Wednesday, October 31, 2007

Keadilan PPh Final

Ass, nama saya ris. begini mas saya ingin tahu mengapa Pengenaan PPh final dari beberapa referensi yang saya baca, banyak menimbulkan ketidakadilan, tolong tunjukan dalam contoh perhitungannya apabila memang merugikan wajib pajak. selanjutnya mengapa terdapat perbedaan tarif PPh final (misal untuk bunga deposito, jasa konstruksi, undian, dll ), maupun masih dalam satu jenis usaha (mis dalam konsturksi ada yang 4% maupun 2%), apa pertimbangan Dirjen Pajak dalam hal ini. trimakasih sebelumnya.


Jawaban saya:
Betul bahwa PPh final itu �mengandung� ketidakadilan. Mari identifikasi ciri-ciri PPh final.
[1] semua usaha dianggap memiliki laba;
[2] besaran laba kotor atau marjin laba sudah ditentukan;
[3] tidak menggunakan tarif progressif.

Pada kenyataannya tidak semua usaha menghasilkan keuntungan. Pengalaman saya sendiri, beberapa usaha kecil yang saya �rintis� bukan hanya menghasilkan kerugian tetapi ditutup karena tidak sanggup menanggung kerugian. Setiap usaha pasti memiliki potensi untung dan sebaliknya memiliki potensi rugi. Nah, PPh final selalu �distel� bahwa usaha pasti menghasilkan laba. Ciri anggapan ini dilihat dari basis pajak PPh final adalah penghasilan bruto.

Untuk menghasilkan suatu angka tertentu sebagai tarif PPh final, sebenarnya administrator perpajakan (DJP) telah memperhitungkan besaran marjin laba. Besaran ini bisa didapat dari survey, atau langsung mengambil dari database perpajakan, atau bahkan perkiraan para pembuat keputusan saja dengan berpatokan kepada kewajaran usaha.

Tarif yang dipakai untuk mendapatkan tarif efektif di PPh final adalah tarif tunggal. Bagi sebagian para ahli, tarif tunggal tidak mencerminkan keadilan vertikal. Seharusnya menggunakan tarif progressif seperti : 5%, 10%, 15%, 25%, dan 35% sebagaimana diatur di UU No. 17 tahun 2000 untuk wajib pajak orang pribadi. Artinya, wajib pajak �kecil� membayar pajak lebih kecil karena tarifnya juga lebih kecil. Sebaliknya, wajib pajak �besar� akan membayar lebih besar karena tarifnya juga lebih besar. Semakin besar penghasilan, besaran tarif semakin besar pula. Inilah yang dimaksud keadilan vertikal.

Walaupun demikian, PPh final memiliki keuntungan:
[1] sederhana;
[2] sama-sama bayar pajak.

Banyak wajib pajak tidak mau membayar pajak karena faktor �jlimet�. Mau bayar pajak saja rumitnya minta ampun. Belum lagi peraturannya yang berubah-ubah, padahal sebagian besar wajib pajak tidak selalu memonitor kebijakan perpajakan. Bagaimana mereka tahu cara menghitung pajak? Kalau tidak tahu cara menghitungnya, bagaimana membayar pajak?

Bagi administrasi perpajakan, keadilan selalu bertolak belakang dengan kesederhanaan. Maksudnya, jika kita mau seadil-adilnya maka peraturan perpajakan harus dibuat kompleks, komprehensif, dan rumit karena harus mengakomodir wajib pajak yang sangat variatif. Sebaliknya, jika dibuat sederhana, pasti banyak fihak yang tidak terakomodasi.

Walaupun tidak adil, tetapi masih ada sisi keadilan (he.. he .. tidak adil tapi adil). Ada yang disebut keadilan horisontal. Tarif pajak tunggal yang didasarkan pada persentase tertentu akan menghasilkan keadilan horisontal. Wajib pajak membayar pajak secara proporsional.

Jadi, PPh final hanya memiliki keadilan horisontal tetapi tidak memiliki keadilan vertikal. Karena itu, sebagian orang bilang bahwa PPh final itu second best policy.

Cag!

Pajak Masukan

Salah satu Perusahaan tempat saya bekerja ada yang bergerak di bidang Lapangan Golf dan Hotel. Nama Perusahaan tersebut adalah PT. "L", Bidang usahanya yang pertama (saat ini) bergerak di bidang Jasa Lapangan Golf. Tetapi saat ini perusahaan mengadakan ekspansi ke bidang Perhotelan. Dan Bangunan Hotel sedang berjalan 40% konstruksi, yang dikerjakan oleh Perusahaan Konstruksi.
Yang menjadi pertanyaan saya :
1. Apakah PPN Masukan atas bangunan hotel tersebut dapat dikreditkan ?
2. Kalau tidak dapat dikreditkan apakah perusahaan tidak merasakan dirugikan karena tidak bisa di Restitusi PPN dimaksud ?.
3. Di mana terdapat peraturannya tentang PPN Hotel ?

Jawaban saya:
Jasa hotel bukan objek PPN. Tetapi biasanya, di hotel terdapat ruangan-ruangan yang disewakan (tentunya bukan kamar hotel he .. he ..). Dan sewa ruangan termasuk objek PPN. Jadi, hotel ada yang tidak terutang PPN dan ada yang terutang PPN.

Untun kondisi seperti ini, pajak masukannya ada yang boleh dan ada yang tidak boleh. Besaran pajak masukan yang boleh dikreditkan sebanding (proporsional). Teknis penghitungan pajak masukannya bisa lihat di Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000. Tetapi disini saya kutip bagian dari Pasal 2 ayat (1) KMK ini :

"Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang :
1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
2) digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran
seluruhnya;
3) nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan."

Walaupun tidak dapat dikreditkan, tetapi tidak rugikan. Ini karena PPN adalah pajak atas konsumsi. Sama dengan kita belanja keperluan rumah, barang-barang yang kita beli di Mall sudah included PPN. Karena barang tersebut untuk kita konsumsi (end user) maka tidak dapat dikreditkan.

Prinsip pengkreditkan PPN adalah "penggeseran" pajak yang kita bayar kepada orang lain sampai end user (konsumen terakhir). Pengusaha kena pajak yang mengkreditkan pajak masukan pada dasarnya menggeser pajak. Gambaran yang lebih jelas jika urutan barang kena pajak yang "mengandung" PPN diurut terbalik dari pengecer. Tingkat pengecer memungut PPN dari konsumen. Kemudian PPN yang telah dibayar tersebut digeser ke distributor, dan dari distributor digeser kembali ke produsen.

Demikian dan semoga bermanfaat.

Thursday, October 4, 2007

Leasing

Saya mau tanya antara pembelian dengan leasing Pesawat udara unsur pajak apa-apa saja yang perlu dibayar/diperhatikan. bagaimana pembayaran pesawat via produsen dengan via bank di luar negeri, apakah ada pajak lagi.


metra nickson


Jawaban saya
Kabarnya, leasing adalah produk dari para tax planner. Jika perusahaan kita memiliki penghasilan yang besar sehingga bayar pajaknya juga besar, maka leasing adalah pilihan tepat. Atau, menurut perhitungan teknis kita bisa bayar cicilan leasing, tidak mengganggu pada cash flow lain (cicilan leasing teorinya lebih tinggi daripada cicilan bank), maka leasing juga pilihan tepat karena akan memperkecil pajak penghasilan. Leasing disini maksudnya capital lease.

Ketentuan tentang leasing diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991. Sampai sekarang, KMK ini belum mengalami perubahan. Untuk lebih jelasnya, saya kutif pasal-pasal yang berkaitan dengan perpajakan.

Pasal 14
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
a. penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
b. lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;
c. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;
d. lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
e. kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan;
f. dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 15
Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 16
(1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
a. selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;

b. setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
c. pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan ini;
d. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-usaha.

(2) Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

Bagi pembeli (lessee), hal yang perlu diingat ada dua macam yaitu : [1] selama belum lunas cicilan, barang leasing milik orang lain karena itu tidak boleh disusutkan, [2] cicilan leasing adalah biaya fiskal sehingga pokok dan bunga langsung dibiayakan pada periode terutang. Inilah kekhasan leasing, yaitu pokok dan bunga langsung dibiayakan pada saat dibayar. Bandingkan dengan pinjaman bank untuk beli aktiva, hanya bunga yang boleh dibiayakan langsung.

Tetapi untuk operating lease atau hak guna usaha tanpa hak opsi maka perlakuan perpajakannya sama dengan sewa biasa. Penyewa wajib memotong PPN sedangkan pihak yang menyewakan (lessor) wajib memotong PPh Pasal 23 atas sewa.

Lessor di Luar Negeri
Peraturan diatas hanya berlaku bagi Wajib Pajak Dalam Negeri atau lessor yang berkedudukan di Dalam Negeri. Jika lessor berkedudukan di Luar Negeri maka berlaku Pasal 26 UU PPh 1984.

Jika lessor di Luar Negeri tidak menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang dikeluarkan oleh Competent Authority di negara asal maka dikenakan PPh Pasal 26. Tarif yang digunakan adalah 20% dari total bunga yang dibayar. Ketentuan Pasal 26 UU PPh 1984 ini juga berlaku jika yang meminjamkan dana adalah bank yang berkedudukan di Luar Negeri.

Tetapi jika lessor yang berkedudukan di Luar Negeri dapat menyerahkan SKD maka ketentuan yang berlaku adalah tax treaty antara Indonesia dengan dengan dimana lessor berkedudukan. Negara mana yang mengeluarkan SKD, maka tax treaty itulah yang dipakai.

Objek pajak yang wajib dipotong oleh Wajib Pajak Dalam Negeri adalah bunga yang dibayarkan. Pada umumnya, tarif yang diberlakukan dalam tax treaty untuk bunga sebesar 10%.

Cag!

ORI (Obligasi Negara Ritel)

Dengan hormat,
Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu, nama saya Melinda Grace Yosefina Sitorus, mahasiswa tingkat akhir Program Studi S1 Ekstensi Administrasi Fiskal.
Sekarang saya juga bekerja sebagai staf pajak di koperasi Telkomsel.
Saya melihat blog Bapak saat saya browse mengenai masalah - masalah pajak, seperti faktur gabungan, dll.
Untuk itu saya memohon kesediaan Bapak untuk memberikan saran & informasi - informasi terkait untuk masalah - masalah mengenai pajak.
Adapun , saya akan menyusun skripsi, namun mengalami kesulitan untuk menentukan topik yang akan saya buat.
Menurut Bapak, topik apa yang sebaiknya saya kembangkan, apakah mengenai pajak atas SHU pada koperasi Telkomsel atau ORI?
Dalam hal ORI, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:
1. Saat saya membaca beberapa artikel mengenai ORI, dijelaskan bahwa ORI dikenakan tarif progresif. Padahal pada umumnya, atas obligasi dikenakan tarif final sebesar 20%. Apakah alasannya ORI dikenakan tarif progresif?
2. ORI baru dipasarkan untuk dibeli masyarakat secara bebas, apakah yang menyebabkan negara memutuskan untuk menjual ORI kepada masyarakat? Apakah ada faktor politik yang terkait?
Maaf, bila saya merepotkan. Terimakasih


Salam sejahtera,
Melinda


Jawaban saya
ORI adalah surat utang �baru� di Indonesia. Sekitar enam tahun ke belakang, salah seorang dosen yang kebetulan menjadi ketua �desk� Manajemen Utang Negara (belum diformalkan) masih bercerita tentang Obligasi Negara di negara lain dan Indonesia akan (berencana) menerbitkan obligasi juga. Waktu itu yang lebih populer adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan surat utang BI lainnya. Karena itu, untuk pembuatan skripsi (bahkan tesis) dengan tema ORI, saya pikir akan lebih menarik. Dan ORI adalah �produk� terbaru dari pemerintah RI. Mungkin, bisa jadi, mahasiswa dan dosen sama-sama belajar ORI.

Kenapa negara harus berutang? Salah satu alasannya karena penerimaan dari pajak tidak cukup. Dilihat dari sisi ilmu moneter (setidaknya dosen moneter yang pertama bilang ke saya) bahwa utang negara adalah penerimaan pajak yang dipercepat. Pada akhirnya, utang tersebut akan dibayar oleh negara dari penerimaan pajak dikemudian hari.

Tetapi dosen pertama (pengajar obligasi negara) telah menemukan fakta bahwa prakteknya utang dibayar dengan utang. Di negara-negara maju seperti USA dan Jepang, obligasi yang telah jatuh tempo dibayar dengan penerbitan obligasi yang lain. Bahkan dia sedikit bergurau, �Utang negara hanya bisa lunas jika dunia kiamat.�


PPh Final
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan bunga dari obligasi biasanya diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah (PP). Cantelan atau dasar dari peraturan pemerintah tersebut selalu merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang berbunyi, �Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.� Karena itu disebut pula PPh Pasal 4 (2) dan karena selalu bersifat final maka disebut pula PPh Final atau sering juga digabungkan menyebutnya menjadi PPh Pasal 4 (2) Final.

Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pengaturan Surat Utang Negara (SUN) adalah :
[1] PP No. 6 tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek. Pasal 1 PP No. 6/2002 menyebutkan bahwa yang dimaksud obligasi adalah obligasi korporasi, dan obligasi pemerintah atau SUN diatas dua belas bulan. Di PP ini hanya ada satu tarif yaitu 20% dan bersifat final!

[2] PP No. 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah SUN dengan jatuh tempo 12 bulan atau kurang. Di PP ini hanya ada satu tarif, yaitu 20% dari diskonto SPN dan bersifat final.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.08/2007, �Obligasi Negara Ritel adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual.� Karena itu, perbedaan obligasi negara dengan ORI adalah segmentasi pemberi utang. Mungkin bahasa politiknya : ORI adalah bentuk partisipasi warga negara terhadap kekurangan pembiayaan pemerintah he .. he .. he ..

Karena itu, jika ada artikel yang menyebutkan bahwa ORI dikenakan tarif progresif, tanya saja dasar hukumnya. PP No. 6 tahun 2002 setahu saya belum dirubah. Jadi masih berlaku.


Kenapa Pilih ORI?
Kabarnya ORI adalah utang negara yang paling �aman� dilihat dari sisi pemerintah. Masih ingat bagaimana �berkuasanya� IMF pada masa krisis moneter. Sampai-sampai foto penandatanganan LOI antara RI � IMF di Cendana itu jadi perdebatan di media. Kesannya, RI jadi budak IMF, wah gawat. .

Begitu juga dengan utang luar negeri lainnya yang dapatnya dari pemerintah. Mungkin istilahnya G to G, pemerintah RI meminta utang dari pemerintah negara lain. Ini akan beresiko bagi kesetaraan antar dua negara. Bagaimanapun antara kreditur dan debitur tidak setara. Kreditur biasanya lebih tinggi, lebih berkuasa. Ini karena faktur uang. Kreditur tidak mau uang yang dipinjamkan ke orang lain akan lenyap begitu saja.

Itulah sebabnya, ORI lebih aman. Karena krediturnya sangat banyak, dipecah-pecah dan warga negaranya sendiri, maka penerbitan ORI tidak ada resiko seperti pemerintah meminta dana dari IMF. Dan memang kondisi masyarakat juga memungkinkan untuk membli ORI.

Dilihat dari sisi kreditur, ORI lebih aman daripada deposito atau simpanan di bank lainnya. Bank bisa saja bangkrut dan bubar tetapi pemerintah sangat sulit untuk bubar. Dalam keadaan mendesak, pemerintah tinggal mencetak uang untuk membayar ORI yang jatuh tempo, sedangkan bank yang bangkrut? Karena itu, ORI lebih aman atau lebih kecil resiko wan prestasi.

Selain itu, ORI bisa jadi benchmark atau ukuran suku bunga bagi obligasi perusahaan. Perusahaan terbuka sekarang dapat menerbitkan obligasi dengan bunga sekitar ORI. Sama-sama obligasi. Dahulu, perusahaan yang akan mengeluarkan obligasi mungkin berpatokan pada bunga bank. Padahal pinjaman bank sebenarnya untuk jangka pendek, karena itu bunganya pantas lebih tinggi, walaupun prakteknya dana dari bank juga sering untuk pinjaman jangka panjang.

Cag!

Wednesday, October 3, 2007

Pengusaha Kecil

Saya meneruskan usaha orang tua yang bergerak dibidang home industry. Pada pertengahan tahun lalu saya buat PT karena untuk visi kedepannya. Karena tidak mengerti kaitan PT dengan pajak-pajaknya. Awalnya saya membayar konsultan lepas ternyata mengecewakan dia buat double book yang terakhir saya ketahui double book tersebut "aneh" - ada pos-pos pada laporannya tidak nyambung. Saya aja bukan orang pajak aneh apalagi pada saat diperiksa oleh orang pajak pasti saya kena. Yang saya ingin tanyakan:

1. Apakah mungkin menarik laporan yang salah di kantor pajak?
2. Karena saya penghasilan dibawah 50 jt / bulan apakah saya wajib bayar PPN ? sedangkan saya jualannya ke pasar tradisional tanpa ada pajak masukan dari mereka
3. Apakah mungkin saya mengajukan permohonan pembatalan PKP? dan nantinya hanya menjalankan kewajiban PPH 21 & 25? apakah ada contoh suratnya??

Terima kasih sebelumnya,

Susanti


JAWABAN SAYA
[1] Apakah mungkin menarik laporan yang salah di kantor Pajak?
Ibu tidak perlu menarik laporan (istilah pajak sebenarnya surat pemberitahuan dan disingkat SPT). Jika memang SPT dianggap tidak benar oleh Wajib Pajak sendiri, silakan mengajukan SPT Pembetulan. Ketentuan tentang SPT Pembetulan diatur dalam Pasal 8 UU KUP. Di UU No. 16 tahun 2000 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2007, kesempatan untuk membetulkan SPT dengan kemauan sendiri (ini istilah UU) hanya diberikan selama dua tahun sejak berakhirnya masa pajak atau tahun pajak. Artinya, SPT tahun pajak 2005, dan tahun pajak 2006 masih bisa dibetulkan oleh Wajib Pajak sendiri. Tetapi, jika tahun pajak 2004 dan sebelumnya, sekarang sudah terlambat.

Ketentuan dua tahun juga masih ada syaratnya, yaitu selama belum dilakukan pemeriksaan. Jika memang telah dilakukan pemeriksaan, yaitu sejak tanggal diserahkannya SP3 (surat perintah pemeriksaan pajak) maka tidak perlu ada SPT Pembetulan. Bukankan hasil dari pemeriksaan tersebut keluarnya skp? Dan, substansinya skp itu �SPT� versi fiskus.

Tetapi di UU No. 28 tahun 2007 yang berlaku sejak 1 Januari 2008, batas pembetulan sendiri itu dua tahun sebelum daluarsa penetapan. Kapan daluarsa penetapan? Lima tahun setelah saat terutang pajak atau berakhirnya masa pajak. Artinya, kesempatan pembetulan SPT hanya bergeser satu tahun saja, dari dua tahun menjadi tiga tahun. Contoh SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2008 hanya boleh dibetulkan oleh Wajib Pajak sampai dengan tahun 2011. Setelah itu, tidak bisa lagi.

[2] Apakah saya wajib bayar PPN?
Sayang ibu tidak menyebutkan secara spesifik jenis produk yang diproduksi. Karena disebut sebagai home industry maka saya anggap barang tersebut adalah barang kena pajak (BKP). BKP itu adalah semua barang baik berwujud maupun tidak berwujud �kecuali yang dikecualikan�. Jadi, barang yang bukan objek PPN itu secara spesifik ditentukan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP).

Tidak ada batasan penjualan, apakah suatu penjualan dikenakan PPN atau tidak. Artinya, penjualan Rp.1000 dan penjualan Rp.1.000.000.000 sama saja dikenakan PPN jika memang menurut UU PPN wajib dikenakan PPN. Hanya saja, administrasi PPN kita mengenal klasifikasi �pengusaha kecil�.

Apa itu pengusaha kecil? �Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).� Pasal 1 KMK No. 571/KMK.03/2003. Perhatikan kata-kata �dan atau�, itu artinya bisa BKP saja, atau jasa kena pajak (JKP) saja, atau BKP dan JKP kumulatif (gabungan) sebesar Rp.600.000.000,00.

Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 menyebutkan �Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.� Catatan: KMK No. 571/2003 adalah perubahan KMK No. 522/2000 tetapi yang dirubah hanya Pasal 1 dan Pasal 4.

Tetapi jika ibu sudah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) maka ketentuan di Pasal 2 diatas tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 menyebutkan �Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak.� Ketentuan ini bisa dibaca : siapapun yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maka wajib memungut PPN.

[3] Apakah mungkin saya mengajukan permohonan pembatalan PKP?
Bisa bu karena omset ibu dalam setahun kurang dari Rp.600.000.000,00.. Silakan meminta permohonan pencabutan PKP ke KPP secepatnya, selambat-lambatnya satu bulan sejak berakhirnya tahun buku. Secepat-cepatnya ya sekarang, Okotber 2007 dan selambat-lambatnya akhir Januari 2008. Hal ini berdasarkan Pasal 5.

Keputusan diterima atau ditolak permohonan ibu itu paling lambat dua bulan sejak surat permohonan diterima (buktinya yang warna kuning itu bu) oleh KPP. Jika sudah dua bulan belum juga ada keputusan, maka permohonan ibu dianggap diterima.

Tuesday, October 2, 2007

PEMBUKUAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA dan MATA UANG ASING

saya mau tanya tentang syarat san tata cara pembukuan sengan mata uang asing,berdasar kep men keu terbaru,thank you� [shoutbox]

Ketika membaca permintaan diatas, sepintas saya heran. Pertama, karena penanya tahu ada keputusan menteri keuangan yang baru (tahun 2007, sebenarnya yang baru bukan keputusan tapi peraturan menteri keuangan) tentang tata cara pembukuan dengan mata uang asing. Artinya, dia punya peraturan menteri keuangan tersebut atau setidaknya pernah baca. Kedua, di PMK (peraturan menteri keuangan) tersebut sangat jelas dan detil tentang syarat-syarat untuk menggunakan pembukuan bahasa asing, terutama di Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2007

Walaupun demikian, permintaan pembaca blog merupakan perhatian dari pembaca blog itu sendiri. Artinya, suatu saat akan kembali lagi nengok blog saya untuk mencari jawaban. Mudah-mudahan. Karena itu, saya berusaha untuk memenuhi permintaan tersebut.

BAHASA ASING
Ngomong-ngomong masalah bahasa asing, sebenarnya di pembukuan Wajib Pajak, saya sering menemukan istilah-istilah bahasa asing, maksudnya account names. Contohnya : Cash, Account Receivable, Fixed Asset, Current Liabilities, dan lain-lain. Dan nama-nama akun dalam bentuk bahasa asing tersebut sudah sangat-sangat biasa digunakan oleh mahasiswa jurusan akuntansi (setidaknya yang aku alami di STAN). Kemudian, ketika terjun di dunia nyata dan mendesain sebuah sistem akuntansi, nama-nama akun dalam Bahasa Asing tersebut digunakan. Dan beberapa temen alumni STAN juga begitu.

Permasalahannya ada di Pasal 28 ayat (4) UU KUP, �Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.� Di undang-undang perpajakan kita jelas-jelas disebutkan bahwa pembukuan wajib menggunakan bahas Indonesia. Termasuk nama-nama perkiraannya!

Boleh menggunakan bahasa Inggris, tetapi harus ada izin dari Menteri Keuangan. Sedangkan berdasarkan peraturan menteri keuangan, tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa asing. Mereka yang dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris adalah :
[a.] Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing;
[b.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan;
[c.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Bagi Hasil, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan minyak dan gas bumi;
[d.] Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
[e.] Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk diluar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri dalam hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang-Undang Pajak Penghasilan;
[f.] Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Jika selain dari perusahaan tersebut, sebaiknya jangan menggunakan istilah akun dalam bahasa asing. Pake bahasa Indonesia aja. Kalau pembukuannya sudah �otomatis� dengan menggunakan komputer, sebaiknya suruh programmer mengganti nama-nama akun ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa nasional! Mengapa?

Pembukuan dalam bahasa asing tanpa izin dari Menteri Keuangan berarti tidak memenuhi syarat pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh UU KUP. Jika tidak memenuhi syarat, berarti dianggap tidak memiliki atau tidak menyelenggarakan pembukuan. Dan akibatnya bisa fatal!

Salah seorang kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Enam (waktu itu boss-ku :)) beberapa kali �mengintruksikan� kepada pemeriksa untuk menanyakan Surat Izin penggunaan bahasa asing jika menemukan nama-nama akun dalam bahasa asing. Dia bilang, jika memang tidak memiliki izin, �TOLAK�! Ini beneran (cuma pemeriksanya yang sering kurang berani he .. he .. he ..).


MATA UANG ASING
Penggunaan mata uanga asing memang jarang (lebih sedikit) dibandingkan dengan bahasa asing. Kebanyakan yah, menggunakan nama akun bahasa Inggris tetapi menggunakan mata uang rupiah. Nasionalismenya sepotong-sepotong he .. he .. he ...

Wajib Pajak yang boleh menggunakan mata uang asing, diwajibkan mengajukan izin tiga bulan setelah pendirian atau 3 bulan sebelum awal tahun buku. Kecuali untuk WP Kontrak Karya dan WP Kontrak Bagi Hasil, cukup pemberitahuan saja sebelum awal tahun buku.

Permohonan untuk meminta izin wajib disampaikan tiga bulan sebelum awal tahun buku dan jika memenuhi syarat serta dokumen yang disampaikan lengkap, maka 25 hari setelah surat permohonan disampaikan, akan keluar Surat Izin. Kalo belum keluar juga, anggap aja disetujui [Pasal 2 ayat (5) PMK 49 tahun 2007]. Ini adalah suatu kemajuan dibanding dengan aturan sebelumnya yang memberikan tempo 30 hari kepada DJP untuk menerbitkan Surat Izin.

Bagi WP yang beru berdiri, saya pikir tidak akan ada masalah konversi dari rupiah ke US dollar karena memang sejak awal akan dicatat dalam mata uang US dollar. Tetapi, bagi WP yang sebelumnya menggunakan rupiah, konversi dari rupiah ke US dollar akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan berbagai tafsiran atau pendapat ketika terjadi pemeriksaan pajak.

Contohnya untuk WP KIK (Kontrak Investasi Kolektif). Sebelumnya WP yang boleh menggunakan pembukuan bahasa dan mata uang asing hanya lima kelompok, yaitu : PMA, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, BUT, dan subsidiary company. Sejak 2007, WP KIK diperbolehkan. Dengan demikian, WP KIK yang sejak dahulu berkeinginan memakai mata uang dollar, sekarang sudah bisa.

KONVERSI RUPIAH ke US DOLLAR
Titik tolak, atau pertama kali angka-angka yang dikonversi adalah angka-angka yang ada di Neraca terakhir tahun buku sebelumnya. Diatas diterangkan jika Surat Izin harus disampaikan dalam kurun waktu tiga bulan sebelum awal tahun buku. Artinya, jika awal tahun buku bulan Januari 2008, maka surat permohonan wajib disampaikan selambat-lambatnya pada bulan Oktober 2007. Bulan sebelum awal tahun buku adalah : Oktober 2007, Nopember 2007, dan Desember 2007.

Awal tahun buku adalah Januari 2008. Neraca yang dikonversi dari rupiah ke US dollar adalah neraca per 31 Desember 2007. Angka-angka yang ada di Neraca per 31 Desember 2007 tersebut dikonversi ke US dollar dengan menggunakan kurs (Pasal 4 PMP No.49/PMK.03/2007) sebagai beriku:
[a.] untuk harga perolehan harta berwujud dan atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

[b.] untuk akumulasi penyusutan dan atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf a menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

[c.] untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

[d.] apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;

[e.] untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

[f.] untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;

[g.] dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari mata uang Rupiah ke mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf a. huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

Jadi kurs yang dipakai ada dua, yaitu : pertama, kurs historis atau kurs yang berlaku pada saat terjadi transaksi atau saat perolehan. Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta berwujud dan akumulasi penyusutannya, atau harta tidak berwujud dan amortisasinya; revaluasi aktiva tetap; dan modal saham. Kedua, kurs neraca terakhir dalam rupiah atau dalam contoh diatas adalah kurs pada tanggal 31 Desember 2007. Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta lainnya (selain yang sudah disebutkan seperti Kas, Bank, Piutang, dan Persediaan); kewajiban; laba ditahan atau akumulasi / sisa rugi. Jika terjadi selisih laba atau rugi akibat konversi tersebut, maka dimasukkan ke akun laba ditahan.

SPT dan PAJAK
Kurs yang dipakai untuk konversi adalah kurs tengah BI. Ini tentu saja sesuai dengan kelaziman pembukuan atau standar akuntansi di Indonesia. Tetapi untuk masalah bayar pajak maka konversi wajib menggunakan kurs Keputusan Menteri Keuangan yang setiap minggu ditetapkan.

Kurs KMK ini berlaku untuk saat bayar pajak dengan rupiah. Pajak disini adalah semua jenis pajak seperti : pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) bahkan bea masuk (BM) dan cukai. Kurs KMK tanggal yang dipakai adalah kurs KMK pada saat dibayar. Contoh : WP membuat bukti potong PPh Pasal 23 tanggal 5 Maret 2008 tetapi PPh tersebut baru dibayar pada tanggal 15 Maret 2008, maka kurs KMK yang dipakai adalah kurs KMK untuk tanggal 15 Maret 2008.

Tetapi dari sisi �yang dipotong� sering kali WP tidak tahu, kapan PPh yang dipotong tersebut disetor ke Kas Negara. Dan memang bukan kewajiban WP tersebut mengklarifikasi tanggal setor. Kewajiban ada difihak pemotong dengan segala akibatnya (karena itu jika belum dipotong akan dikenakan sanksi saat pemeriksaan). Untuk kasus diatas, kurs yang dipakai adalah kurs KMK yang berlaku pada tanggal bukti potong atau tanggal 5 Maret 2008.

Walaupun sudah mengantongi izin untuk menggunakan bahasa asing dan mata uang asing tetapi SPT wajib menggunakan bahasa Indonesia dengan mata uang rupiah, kecuali lampiran SPT berupa income statement. Akibatnya, dalam pembuatan SPT akan ada dua kurs yang dipakai, yaitu kurs tengah BI dan kurs KMK. Kurs tengah BI adalah kurs yang dipakai dalam income statement (setidaknya untuk sebagian akun biaya). Angka-angka dalam laporkan keuangan dengan mata uang US Dollar tinggal dipindahkan ke SPT. Plek sama.

Tetapi pada saat akan menghitung pajak terutang, tarif Pasal 17 UU PPh 1984 hanya bisa diterapkan untuk mata uang rupiah. Karena itu, penghasilan kena pajak sebagai dasar pengenaan PPh dikonversi ke rupiah dengan menggunakan kurs KMK. Teknisnya, di SPT $ ada dua kolom, yaitu kolom dengan mata uang US dollar dan kolom dengan mata uang rupiah. Selain SPT induk, semua masih menggunakan mata uang US dollar.


Cag!