayasan Sinergi Foundation (LAZ SInergi Foundation) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/564 Tahun 2016 tanggal 14 September 2016;
    7. Yayasan Harapan Dhuafa Banten berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj.III/651 Tahun 2016 tanggal 27 Oktober 2016;

    Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) sebagai berikut:
    • Yayasan Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZIS NU) berdasarkan Keputusan  Menteri Agama Nomor 255 Tahun 2016 tanggal 26 Mei 2016;
    • LAZIS Muhammadiyah berdasarkan Keputusan Menteri  Agama Nomor 730 Tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016;

    Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Nomor DJ.III/KEP/HK.00.5/290/2011 tanggal 15 Juli 2011;

    Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012 tanggal 15 Maret 2012.