Friday, December 28, 2007

Pengenaan BPHTB atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat

Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak. Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.


Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Disamping orang pribadi, penerima hibah wasiat juga berupa badan yang biasanya mempunyai kegiatan pelayanan kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Contoh 1 [NJOPTKP lebih besar dari nilai pasar & NJOP]
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 200.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris (NPOPTKP) sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 250.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak N i h i l
BPHTB terutang N i h i l



Contoh 2 [Nilai pasar lebih besar dari NJOP & NJOPTKP]
Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai JuaI Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 500.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 200.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 200.000.000,00
= Rp I0.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 5.000.000,00


Contoh 3
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 800.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 800.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 500.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 500.000.000,00
= Rp 25.000.000,00
BPHTB terutang = 50% x Rp 25.000.000,00 = Rp 12.500.000,00

Contoh 4
Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat dari seseorang sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 900.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal selain waris dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 60.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 1.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 940.000.000,00
= Rp 47.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 47.000.000,00
= Rp 23.500.000,00

[Dikutip dari PP 111 Tahun 2000]

Catatan : Untuk mendapatkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang berlaku bisa ditanyakan ke KPP Pratama di Seksi Ekstensifikasi (pelayanan PBB hanya ada di KPP Pratama atau KPPBB jika belum ada KPP Pratama).

BPHTB karena Pemberian HPL

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Hak Pengelolaan sebagai objek pajak adalah karena penerima Hak Pengelolaan memperoleh manfaat ekonomis dari tanah yang dikelolanya. Namun, mengingat pada umumnya Hak Pengelolaan diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan, sehingga pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak Pengelolaan perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan lembaga pemerintah lainnya antara lain Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan, dan lembaga pemerintah sejenis yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.


Besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut :

0% (nol persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan NasionaI (Perum Perumnas).

50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan NasionaI (Perum Perumnas).

Dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas), maka sebagai pengganti Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Surat Keterangan Bebas BPHTB dari Kantor Pelayanan PBB [KPP Pratama] yang wilayahnya meliputi letak tanah dan atau bangunan yang diberikan Hak Pengelolaan.

Contoh :
Suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memperoleh Hak Pengelolaan atas tanah seluas 10 Ha dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 1.000.000.000, 00, maka besarnya BPHTB terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 1.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
BPHTB terutang = 5% x Rp 940.000.000,00 = Rp 47.000.000,00
BPHTB yang harus dibayar = 50% x Rp 47.000.000,00 = Rp 23.500.000;00


[Dikutip dari PP 112 Tahun 2000]

Catatan : Untuk mendapatkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang berlaku bisa ditanyakan ke KPP Pratama di Seksi Ekstensifikasi (pelayanan PBB hanya ada di KPP Pratama atau KPPBB jika belum ada KPP Pratama).

Pengurangan BPHTB

Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembangan dan dibayar secara angsuran.

Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
2. Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat.
3. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
4. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak.
5. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum.
6. Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak.
7. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta.
8. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
9. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.


Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
10. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis.
11. Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
12. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah.


Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 100% (seratus lima persen) dari pajak yang terutang, dalam hal:
13. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger).
14. Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS.
15. Wajib Pajak yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program Pemerintah di bidang pertanahan atau Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara.
16. Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
17. Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan, sebelum terjadinya bencana.
18. Tanah dan atau bangunan di Nanggroe Aceh Darussalam yang selama masa rehabilitasi berlangsung yang digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.


Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan [atau KPP Pratama jika KP PBB sudah dibubarkan] yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan. Surat Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat terutang.

[dikutif dari Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006]
Catatan : tidak dibenarkan meminta pengurangan melalui perantara, calo, atau pegawai KPP manapun. Permohonan pengurangan langsung disampaikan di tempat pelayanan terpadu (TPT) KPP Pratama dan atas pengajual surat permohonan tersebut diberikan bukti / tanda teriam (warna kuning). Permintaan pengurangan melalui perantara / calo terbukti dimanipulasi oleh orang-orang tertentu!

Wednesday, December 26, 2007

Restitusi

mo tanya soal retur pajak yg lebih bayar donk,prosesnya rumit ato tidak? apa saja yg perlu di siapkan perusahaan?
t3ddy@yahoo.com

Jawaban Saya:
Mungkin maksud Pa T3ddy adalah prosedur restitusi pajak yang lebih bayar, bukan retur pajak. Jika benar anggapan saya, maka dibawah ini saya kutip dari PER-122/PJ./2006 tentang dokumen apa saja yang diperlukan untuk pengajuan restitusi PPN.

Secara umum, dokumen yang wajib dipersiapkan adalah :
[a]. Faktur Pajak
[b]. Faktur penjualan/faktur pembelian (jika ada invoice komersial)
[c]. Bukti pengiriman/penerimaan barang
[d]. Bukti penerimaan/pembayaran uang (yang berkaitan dengan pembelian/penjualan)

Selain itu, untuk Wajib Pajak importir [atau berkaitan dengan impor] ada tambahan sebagai berikut :
[1]. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan Surat Setoran Pajak
[2]. Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS), jika ada
[3]. Surat kuasa kepada atau dokumen lain dari Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) untuk pengurusan barang impor, jika ada.

Untuk Wajib Pajak Eksportir [atau berkaitan dengan ekspor] :
[1]. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
[2]. Instruksi pengangkutan (melalui darat, udara atau laut), ocean B/L atau Master B/L atau Airway Bill, dan packing list;
[3]. Fotokopi wesel ekspor atau bukti penerimaan uang lainnya dari bank, yang telah dilegalisasi oleh bank yang bersangkutan atau fotokopi L/C yang telah dilegalisasi oleh bank koresponden jika ekspor menggunakan L/C;
[4]. Asli atau fotokopi yang telah dilegalisasi polis asuransi, jika diasuransikan.

Jika lebih bayar dikarenakan penyerahan kepada Badan Pemungut maka dokumen yang wajib dilampirkan pada waktu pengajuan restitusi adalah :
[1] Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK) atau surat pesanan atau dokumen sejenis lainnya; dan
[2] Surat Setoran Pajak.

Pada waktu kita mengajukan restitusi, dokumen-dokumen tersebut harus lengkap. Jika belum lengkap, maka KPP dalam waktu satu bulan sejak surat masuk akan memberitahukan kekurangan dokumen apa saja yang wajib disusulkan. Jika Wajib Pajak tidak memberikan dokumen yang diminta, dalam waktu satu bulan tersebut, maka dokumen yang disampaikan dianggap �lengkap�. Maksud lengkap [dalam tanda kutip] adalah dokumen itulah yang akan dijadikan dasar pemeriksaan materi oleh pemeriksa pajak.

Jangka waktu restitusi PPN sebagai berikut :
[1]. 1 (satu) bulan untuk PKP dengan kriteria tertentu. Namun dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak Kepala KPP setelah melakukan penelitian wajib menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPPKP) paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan diterima (baik dengan surat permohonan tersendiri maupun dengan SPT).
[2]. 2 (dua) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk permohonan yang diajukan oleh PKP yang melakukan kegiatan tertentu yang memiliki risiko rendah.
[3]. 4 (empat) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PKP yang melakukan kegiatan tertentu selain yang memiliki risiko rendah.
[4]. 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PKP selain PKP Kriteria Tertentu dan PKP yang melakukan kegiatan tertentu [selain no satu sampai tiga diatas].

Secara umum, proses restitusi wajib dijawab oleh DJP [maksudnya dikabulkan atau tidak] setelah jangka waktu 12 bulan dilewati. Hal ini diatur di Pasal 17B ayat (1) UU KUP. Jika dalam waktu 12 bulan tersebut belum ada keputusan menolak, maka permohonan restitusi wajib dikabulkan.

Di UU No. 28 tahun 2007 [perubahan UU KUP] disebutkan istilah �Wajib Pajak dengan kriteria tertentu� dan �Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu�. Untuk kedua Wajib Pajak tersebut DJP wajib menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga bulan) untuk PPh, dan 1 (satu) bulan untuk PPN.

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah [Pasal 17C UU KUP] :
[a]. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
[b]. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
[c]. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
[d]. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Syarat atau kriteria diatas adalah syarat kumulatif. Keempat syarat tersebut wajib terpenuhi. Selain itu, Wajib Pajak dengan kriteria tertentu �ditetapkan� oleh DJP.

Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah [Pasal 17D UU KUP] :
[a]. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
[b]. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
[c]. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
[d]. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.

Syarat diatas bukan kumulatif. Artinya, salah satu syarat terpenuhi maka Wajib Pajak tersebut dapat disebut �Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu�. Tetapi batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Namun, sampai dengan Desember 2007 ini, saya belum membaca Peraturan Menteri Keuangan dimaksud. Kemungkinan besar, peraturan pelaksakan UU No. 28 tahun 2007 ini belum diterbitkan.

Terakhir, jangan ragu meminta kelebihan pembayaran pajak kepada negara. Restitusi adalah hak Wajib Pajak. Surat permohonan restitusi boleh �hanya� dengan mencentang poin restitusi si SPT Masa PPN, atau dengan surat terpisah. Tetapi untuk restitusi PPh harus dengan surat terpisah dari SPT karena tidak ada form untuk permintaan restitusi.

Cag!

Komisi Luar Negeri

Pak Raden, apabila kita menagih komisi kepada WP Luar Negeri Apakah dikenakan PPN dan apakah dipotong PPH Pasal 23

satri_nursatria@yahoo.com

Jawaban Saya:
Komisi dari luar negeri berarti Wajib Pajak Dalam Negeri memberikan jasa kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Perlakuan perpajakan atas penghasilan lintas batas seperti itu pada dasarnya diatur pada dua asas : yaitu asas sumber dan asas domisili.

Asas sumber, artinya negara pemberi penghasilan, berhak mengenakan / memotong Pajak Penghasilan berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku di negara sumber. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka penghasilan yang bersumber dari Wajib Pajak yang terdaftar di Inggris tersebut akan dipotong Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak Luar Negeri jika menurut undang-undang perpajakan di Inggris diharuskan dipotong.

Kedua, asas domisili, yaitu negara tempat domisili penerima penghasilan akan mengenakan pajak berdasarkan undang-undang perpajakan di negara yang bersangkutan. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka atas penghasilan tersebut harus dilaporkan di SPT Tahunan kita. Darimana pun asal penghasilan tersebut, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri harus dilaporkan. Total penghasilan tersebut kemudian dihitung berapa pajak terutang menurut UU PPh 1984.

Karena satu objek akan dikenakan pajak di dua negara yang berbeda, maka pasti terjadi perpajakan ganda (double taxation). Untuk menghindari pajak ganda, maka dibuatlah perjanjian perpajakan (tax treaty). Tetapi jika posisi kita sebagai penerima penghasilan (asas domisili) maka kita tidak perlu pusing membaca tax treaty. Kita cukup membaca ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU PPh 1984 dan peraturan dibawahnya.

Isu yang penting bagi penerima penghasilan hanya berkaitan dengan kredit pajak. Apakah pajak yang sudah dibayar (jika sudah dipotong pajak di luar negeri) dapat dikreditkan? Berapa kredit pajak yang dapat diperhitungkan menurut peraturan perpajakan di Indonesia?

Karena itu, atas komisi yang diterima dari luar negeri tidak ada PPh Pasal 23 (atau withholding tax lain) yang terutang.

Apakah dikenakan PPN?
Permasalahannya adalah : apakah jasa yang kita berikan dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia atau di luar negeri? Jika jasa tersebut dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia maka menjadi objek PPN (prinsip destinasi). Artinya, atas jasa tersebut wajib dipungut PPN oleh pemberi jasa, dalam hal ini Wajib Pajak Dalam Negeri, sebesar 10%. Jika Wajib Pajak Luar Negeri tidak mau dipungut PPN maka kewajiban memungut PPN �tetap� dibebankan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Penjual menanggung pajak karena pembeli tidak mau membayar pajak!

Cag!

Saturday, December 15, 2007

Capital Lease

Dari beben : knp lessee tidak memotong pph pasal 23 atas leasing

Jawaban saya :
Leasing ada dua macam yaitu leasing (sewa guna usaha, SGU) dengan hak opsi dan leasing tanpa hak opsi. Bagi lessee : leasing dengan hak opsi bukan objek PPh Pasal 23 tetapi jika leasing tanpa hak opsi maka objek PPh Pasal 23.

Kenapa leasing dengan hak opsi bukan objek PPh Pasal 23? Sebenarnya leasing dengan hak opsi merupakan objek PPh Pasal 23 tetapi tidak dipotong. Menurut Pasal 16 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 bahwa lessee �tidak memotong�. Istilahnya, tidak memotong. Bahasa awamnya tidak memotong sama dengan bukan objek, karena bukan objek berarti tidak memotong.

Saya pikir landasan ketentuan keputusan menteri keuangan tersebut adalah Pasal 23 ayat (4) huruf b UU PPh 1984, yaitu �Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas � sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;� Artinya, semua pembayaran sewa sebenarnya objek PPh Pasal 23 tetapi jika sewa tersebut merupakan sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi maka atas objek tersebut tidak dilakukan atau tidak dipotong.

Buku Kas

Dari enzu : maaf ya Mas raden supratman, zu mau tanya klo kita mskan pajak ke buku kas apakah saldo akhirnya itu sdh termasuk pajak..?Mksh byk sblm dan sesdahnya.

Jawaban saya :
Betul, bahwa pajak yang kita masukkan ke buku kas berarti saldo akhir buku kas tersebut termasuk pajak sepanjang belum dikelaurkan, he .. he .. he ... Sebenarnya, di buku kas mencatat uang masuk dan keluar. Tetapi tidak perlu ada pemisahan adanya uang pajak. Saldo kas berarti sejumlah uang yang kita pegang. Harus ada buku lain, seperti buku piutang, hutang, penghasilan, dan biaya.

Tetapi jika kita menggunakan norma, dan memakai pembukuan basis kas maka tidak perlu buku penghasilan dan biaya. Semua uang masuk masuk dikurangi uang dari hutang maka dianggap total penghasilan. Uang pajak seperti potongan PPh Pasal 21 dan 23 termasuk hutang, yaitu hutang kepada Negara. Sepanjang belum dibayar ke Kas Negara (bank atau kantor Pos) maka tetap jadi hutang. Selain itu, uang masuk yang berasal dari setoran modal juga bukan penghasilan.

PPN Membangun Sendiri

Dari thio sunaryo : pak saya minta informasi tentang PPN membangun sendiri, apa dan bagaimana hal itu terjadi. salam thio

Jawaban saya :
PPN membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN 1984, yaitu, �Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.� Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 320/KMK.03/2002 bahwa yang dimaksud bangun adalah bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua ratus meter persegi) atau lebih dan bersifat permanen. Artinya, bangunan dibawah 200m2 tidak terutang PPN.

Cara menghitung PPN terutang adalah 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Setiap bulan, pemilik bangunan wajib membayar PPN sebesar 4% dari total pengeluaran pada saat pembangunan. PPN ini harus dibayar langsung ke Kas Negara dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Jika pengguna bangunan bukan pemilik bangunan maka pengguna wajib memperlihatkan bukti setoran PPN membangun sendiri. Jika tidak dapat memperlihatkan bukti setoran, maka pengguna memiliki tanggung jawab renteng.

Seringkali pemilik bangunan mencampuradukkan dengan jasa konstruksi. Jasa pelaksana konstruksi adalah objek PPh Pasal 23. Artinya, saat kita membangun, kita memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dan tidak membayar PPN membangunan sendiri. Artinya, hemat 2% bukan?

Harus ditekankan bahwa perbedaan antara membangun sendiri dengan jasa pelaksana konstruksi adalah adanya kontrak antara pemilik bangunan dengan perusahaan kontruksi. Kontraktor konstruksi harus memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi. Jika tidak memiliki sertifikat, maka dianggap �membangun sendiri�.

Angka Pengenal Impor

Dari wahyuning : bagaimana penghitungan API pada PPh Pasal 22

Jawaban saya :

Angka Pengenal Importir disingkat API adalah tanda pengenal sebagai importir yang harus dimiliki setiap perusahaan yang melakukan perdagangan impor. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/7/2007 bahwa impor hanya dapat dilakukan oleh oleh perusahaan dagang, perusahaan industri, Kontraktor KKS atau perusahaan penanaman modal yang telah memiliki API, kecuali :
[a.] impor tidak dilakukan secara terus menerus dan yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau yang tidak dimaksudkan untuk dipindahtangankan; dan

[b.] barang yang diimpor adalah barang untuk keperluan lainnya yang berupa alat penunjang kelancaran produksi atau alat pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 bahwa tariff PPh Pasal 22 sebagai berikut:
[a.] yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;

[b.] yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;

[c.] yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor. Artinya, dasar pengenaan pajak PPh Pasal 22 adalah nilai impor yang dibayar tidak termasuk PPN dan PPnBM, jika ada.

Komisi Penjualan

Dari Tamu : Komisi penjualan barang dikenakan PPh pasal berapa sich?

Jawaban saya :
Komisi Penjualan dipotong PPh Pasal 21. Kita kutip dulu bunyi Pasal 21 UU PPh 1984, �Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh pemberi kerja � dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.� Jadi kata kunci di pasal ini adalah imbalan pekerjaan. Baik pekerjaan itu berkaitan dengan pegawai atau bukan pegawai. Tarif yang digunakan adalah tarif progresif.

Berbeda dengan Pasal 23, yaitu hanya terhadap jasa-jasa atau imbalan pekerjaan yang telah disebutkan dalam Pasal 23 UU PPh 1984 dan peraturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984. Jika tidak disebutkan di Pasal 23 UU PPh 1984 dan PER-70/PJ./2007 maka tidak terutang PPh Pasal 23.

Karena itu, pembayaran komisi penjualan kepada Wajib Pajak badan bukan objek PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Perhatikan bunyi Pasal 21 diatas �yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri�. Bagaimana jika yang menerima Wajib Pajak luar negeri? Maka terutang PPh Pasal 26, baik yang menerima orang pribadi maupun badan. Dipotong sebesar 20%. Dasarnya adalah Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh 1984, yaitu �Atas penghasilan � (imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan) yang dibayarkan atau yang terutang oleh � Subjek Pajak dalam negeri � kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia � dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto�.

DPP PPh

Dari geoloveriana@plasa.com tolong saya pak, apakah menghitung pph setelah dikurangi ppn-nya dulu dari nilai pagu

Jawaban saya :
Semestinya DPP (dasar pengenaan pajak) antara PPh dan PPN harus sama. Penghasilan yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh dengan SPT Masa PPN semestinya sama. Karena itu, jika dalam harga beli termasuk PPN maka unsur PPN harus dikeluarkan dulu.

Dari andre_endratno: Pak, minta tolong di dalam spt 2007, apabila nama Wajib Pajak tidak mencukupi sesuai kotaknya, apakah bisa disingkat? Terima kasih. sukses selalu

Jawaban saya :Menurut saya, masalah nama Wajib Pajak tidak perlu persis sama antara Kartu NPWP dengan SPT. Hal tidak boleh berbeda adalah NPWP karena identitas dalam administrasi perpajakan adalah NPWP. Berikut adalah definisi NPWP berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU KUP terakhir [UU No. 28 tahun 2007], �Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.�

Nama di SPT

Dari andre_endratno: Pak, minta tolong di dalam spt 2007, apabila nama Wajib Pajak tidak mencukupi sesuai kotaknya, apakah bisa disingkat? Terima kasih. sukses selalu

Jawaban saya :
Menurut saya, masalah nama Wajib Pajak tidak perlu persis sama antara Kartu NPWP dengan SPT. Hal tidak boleh berbeda adalah NPWP karena identitas dalam administrasi perpajakan adalah NPWP. Berikut adalah definisi NPWP berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU KUP terakhir [UU No. 28 tahun 2007], �Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.�

Kredit Pajak Luar Negeri

Dari diermien : Pak kalau ada bukti potong pajak dari Luar Negeri apakah berlaku bukti potong tersebut di Indonesia (mis Pemotng dari Ghana)

Jawaban saya:
Kredit pajak dari Luar Negeri diatur di Pasal 24 UU PPh 1984. Bunyinya sebagai berikut :
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :

a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;

b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;

c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;

d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;

e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.

(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.


Keputusan Menteri Keuangan sebagai pengaturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud di Pasal 24 ayat (6) UU PPh 1984 adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Diantaranya diatur bahwa:
[a] agar kredit pajak luar negeri dapat diakui, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT. Permohonan dimaksud disertai dengan :
[aa.] Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
[ab.] Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
[ac.] Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

[b] jika kredit pajak dari luar negeri terdiri dari beberapa negara, maka dihitung tiap (masing-masing) negara dengan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri. Contoh penghitungan teknisnya lebih baik lihat langsung ke lampiran Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002.

[c] jika rugi maka kerugian tidak dapat digabungkan. Jadi yang harus digabungkan hanya penghasilan saja. Selain itu, kelebihan kredit pajak luar negeri tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

Friday, December 14, 2007

Wajib Pajak Baru

Saya awam banget nich soal Pajak, nah pas lagi cari2 info di google ketemu blog anda dan tulisannya tentang PTKP sangat informatif sekali cuma saya masih bingung nih, mudah2an Mas Raden ada waktu untuk menjawab email saya.
Bermula dari kewajiban di kantor saya supaya semua karyawannya mengumpulkan KTP untuk dibuatkan NPWP dan setelah NPWP jadi kemudian dibagikan ternyata karyawati yang berstatus istri tidak mendapatkan NPWP karena tanggungan Suami dan pihak kantor menyarankan untuk mengurus NPWP sendiri
Nah saya agak bingung nih karena Suami saya penghasilannya tidak tetap dan biasanya penghasilannya habis untuk operasional saja dan kami punya 4 orang anak. Pekerjaan suami saya di bidang pengobatan alternatif (terapi pijat/akupresur/shiatsu, konsultan spiritual, prediksi tarot,dll) dan saya sendiri sebagai marketing di perusahaan swasta
Yang jadi pertanyaan : * NPWP dibuat atas nama Suami saya atau saya ? Kalo atas nama suami saya, ketika saya apply NPWP melalui e-reg, apa yang harus diisi : Status Usaha --> tunggal atau orang pribadi tertentu (saya bingung nich bedanya) Jenis usahanya ditulis apa ? Alamat usahanya bagaimana ? karena pindah2 --> kalo ada uang ngontrak, kalo tidak buka di rumah / terima panggilan Terus suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan karena menyangkut lampiran untuk NPWP tsb, apa cukup KTP saja atau plus Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha --> maksudnya apa sih, semacam domisili ? kan bukan perusahaan ?
Kutipan dari blog Mas Raden: Karena maksud dari PTKP untuk kebutuhan minimum, penghasilan untuk kebutuhan minimum, maka jika WP OP memiliki istri dan tanggungan maka PTKP juga bertambah. Maaf, UU PPh 1984 memandang bahwa pencari rejeki (penghasilan) adalah suami. Sehingga jika seorang istri pekerja dan suaminya pengangguran maka untuk mendapatkan PTKP tanggungan suami, si istri tersebut harus mendapatkan keterangan dari kantor kecamatan! --> Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya ?
Berikut adalah jumlah PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan neto WP OP yang berstatus kawin, istri punya penghasilan dan penghasilan tersebut digabung dengan penghasilan suami di SPT PPh : 1. WP Kawin, dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 27,600,000 2. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 28,800,000 3. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 30,000,000 4. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 31,200,000 --> kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?
Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa ? apa dampaknya ? menyalahi aturankah ? Trus seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya ?
Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ? harus buat pembukuan ?, seperti apa ?, ada contohnya gak ? laporannya bagaimana? bingung nich walaupun sudah baca informasinya di pajak.go.id
Nindy

Jawaban saya :

Terus terang, saya sendiri belum pernah menggunakan e-registration. Saya dapat NPWP dengan prosedur biasa, mengisi form pendaftaran kemudian diserahkan ke KPP tempat kita akan daftar. Daftarnya juga kolektif, karena ada keharusan pegawai DJP punya NPWP. Jadi yang berkaitan dengan e-registration saya tidak bisa jawab lebih lanjut.

Berkaitan dengan Status Usaha, Jenis usaha, Alamat usaha, jawab dengan kenyataan atau yang �mendekati�. Misalnya, status usaha dijawab orang pribadi tertentu saja bila tidak ada pilihan. Jenis usaha jika masih bingung isikan aja �lain-lain� atau salah satu yang paling banyak mendapatkan penghasilan. Misalnya ibu lebih banyak penghasilan dari agen marketing, tulis saja itu. Dan, alamat usaha pilih yang sesuai dengan jenis usaha. Jadi alamat usaha bisa alamat kantor tempat ibu bekerja. Atau, jika punya tempat praktek, bisa alamat usaha tempat praktek suami ibu.

Ingat, data-data yang dimasukkan adalah data yang berlaku pada saat pendaftaran. Jika setelah pendaftaran ternyata usaha dan alamat usaha Wajib Pajak berubah, maka data tersebut harus di up-date ke KPP. Biasanya setiap SPT yang dikirim selalu ada form untuk perubahan data. Nah, saat menyampaikan SPT Tahunan, sekalian up-date data.

�Suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan?� WP OP non usahawan maksudnya tidak punya usaha sendiri, bukan wirausahawan. Mungkin yang lebih tepat pilihan itu untuk pekerja yang punya majikan atau karyawan. Jadi untuk suami ibu lebih baik WPOP usahawan karena dari pekerjaan suami ibu [selain tidak punyak majikan juga (?)] punya penghasilan.

Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha. Beragam orang mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Karena itu, formulir yang disediakan atau data yang dimintan tentu untuk semua orang. Banyak usaha yang mengharuskan memiliki ijin dari Pemda setempat seperti dari Dinas Perdagangan atau Dinas Perindustrian. Jika pada saat daftar kita sudah punyak ijin, maka isikan nomor ijin dari Pemda tersebut. Jika kita belum punya, jangan dipaksakan dengan mengisi nomor palsu :-).

�Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya?� Mungkin judulnya �Surat Keterangan� yang isinya menerangkan bahwa suami ibu pengangguran atau tidak memiliki penghasilan. Redaksi surat keterangan tersebut tentu tergantung masing-masing penerbit. Bentuknya tidak ada yang baku. Yang penting kan substansi surat tersebut. Kewajiban mengharuskan memiliki surat keterangan ini selalu disebutkan dalam peraturan petunjuk pelaksana pemotongan PPh Pasal 21 seperti KEP-545/PJ./2000.

�Kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?� Banyaknya tanggungan yang boleh ditanggung oleh Wajib Pajak paling banyak hanya 3 orang. Selebihnya tidak ditanggung. Ini kebijakan administrator pajak di Indonesia. Artinya, Wajib Pajak yang memiliki anak 12 orang [seperti saudara sepupu istriku :-)] tetap hanya bisa memiliki tanggungan 3 orang saja. Mungkin ini berkaitan dengan program KB [keluarga berencana].

�Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa?� Berdasarkan UU KUP yang berlaku tahun 2007 dan sebelumnya bahwa NPWP harus atas nama suami. Istri yang memiliki NPWP tersendiri adalah istri yang memiliki perjanjian pisah harta yang dibuktikan dengan akta notaris perjanjian harta. Atau bisa juga dengan keputusan hakim. Tetapi, prakteknya banyak juga yang memiliki NPWP, yaitu NPWP suami dan istri memiliki �NPWP cabang� [kode nomor sama] dengan menambahkan kode �001� setelah kode KPP.

Di Penjelasan Pasal 2 (1) UU No. 28 tahun 2007, berlaku mulai sejak 1 Januari 2008, disebutkan �Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan menuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.� Artinya, sejak 2008 boleh memiliki NPWP terpisan [nomor-nya beda] dari suami. Tetapi petunjuk lebih lanjut ketentuan ini belum ada.


�Seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya?� NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi berlaku seumur hidup. Artinya, bisa berlaku sampai kapan pun dan hanya bisa dirubah datanya, seperti : alamat domisili dan kode KPP terdaftar. Jika ibu tidak memiliki akta pisah harta, lebih baik memiliki NPWP gabungan atas nama suami. Tidak masalah, apakah yang memiliki penghasilan istri atau suami. Toh, pelaporan penghasilannya akan digabung dalam satu SPT. Jika ibu memiliki penghasilan yang sudah dipotong oleh pemberi kerja, maka potongan tersebut akan dikreditkan di SPT suami ibu. Potongan pajak tersebut tidak hilang. Penghasilan yang dilaporkan digabungkan dan pajak-pajak yang sudah dibayar juga digabungkan.

�Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ?� Setiap orang yang memiliki NPWP memiliki kewajiban melaporkan penghasilannya ke KPP terdaftar. Berdasarkan Pasal 3 UU KUP bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT. Sebenarnya, kewajiban ini tidak berlaku hanya untuk mereka yang punya NPWP. Setiap subjek pajak yang mendapatkan penghasilan secara otomatis berarti Wajib Pajak! Kabarnya, kedepan akan ada perbedaan tarif pajak untuk menghitung pajak orang yang punya NPWP dengan yang belum punya NPWP tapi ketahuan punya penghasilan [jika DPR setuju].

�harus buat pembukuan?� UU KUP membedakan antara pembukuan dan pencatatan. Pencatatan boleh disebut �pembukuan sederhana�. Syarat pencatatan berdasarkan Pasal 28 ayat (9) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) adalah catatan penerimaan kotor. Lebih detilnya: Wajib Pajak harus punya buku penerimaan penghasilan. Setiap memperoleh penghasilan dicatat di buku tersebut. Kemudian setiap bulan dijumlahkan untuk memudahkan penghitungan dalam satu tahun. Setiap tutup tahun, misalnya 31 Desember, dijumlah total penghasilan dalam satu tahun. Catatan ini akan jadi dasar pelaporan SPT.

Wajib Pajak yang dapat menggunakan pencatatan adalah mereka yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp.1.800.000.000,- (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dan memberitahukan ke KPP terdaftar 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.03/2007. Tetapi, jika terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Dengan menggunakan catatan maka Wajib Pajak memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan netto. Norma ini adalah persentase tertentu untuk menghitung penghasilan neto sebagai dasar menghitung pajak. Contoh : 32% x Rp.200 juta = Rp.64 juta. 32% adalah besarnya Norma. Rp.200 juta adalah total penghasilan dalam satu tahun. Rp.64 juta adalah penghasilan neto yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dari angka Rp.64 juta ini kemudian dikalikan dengan tarif pajak sebagaimana diatur di Pasal 17 UU PPh 1984.

Ketentuan yang mengatur norma penghitungan penghasilan netto sampai saat ini adalah KEP-536/PJ./2000. Wajib Pajak dapat meminta daftar norma ini ke pejabat AR di masing-masing KPP Pratama. Menurut saya, untuk profesi suami ibu sekarang ini masuk ke nomor urut 161 kode 97000 yaitu Jasa Perorangan dan Rumah Tangga dengan norma untuk wilayah Jakarta 32%.

Bagaimana menerapkan norma jika usahanya banyak? Pertama, penghasilan harus digabungkan sesuai jenis penghasilan atau jenis pekerjaan. Kemudian, masing-masing jenis pekerjaan tersebut dicari tarif normanya. Mungkin tarifnya berbeda-beda. Masing-masing jenis penghasilan dihitung penghasilan neto, kemudian digabung dan dikalikan tarif pajak.

Nah, mudah-mudahan sekarang lebih jelas.

Cag!

Wednesday, November 28, 2007

Reformasi Birokrasi Dapat Pujian Negara G-20

Reformasi ekonomi dan birokrasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia dianggap berada pada jalur yang benar untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Pengakuan ini datang dari pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 di Cape Town, Afrika Selatan 17-18 November 2007.

Kepala Biro Humas Departemen Keuangan Samsuar Said mengatakan, dalam sesi Implementing The G-20 Accord for Sustained Growth, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati didaulat sebagai pembicara utama. Menkeu menyampaikan kondisi ekonomi terkini dan pengalaman Indonesia dalam melakukan reformasi ekonomi yang didasarkan pada upaya pembenahan struktural dalam birokrasi, khususnya di Depkeu. "Dengan pertimbangan bahwa Indonesia merupakan contoh negara yang dianggap berada pada jalur yang benar," katanya dalam keterangan pers seputar kunjungan Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah pada pertemuan itu di Jakarta kemarin.

Dalam forum itu, Menkeu menyampaikan bahwa kondisi positif dalam ruang fiskal APBN Indonesia perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mempercepat laju reformasi birokrasi. Dengan demikian, hal itu dapat menunjang bagi terciptanya sistem birokrasi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi secara maksimal.

Sri Mulyani juga menginformasikan kondisi resiliensi keuangan Indonesia tetap terpelihara karena kecilnya eksposur sistem keuangan domestik terhadap krisis kredit perumahan di Amerika Serikat. Demikian pula dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap APBN relatif netral karena lonjakan pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar diimbangi oleh peningkatan penerimaan dari sektor energi alternatif seperti gas.

Presiden Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Fadhil Hasan mengatakan, reformasi birokrasi yang ditempuh pemerintah belum bisa dikatakan memiliki arah yang tepat. Menurutnya, reformasi birokrasi baru dilaksanakan sehingga dampaknya sulit terukur. "Terlalu dini mengatakan demikian, kan anggarannya juga baru setujui. Apalagi, reformasi birokrasi ini hanya di Depkeu, belum menyeluruh," katanya. Dia menambahkan, reformasi birokrasi di Depkeu baru menyentuh level perbaikan kesejahteraan pegawai. Padahal, reformasi tersebut harus menjamin adanya efisiensi kinerja birokrasi sehingga arahnya adalah rasionalisasi pegawai.

Reformasi birokrasi di Depkeu dimulai sejak tahun 2005 lalu. Tujuannya untuk mempermudah pelayanan publik serta memperbaiki akuntabilitas dan transparasi kinerja aparat birokrasi.

Contoh konkret perubahan itu antara lain memperpendek waktu penyelesaian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di Ditjen Pajak dari tiga hari menjadi sehari, dan penyelesaian restitusimenjadi 12 bulan. Pada Ditjen Bea dan Cukai, sebanyak 1.200 pegawai yang bertugas di Pelabuhan Tanjung Priok dipindah dan menggantikannya dengan 800 pegawai baru. Termasuk, mempercepat pengurusan pabean jalur prioritas dari 16 jam menjadi 20 menit. Di bidang penataan organisasi, berupa pembentukan beberapa Kantor Pelayanan Modern di Ditjen Pajak (tiga Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar, 28 Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan 171 Kantor Pelayanan Pajak Pratama). Ditjen Bea dan Cukai dua Kantor Pelayanan Utama (KPU).

Sumber : Harian Seputar Indonesia
Dikutip dari : http://10.10.254.215/web/

PPN Pasal 16D

Pada kesempatan ini saya ingin menanyakan hal mengenai PPN atas penyerahan aktiva oleh PKP yg menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yg disebut kan dlm pasal UU PPN & PPN BM 18 TAHUN 2000 pasal 16 D. Kebetulan saya sebagai PKP ingin menjual mobil kepada seorang yg buka PKP, apakah saya harus membuat faktur pajak sederhana...?
Karena saya tidak mengetahui apakah PPN yg dibayar pada saat perolehan aktiva (mobil) tsb dapat dikreditkan atau tidak, mengingat data nya uda gak ada, uda dibeli 15 tahun yang lalu. Bagaimana supaya amannya...?Apakah dibuat faktur pajak sederhana atau tidak ? Dan apakah pada saat pelaporan SPT tahunan PPH OP, hasil penjualan harus diperinci...? maksudnya dipisahkan hasil dari penjualan brg dagangan dgn penjualan mobil tsb...?
Mohon pencerahannya...Terimakasih.

Salam,

Tji Beng

Jawaban Saya:
Pasal 16D UU PPN 1984 berbunyi, "Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."

Pasal 16D ini pengenaan PPN atas aktiva yang digunakan oleh perusahaan. Pada umumnya, aktiva yang kita gunakan untuk operasional perusahaan terdapat PPN-nya. Nah, pada saat kita beli, PPN yang telah kita beli tersebut bisa kita kreditkan atau biayakan. Jika dikreditkan disebut pajak masukan. Dikreditkan atau tidak bukan semata-mata karena tidak boleh dikreditkan. Bisa saja, menurut peraturan suatu pajak masukan dapat dikreditkan tetapi tidak kita kreditkan malah kita biayakan saja.

Walaupun tidak dikreditkan, tetapi karena menurut peraturan perpajakan pajak masukan tersebut boleh atau "dapat" dikreditkan, maka pada saat aktiva tersebut dijual kembali, akan terutang PPN Pasal 16D! Karena itu, saya biasa membacanya seperti ini : "semua penjualan aktiva perusahaan objek PPN kecuali pajak masukannya tidak dapat dikreditkan".

Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan diatur di Pasal 9 ayat 8 UU PPN 1984, yaitu :
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidakmempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, stationwagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.


Berkaitan dengan pertanyaan diatas, maka jika kendaraan bekas aktiva yang djual berupa sedan, jeep, stationwagon, van, dan kombi maka bisa dipastikan bukan objek PPN karena untuk kendaraan jenis tersebut pada saat perolehannya, pajak masukannya, tidak dapat dikreditkan.

Jika objek PPN maka WP harus membuat faktur pajak atas penjualan aktiva tersebut. Dasar pengenaan pajaknya sebesar harga jual. Pasal 16D termasuk jenis transaksi penyerahan dalam negeri dengan faktur pajak dan dilaporkan di SPT PPN form 1107A romawi II.

Penjualan aktiva biasanya merupakan penghasilan lain-lain. Karena itu, pelaporan di SPT Tahunan PPh, penjualan aktiva pasti bukan pos peredaran usaha, karena pos ini untuk kegiatan usaha pokok (kalau di akuntansi sering dimasukkan ke pos sales). Cara pelaporan penjualan aktiva gampang ko : hasil penjualan dilaporkan sebagai penghasilan lain-lain, dan jika masih ada nilai buku, maka nilai buku tersebut disusutkan sekaligus.

Tapi untuk kendaraan yang sudah 15 tahun seperti pertanyaan diatas, saya yakin nilai bukunya sudah nihil he .. he ..

cag!

Wednesday, October 31, 2007

Keadilan PPh Final

Ass, nama saya ris. begini mas saya ingin tahu mengapa Pengenaan PPh final dari beberapa referensi yang saya baca, banyak menimbulkan ketidakadilan, tolong tunjukan dalam contoh perhitungannya apabila memang merugikan wajib pajak. selanjutnya mengapa terdapat perbedaan tarif PPh final (misal untuk bunga deposito, jasa konstruksi, undian, dll ), maupun masih dalam satu jenis usaha (mis dalam konsturksi ada yang 4% maupun 2%), apa pertimbangan Dirjen Pajak dalam hal ini. trimakasih sebelumnya.


Jawaban saya:
Betul bahwa PPh final itu �mengandung� ketidakadilan. Mari identifikasi ciri-ciri PPh final.
[1] semua usaha dianggap memiliki laba;
[2] besaran laba kotor atau marjin laba sudah ditentukan;
[3] tidak menggunakan tarif progressif.

Pada kenyataannya tidak semua usaha menghasilkan keuntungan. Pengalaman saya sendiri, beberapa usaha kecil yang saya �rintis� bukan hanya menghasilkan kerugian tetapi ditutup karena tidak sanggup menanggung kerugian. Setiap usaha pasti memiliki potensi untung dan sebaliknya memiliki potensi rugi. Nah, PPh final selalu �distel� bahwa usaha pasti menghasilkan laba. Ciri anggapan ini dilihat dari basis pajak PPh final adalah penghasilan bruto.

Untuk menghasilkan suatu angka tertentu sebagai tarif PPh final, sebenarnya administrator perpajakan (DJP) telah memperhitungkan besaran marjin laba. Besaran ini bisa didapat dari survey, atau langsung mengambil dari database perpajakan, atau bahkan perkiraan para pembuat keputusan saja dengan berpatokan kepada kewajaran usaha.

Tarif yang dipakai untuk mendapatkan tarif efektif di PPh final adalah tarif tunggal. Bagi sebagian para ahli, tarif tunggal tidak mencerminkan keadilan vertikal. Seharusnya menggunakan tarif progressif seperti : 5%, 10%, 15%, 25%, dan 35% sebagaimana diatur di UU No. 17 tahun 2000 untuk wajib pajak orang pribadi. Artinya, wajib pajak �kecil� membayar pajak lebih kecil karena tarifnya juga lebih kecil. Sebaliknya, wajib pajak �besar� akan membayar lebih besar karena tarifnya juga lebih besar. Semakin besar penghasilan, besaran tarif semakin besar pula. Inilah yang dimaksud keadilan vertikal.

Walaupun demikian, PPh final memiliki keuntungan:
[1] sederhana;
[2] sama-sama bayar pajak.

Banyak wajib pajak tidak mau membayar pajak karena faktor �jlimet�. Mau bayar pajak saja rumitnya minta ampun. Belum lagi peraturannya yang berubah-ubah, padahal sebagian besar wajib pajak tidak selalu memonitor kebijakan perpajakan. Bagaimana mereka tahu cara menghitung pajak? Kalau tidak tahu cara menghitungnya, bagaimana membayar pajak?

Bagi administrasi perpajakan, keadilan selalu bertolak belakang dengan kesederhanaan. Maksudnya, jika kita mau seadil-adilnya maka peraturan perpajakan harus dibuat kompleks, komprehensif, dan rumit karena harus mengakomodir wajib pajak yang sangat variatif. Sebaliknya, jika dibuat sederhana, pasti banyak fihak yang tidak terakomodasi.

Walaupun tidak adil, tetapi masih ada sisi keadilan (he.. he .. tidak adil tapi adil). Ada yang disebut keadilan horisontal. Tarif pajak tunggal yang didasarkan pada persentase tertentu akan menghasilkan keadilan horisontal. Wajib pajak membayar pajak secara proporsional.

Jadi, PPh final hanya memiliki keadilan horisontal tetapi tidak memiliki keadilan vertikal. Karena itu, sebagian orang bilang bahwa PPh final itu second best policy.

Cag!

Pajak Masukan

Salah satu Perusahaan tempat saya bekerja ada yang bergerak di bidang Lapangan Golf dan Hotel. Nama Perusahaan tersebut adalah PT. "L", Bidang usahanya yang pertama (saat ini) bergerak di bidang Jasa Lapangan Golf. Tetapi saat ini perusahaan mengadakan ekspansi ke bidang Perhotelan. Dan Bangunan Hotel sedang berjalan 40% konstruksi, yang dikerjakan oleh Perusahaan Konstruksi.
Yang menjadi pertanyaan saya :
1. Apakah PPN Masukan atas bangunan hotel tersebut dapat dikreditkan ?
2. Kalau tidak dapat dikreditkan apakah perusahaan tidak merasakan dirugikan karena tidak bisa di Restitusi PPN dimaksud ?.
3. Di mana terdapat peraturannya tentang PPN Hotel ?

Jawaban saya:
Jasa hotel bukan objek PPN. Tetapi biasanya, di hotel terdapat ruangan-ruangan yang disewakan (tentunya bukan kamar hotel he .. he ..). Dan sewa ruangan termasuk objek PPN. Jadi, hotel ada yang tidak terutang PPN dan ada yang terutang PPN.

Untun kondisi seperti ini, pajak masukannya ada yang boleh dan ada yang tidak boleh. Besaran pajak masukan yang boleh dikreditkan sebanding (proporsional). Teknis penghitungan pajak masukannya bisa lihat di Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000. Tetapi disini saya kutip bagian dari Pasal 2 ayat (1) KMK ini :

"Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang :
1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
2) digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran
seluruhnya;
3) nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan."

Walaupun tidak dapat dikreditkan, tetapi tidak rugikan. Ini karena PPN adalah pajak atas konsumsi. Sama dengan kita belanja keperluan rumah, barang-barang yang kita beli di Mall sudah included PPN. Karena barang tersebut untuk kita konsumsi (end user) maka tidak dapat dikreditkan.

Prinsip pengkreditkan PPN adalah "penggeseran" pajak yang kita bayar kepada orang lain sampai end user (konsumen terakhir). Pengusaha kena pajak yang mengkreditkan pajak masukan pada dasarnya menggeser pajak. Gambaran yang lebih jelas jika urutan barang kena pajak yang "mengandung" PPN diurut terbalik dari pengecer. Tingkat pengecer memungut PPN dari konsumen. Kemudian PPN yang telah dibayar tersebut digeser ke distributor, dan dari distributor digeser kembali ke produsen.

Demikian dan semoga bermanfaat.

Thursday, October 4, 2007

Leasing

Saya mau tanya antara pembelian dengan leasing Pesawat udara unsur pajak apa-apa saja yang perlu dibayar/diperhatikan. bagaimana pembayaran pesawat via produsen dengan via bank di luar negeri, apakah ada pajak lagi.


metra nickson


Jawaban saya
Kabarnya, leasing adalah produk dari para tax planner. Jika perusahaan kita memiliki penghasilan yang besar sehingga bayar pajaknya juga besar, maka leasing adalah pilihan tepat. Atau, menurut perhitungan teknis kita bisa bayar cicilan leasing, tidak mengganggu pada cash flow lain (cicilan leasing teorinya lebih tinggi daripada cicilan bank), maka leasing juga pilihan tepat karena akan memperkecil pajak penghasilan. Leasing disini maksudnya capital lease.

Ketentuan tentang leasing diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991. Sampai sekarang, KMK ini belum mengalami perubahan. Untuk lebih jelasnya, saya kutif pasal-pasal yang berkaitan dengan perpajakan.

Pasal 14
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
a. penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
b. lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;
c. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;
d. lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
e. kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan;
f. dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 15
Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 16
(1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
a. selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;

b. setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
c. pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan ini;
d. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-usaha.

(2) Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

Bagi pembeli (lessee), hal yang perlu diingat ada dua macam yaitu : [1] selama belum lunas cicilan, barang leasing milik orang lain karena itu tidak boleh disusutkan, [2] cicilan leasing adalah biaya fiskal sehingga pokok dan bunga langsung dibiayakan pada periode terutang. Inilah kekhasan leasing, yaitu pokok dan bunga langsung dibiayakan pada saat dibayar. Bandingkan dengan pinjaman bank untuk beli aktiva, hanya bunga yang boleh dibiayakan langsung.

Tetapi untuk operating lease atau hak guna usaha tanpa hak opsi maka perlakuan perpajakannya sama dengan sewa biasa. Penyewa wajib memotong PPN sedangkan pihak yang menyewakan (lessor) wajib memotong PPh Pasal 23 atas sewa.

Lessor di Luar Negeri
Peraturan diatas hanya berlaku bagi Wajib Pajak Dalam Negeri atau lessor yang berkedudukan di Dalam Negeri. Jika lessor berkedudukan di Luar Negeri maka berlaku Pasal 26 UU PPh 1984.

Jika lessor di Luar Negeri tidak menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang dikeluarkan oleh Competent Authority di negara asal maka dikenakan PPh Pasal 26. Tarif yang digunakan adalah 20% dari total bunga yang dibayar. Ketentuan Pasal 26 UU PPh 1984 ini juga berlaku jika yang meminjamkan dana adalah bank yang berkedudukan di Luar Negeri.

Tetapi jika lessor yang berkedudukan di Luar Negeri dapat menyerahkan SKD maka ketentuan yang berlaku adalah tax treaty antara Indonesia dengan dengan dimana lessor berkedudukan. Negara mana yang mengeluarkan SKD, maka tax treaty itulah yang dipakai.

Objek pajak yang wajib dipotong oleh Wajib Pajak Dalam Negeri adalah bunga yang dibayarkan. Pada umumnya, tarif yang diberlakukan dalam tax treaty untuk bunga sebesar 10%.

Cag!

ORI (Obligasi Negara Ritel)

Dengan hormat,
Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu, nama saya Melinda Grace Yosefina Sitorus, mahasiswa tingkat akhir Program Studi S1 Ekstensi Administrasi Fiskal.
Sekarang saya juga bekerja sebagai staf pajak di koperasi Telkomsel.
Saya melihat blog Bapak saat saya browse mengenai masalah - masalah pajak, seperti faktur gabungan, dll.
Untuk itu saya memohon kesediaan Bapak untuk memberikan saran & informasi - informasi terkait untuk masalah - masalah mengenai pajak.
Adapun , saya akan menyusun skripsi, namun mengalami kesulitan untuk menentukan topik yang akan saya buat.
Menurut Bapak, topik apa yang sebaiknya saya kembangkan, apakah mengenai pajak atas SHU pada koperasi Telkomsel atau ORI?
Dalam hal ORI, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:
1. Saat saya membaca beberapa artikel mengenai ORI, dijelaskan bahwa ORI dikenakan tarif progresif. Padahal pada umumnya, atas obligasi dikenakan tarif final sebesar 20%. Apakah alasannya ORI dikenakan tarif progresif?
2. ORI baru dipasarkan untuk dibeli masyarakat secara bebas, apakah yang menyebabkan negara memutuskan untuk menjual ORI kepada masyarakat? Apakah ada faktor politik yang terkait?
Maaf, bila saya merepotkan. Terimakasih


Salam sejahtera,
Melinda


Jawaban saya
ORI adalah surat utang �baru� di Indonesia. Sekitar enam tahun ke belakang, salah seorang dosen yang kebetulan menjadi ketua �desk� Manajemen Utang Negara (belum diformalkan) masih bercerita tentang Obligasi Negara di negara lain dan Indonesia akan (berencana) menerbitkan obligasi juga. Waktu itu yang lebih populer adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan surat utang BI lainnya. Karena itu, untuk pembuatan skripsi (bahkan tesis) dengan tema ORI, saya pikir akan lebih menarik. Dan ORI adalah �produk� terbaru dari pemerintah RI. Mungkin, bisa jadi, mahasiswa dan dosen sama-sama belajar ORI.

Kenapa negara harus berutang? Salah satu alasannya karena penerimaan dari pajak tidak cukup. Dilihat dari sisi ilmu moneter (setidaknya dosen moneter yang pertama bilang ke saya) bahwa utang negara adalah penerimaan pajak yang dipercepat. Pada akhirnya, utang tersebut akan dibayar oleh negara dari penerimaan pajak dikemudian hari.

Tetapi dosen pertama (pengajar obligasi negara) telah menemukan fakta bahwa prakteknya utang dibayar dengan utang. Di negara-negara maju seperti USA dan Jepang, obligasi yang telah jatuh tempo dibayar dengan penerbitan obligasi yang lain. Bahkan dia sedikit bergurau, �Utang negara hanya bisa lunas jika dunia kiamat.�


PPh Final
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan bunga dari obligasi biasanya diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah (PP). Cantelan atau dasar dari peraturan pemerintah tersebut selalu merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang berbunyi, �Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.� Karena itu disebut pula PPh Pasal 4 (2) dan karena selalu bersifat final maka disebut pula PPh Final atau sering juga digabungkan menyebutnya menjadi PPh Pasal 4 (2) Final.

Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pengaturan Surat Utang Negara (SUN) adalah :
[1] PP No. 6 tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek. Pasal 1 PP No. 6/2002 menyebutkan bahwa yang dimaksud obligasi adalah obligasi korporasi, dan obligasi pemerintah atau SUN diatas dua belas bulan. Di PP ini hanya ada satu tarif yaitu 20% dan bersifat final!

[2] PP No. 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah SUN dengan jatuh tempo 12 bulan atau kurang. Di PP ini hanya ada satu tarif, yaitu 20% dari diskonto SPN dan bersifat final.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.08/2007, �Obligasi Negara Ritel adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual.� Karena itu, perbedaan obligasi negara dengan ORI adalah segmentasi pemberi utang. Mungkin bahasa politiknya : ORI adalah bentuk partisipasi warga negara terhadap kekurangan pembiayaan pemerintah he .. he .. he ..

Karena itu, jika ada artikel yang menyebutkan bahwa ORI dikenakan tarif progresif, tanya saja dasar hukumnya. PP No. 6 tahun 2002 setahu saya belum dirubah. Jadi masih berlaku.


Kenapa Pilih ORI?
Kabarnya ORI adalah utang negara yang paling �aman� dilihat dari sisi pemerintah. Masih ingat bagaimana �berkuasanya� IMF pada masa krisis moneter. Sampai-sampai foto penandatanganan LOI antara RI � IMF di Cendana itu jadi perdebatan di media. Kesannya, RI jadi budak IMF, wah gawat. .

Begitu juga dengan utang luar negeri lainnya yang dapatnya dari pemerintah. Mungkin istilahnya G to G, pemerintah RI meminta utang dari pemerintah negara lain. Ini akan beresiko bagi kesetaraan antar dua negara. Bagaimanapun antara kreditur dan debitur tidak setara. Kreditur biasanya lebih tinggi, lebih berkuasa. Ini karena faktur uang. Kreditur tidak mau uang yang dipinjamkan ke orang lain akan lenyap begitu saja.

Itulah sebabnya, ORI lebih aman. Karena krediturnya sangat banyak, dipecah-pecah dan warga negaranya sendiri, maka penerbitan ORI tidak ada resiko seperti pemerintah meminta dana dari IMF. Dan memang kondisi masyarakat juga memungkinkan untuk membli ORI.

Dilihat dari sisi kreditur, ORI lebih aman daripada deposito atau simpanan di bank lainnya. Bank bisa saja bangkrut dan bubar tetapi pemerintah sangat sulit untuk bubar. Dalam keadaan mendesak, pemerintah tinggal mencetak uang untuk membayar ORI yang jatuh tempo, sedangkan bank yang bangkrut? Karena itu, ORI lebih aman atau lebih kecil resiko wan prestasi.

Selain itu, ORI bisa jadi benchmark atau ukuran suku bunga bagi obligasi perusahaan. Perusahaan terbuka sekarang dapat menerbitkan obligasi dengan bunga sekitar ORI. Sama-sama obligasi. Dahulu, perusahaan yang akan mengeluarkan obligasi mungkin berpatokan pada bunga bank. Padahal pinjaman bank sebenarnya untuk jangka pendek, karena itu bunganya pantas lebih tinggi, walaupun prakteknya dana dari bank juga sering untuk pinjaman jangka panjang.

Cag!

Wednesday, October 3, 2007

Pengusaha Kecil

Saya meneruskan usaha orang tua yang bergerak dibidang home industry. Pada pertengahan tahun lalu saya buat PT karena untuk visi kedepannya. Karena tidak mengerti kaitan PT dengan pajak-pajaknya. Awalnya saya membayar konsultan lepas ternyata mengecewakan dia buat double book yang terakhir saya ketahui double book tersebut "aneh" - ada pos-pos pada laporannya tidak nyambung. Saya aja bukan orang pajak aneh apalagi pada saat diperiksa oleh orang pajak pasti saya kena. Yang saya ingin tanyakan:

1. Apakah mungkin menarik laporan yang salah di kantor pajak?
2. Karena saya penghasilan dibawah 50 jt / bulan apakah saya wajib bayar PPN ? sedangkan saya jualannya ke pasar tradisional tanpa ada pajak masukan dari mereka
3. Apakah mungkin saya mengajukan permohonan pembatalan PKP? dan nantinya hanya menjalankan kewajiban PPH 21 & 25? apakah ada contoh suratnya??

Terima kasih sebelumnya,

Susanti


JAWABAN SAYA
[1] Apakah mungkin menarik laporan yang salah di kantor Pajak?
Ibu tidak perlu menarik laporan (istilah pajak sebenarnya surat pemberitahuan dan disingkat SPT). Jika memang SPT dianggap tidak benar oleh Wajib Pajak sendiri, silakan mengajukan SPT Pembetulan. Ketentuan tentang SPT Pembetulan diatur dalam Pasal 8 UU KUP. Di UU No. 16 tahun 2000 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2007, kesempatan untuk membetulkan SPT dengan kemauan sendiri (ini istilah UU) hanya diberikan selama dua tahun sejak berakhirnya masa pajak atau tahun pajak. Artinya, SPT tahun pajak 2005, dan tahun pajak 2006 masih bisa dibetulkan oleh Wajib Pajak sendiri. Tetapi, jika tahun pajak 2004 dan sebelumnya, sekarang sudah terlambat.

Ketentuan dua tahun juga masih ada syaratnya, yaitu selama belum dilakukan pemeriksaan. Jika memang telah dilakukan pemeriksaan, yaitu sejak tanggal diserahkannya SP3 (surat perintah pemeriksaan pajak) maka tidak perlu ada SPT Pembetulan. Bukankan hasil dari pemeriksaan tersebut keluarnya skp? Dan, substansinya skp itu �SPT� versi fiskus.

Tetapi di UU No. 28 tahun 2007 yang berlaku sejak 1 Januari 2008, batas pembetulan sendiri itu dua tahun sebelum daluarsa penetapan. Kapan daluarsa penetapan? Lima tahun setelah saat terutang pajak atau berakhirnya masa pajak. Artinya, kesempatan pembetulan SPT hanya bergeser satu tahun saja, dari dua tahun menjadi tiga tahun. Contoh SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2008 hanya boleh dibetulkan oleh Wajib Pajak sampai dengan tahun 2011. Setelah itu, tidak bisa lagi.

[2] Apakah saya wajib bayar PPN?
Sayang ibu tidak menyebutkan secara spesifik jenis produk yang diproduksi. Karena disebut sebagai home industry maka saya anggap barang tersebut adalah barang kena pajak (BKP). BKP itu adalah semua barang baik berwujud maupun tidak berwujud �kecuali yang dikecualikan�. Jadi, barang yang bukan objek PPN itu secara spesifik ditentukan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP).

Tidak ada batasan penjualan, apakah suatu penjualan dikenakan PPN atau tidak. Artinya, penjualan Rp.1000 dan penjualan Rp.1.000.000.000 sama saja dikenakan PPN jika memang menurut UU PPN wajib dikenakan PPN. Hanya saja, administrasi PPN kita mengenal klasifikasi �pengusaha kecil�.

Apa itu pengusaha kecil? �Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).� Pasal 1 KMK No. 571/KMK.03/2003. Perhatikan kata-kata �dan atau�, itu artinya bisa BKP saja, atau jasa kena pajak (JKP) saja, atau BKP dan JKP kumulatif (gabungan) sebesar Rp.600.000.000,00.

Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 menyebutkan �Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.� Catatan: KMK No. 571/2003 adalah perubahan KMK No. 522/2000 tetapi yang dirubah hanya Pasal 1 dan Pasal 4.

Tetapi jika ibu sudah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) maka ketentuan di Pasal 2 diatas tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 menyebutkan �Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak.� Ketentuan ini bisa dibaca : siapapun yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maka wajib memungut PPN.

[3] Apakah mungkin saya mengajukan permohonan pembatalan PKP?
Bisa bu karena omset ibu dalam setahun kurang dari Rp.600.000.000,00.. Silakan meminta permohonan pencabutan PKP ke KPP secepatnya, selambat-lambatnya satu bulan sejak berakhirnya tahun buku. Secepat-cepatnya ya sekarang, Okotber 2007 dan selambat-lambatnya akhir Januari 2008. Hal ini berdasarkan Pasal 5.

Keputusan diterima atau ditolak permohonan ibu itu paling lambat dua bulan sejak surat permohonan diterima (buktinya yang warna kuning itu bu) oleh KPP. Jika sudah dua bulan belum juga ada keputusan, maka permohonan ibu dianggap diterima.

Tuesday, October 2, 2007

PEMBUKUAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA dan MATA UANG ASING

saya mau tanya tentang syarat san tata cara pembukuan sengan mata uang asing,berdasar kep men keu terbaru,thank you� [shoutbox]

Ketika membaca permintaan diatas, sepintas saya heran. Pertama, karena penanya tahu ada keputusan menteri keuangan yang baru (tahun 2007, sebenarnya yang baru bukan keputusan tapi peraturan menteri keuangan) tentang tata cara pembukuan dengan mata uang asing. Artinya, dia punya peraturan menteri keuangan tersebut atau setidaknya pernah baca. Kedua, di PMK (peraturan menteri keuangan) tersebut sangat jelas dan detil tentang syarat-syarat untuk menggunakan pembukuan bahasa asing, terutama di Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2007

Walaupun demikian, permintaan pembaca blog merupakan perhatian dari pembaca blog itu sendiri. Artinya, suatu saat akan kembali lagi nengok blog saya untuk mencari jawaban. Mudah-mudahan. Karena itu, saya berusaha untuk memenuhi permintaan tersebut.

BAHASA ASING
Ngomong-ngomong masalah bahasa asing, sebenarnya di pembukuan Wajib Pajak, saya sering menemukan istilah-istilah bahasa asing, maksudnya account names. Contohnya : Cash, Account Receivable, Fixed Asset, Current Liabilities, dan lain-lain. Dan nama-nama akun dalam bentuk bahasa asing tersebut sudah sangat-sangat biasa digunakan oleh mahasiswa jurusan akuntansi (setidaknya yang aku alami di STAN). Kemudian, ketika terjun di dunia nyata dan mendesain sebuah sistem akuntansi, nama-nama akun dalam Bahasa Asing tersebut digunakan. Dan beberapa temen alumni STAN juga begitu.

Permasalahannya ada di Pasal 28 ayat (4) UU KUP, �Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.� Di undang-undang perpajakan kita jelas-jelas disebutkan bahwa pembukuan wajib menggunakan bahas Indonesia. Termasuk nama-nama perkiraannya!

Boleh menggunakan bahasa Inggris, tetapi harus ada izin dari Menteri Keuangan. Sedangkan berdasarkan peraturan menteri keuangan, tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa asing. Mereka yang dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris adalah :
[a.] Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing;
[b.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan;
[c.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Bagi Hasil, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan minyak dan gas bumi;
[d.] Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
[e.] Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk diluar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri dalam hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang-Undang Pajak Penghasilan;
[f.] Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Jika selain dari perusahaan tersebut, sebaiknya jangan menggunakan istilah akun dalam bahasa asing. Pake bahasa Indonesia aja. Kalau pembukuannya sudah �otomatis� dengan menggunakan komputer, sebaiknya suruh programmer mengganti nama-nama akun ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa nasional! Mengapa?

Pembukuan dalam bahasa asing tanpa izin dari Menteri Keuangan berarti tidak memenuhi syarat pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh UU KUP. Jika tidak memenuhi syarat, berarti dianggap tidak memiliki atau tidak menyelenggarakan pembukuan. Dan akibatnya bisa fatal!

Salah seorang kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Enam (waktu itu boss-ku :)) beberapa kali �mengintruksikan� kepada pemeriksa untuk menanyakan Surat Izin penggunaan bahasa asing jika menemukan nama-nama akun dalam bahasa asing. Dia bilang, jika memang tidak memiliki izin, �TOLAK�! Ini beneran (cuma pemeriksanya yang sering kurang berani he .. he .. he ..).


MATA UANG ASING
Penggunaan mata uanga asing memang jarang (lebih sedikit) dibandingkan dengan bahasa asing. Kebanyakan yah, menggunakan nama akun bahasa Inggris tetapi menggunakan mata uang rupiah. Nasionalismenya sepotong-sepotong he .. he .. he ...

Wajib Pajak yang boleh menggunakan mata uang asing, diwajibkan mengajukan izin tiga bulan setelah pendirian atau 3 bulan sebelum awal tahun buku. Kecuali untuk WP Kontrak Karya dan WP Kontrak Bagi Hasil, cukup pemberitahuan saja sebelum awal tahun buku.

Permohonan untuk meminta izin wajib disampaikan tiga bulan sebelum awal tahun buku dan jika memenuhi syarat serta dokumen yang disampaikan lengkap, maka 25 hari setelah surat permohonan disampaikan, akan keluar Surat Izin. Kalo belum keluar juga, anggap aja disetujui [Pasal 2 ayat (5) PMK 49 tahun 2007]. Ini adalah suatu kemajuan dibanding dengan aturan sebelumnya yang memberikan tempo 30 hari kepada DJP untuk menerbitkan Surat Izin.

Bagi WP yang beru berdiri, saya pikir tidak akan ada masalah konversi dari rupiah ke US dollar karena memang sejak awal akan dicatat dalam mata uang US dollar. Tetapi, bagi WP yang sebelumnya menggunakan rupiah, konversi dari rupiah ke US dollar akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan berbagai tafsiran atau pendapat ketika terjadi pemeriksaan pajak.

Contohnya untuk WP KIK (Kontrak Investasi Kolektif). Sebelumnya WP yang boleh menggunakan pembukuan bahasa dan mata uang asing hanya lima kelompok, yaitu : PMA, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, BUT, dan subsidiary company. Sejak 2007, WP KIK diperbolehkan. Dengan demikian, WP KIK yang sejak dahulu berkeinginan memakai mata uang dollar, sekarang sudah bisa.

KONVERSI RUPIAH ke US DOLLAR
Titik tolak, atau pertama kali angka-angka yang dikonversi adalah angka-angka yang ada di Neraca terakhir tahun buku sebelumnya. Diatas diterangkan jika Surat Izin harus disampaikan dalam kurun waktu tiga bulan sebelum awal tahun buku. Artinya, jika awal tahun buku bulan Januari 2008, maka surat permohonan wajib disampaikan selambat-lambatnya pada bulan Oktober 2007. Bulan sebelum awal tahun buku adalah : Oktober 2007, Nopember 2007, dan Desember 2007.

Awal tahun buku adalah Januari 2008. Neraca yang dikonversi dari rupiah ke US dollar adalah neraca per 31 Desember 2007. Angka-angka yang ada di Neraca per 31 Desember 2007 tersebut dikonversi ke US dollar dengan menggunakan kurs (Pasal 4 PMP No.49/PMK.03/2007) sebagai beriku:
[a.] untuk harga perolehan harta berwujud dan atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

[b.] untuk akumulasi penyusutan dan atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf a menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

[c.] untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

[d.] apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;

[e.] untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

[f.] untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;

[g.] dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari mata uang Rupiah ke mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf a. huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

Jadi kurs yang dipakai ada dua, yaitu : pertama, kurs historis atau kurs yang berlaku pada saat terjadi transaksi atau saat perolehan. Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta berwujud dan akumulasi penyusutannya, atau harta tidak berwujud dan amortisasinya; revaluasi aktiva tetap; dan modal saham. Kedua, kurs neraca terakhir dalam rupiah atau dalam contoh diatas adalah kurs pada tanggal 31 Desember 2007. Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta lainnya (selain yang sudah disebutkan seperti Kas, Bank, Piutang, dan Persediaan); kewajiban; laba ditahan atau akumulasi / sisa rugi. Jika terjadi selisih laba atau rugi akibat konversi tersebut, maka dimasukkan ke akun laba ditahan.

SPT dan PAJAK
Kurs yang dipakai untuk konversi adalah kurs tengah BI. Ini tentu saja sesuai dengan kelaziman pembukuan atau standar akuntansi di Indonesia. Tetapi untuk masalah bayar pajak maka konversi wajib menggunakan kurs Keputusan Menteri Keuangan yang setiap minggu ditetapkan.

Kurs KMK ini berlaku untuk saat bayar pajak dengan rupiah. Pajak disini adalah semua jenis pajak seperti : pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) bahkan bea masuk (BM) dan cukai. Kurs KMK tanggal yang dipakai adalah kurs KMK pada saat dibayar. Contoh : WP membuat bukti potong PPh Pasal 23 tanggal 5 Maret 2008 tetapi PPh tersebut baru dibayar pada tanggal 15 Maret 2008, maka kurs KMK yang dipakai adalah kurs KMK untuk tanggal 15 Maret 2008.

Tetapi dari sisi �yang dipotong� sering kali WP tidak tahu, kapan PPh yang dipotong tersebut disetor ke Kas Negara. Dan memang bukan kewajiban WP tersebut mengklarifikasi tanggal setor. Kewajiban ada difihak pemotong dengan segala akibatnya (karena itu jika belum dipotong akan dikenakan sanksi saat pemeriksaan). Untuk kasus diatas, kurs yang dipakai adalah kurs KMK yang berlaku pada tanggal bukti potong atau tanggal 5 Maret 2008.

Walaupun sudah mengantongi izin untuk menggunakan bahasa asing dan mata uang asing tetapi SPT wajib menggunakan bahasa Indonesia dengan mata uang rupiah, kecuali lampiran SPT berupa income statement. Akibatnya, dalam pembuatan SPT akan ada dua kurs yang dipakai, yaitu kurs tengah BI dan kurs KMK. Kurs tengah BI adalah kurs yang dipakai dalam income statement (setidaknya untuk sebagian akun biaya). Angka-angka dalam laporkan keuangan dengan mata uang US Dollar tinggal dipindahkan ke SPT. Plek sama.

Tetapi pada saat akan menghitung pajak terutang, tarif Pasal 17 UU PPh 1984 hanya bisa diterapkan untuk mata uang rupiah. Karena itu, penghasilan kena pajak sebagai dasar pengenaan PPh dikonversi ke rupiah dengan menggunakan kurs KMK. Teknisnya, di SPT $ ada dua kolom, yaitu kolom dengan mata uang US dollar dan kolom dengan mata uang rupiah. Selain SPT induk, semua masih menggunakan mata uang US dollar.


Cag!

Tuesday, September 25, 2007

Tanggung Renteng

Pak Suparman, terima kasih atas bantuannya informasinya . Saya sangat-sangat merasa terbantu.Kalo boleh saya mau Tanya lagi nih. Maaf kalau jadi merepotkan ?.Beberapa agen layanan jasa yang kami gunakan tidak memiliki NPWP dan tidak dapat mengeluarkan faktur Pajak.1. Apakah kami bertanggung jawab untuk membayarkan PPN nya ?2. Apakah kami harus memotong PPh 23 ? Bukti Potongnya ditujukan kepada siapa ?3. Selama ini, untuk kasus tersebut, kami tidak melakukan pemotongan PPh 23, dan tidak melaporkan nya ke KPP. Apakah hal tersebut akan menjadi masalah saat pemeriksaan pajak ?
Salam hormat,
Agustinus

Jawaban saya:
Kewajiban perpajakan baik untuk PPN maupun PPh tetap harus dilakukan walaupun penerima penghasilan yang kita potong itu tidak memiliki NPWP karena kewajiban pemotongan berada di kita sebagai pembayar. Perhatikan kalimat di Pasal 23 ayat (1) UU PPh 1984 berikut :
"Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :

Kewajiban memotong PPh berada difihak yang membayarkan atau pemberi penghasilan. Karena itu jika belum dipotong PPh Pasal 23 dan ditemukan pada saat pemeriksaan maka kewajiban tersebut akan �diluruskan� dalam bentuk koreksi positif dan akan dikeluarkan skp (surat ketetapan pajak) kurang bayar.

Adapun berkaitan dengan PPN, karena penjual jasa / barang tidak memiliki NPWP maka otomatis tidak dapat memungut PPN. Artinya pada saat kita bayar, kita tidak bayar PPN. Tetapi kewajiban membayar PPN tetap ada dipihak pembeli karena pada prinsipnya PPN itu adalah pajak atas konsumsi yang dibayar oleh konsumen akhir. Hal ini diatur dalam Pasal 33 UU KUP. Berikut bunyinya :
�Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar."

Tetapi terus terang saja, untuk PPN Dalam Negeri praktek kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 33 KUP hanya dipraktekkan pada saat pemeriksaan :) Hanya saja, jika dibayar setelah pemeriksaan (setelah dikeluarkan SKPKB) maka PPN yang telah kita bayar tidak dapat dikreditkan. Berbeda jika PPN kita bayar pada saat beli, maka PPN yang kita bayar bisa dikreditkan. Silakan pilih yang mana?

Klinik Kesehatan

Melalui email ini saya ingin bertanya mengenai perpajakan apa saja yang akan timbul sehubungan dengan kegiatan usaha " Klinik Gigi ". Sejauh yg saya tau merupakan jasa kesehatan yg tidak dikenakan PPN.

Adapun transaksi yg akan terjadi, sbb :
1. Pembagian hasil kepada Rekanan
2. Pembagian hasil / komisi kepada Dokter
3. Perolehan pendapatan dari pelanggan
4. Pembelian alat2 pendukung seperti : Kapas, Alkohol, obat, peralatan gigi
5. Pembayaran gaji kepada karyawan : Admin, satpam, dll
6. Sewa tempat praktek

apakah dari kegiatan tsb diatas ada yang dikenakan PPN atau PPh ? jika ada yg dikenakan pajak,mohon penjelasan dasar peraturannya.
Atas waktu dan perhatiannya, saya ucapkan terima kasih

Salam,
Agustinus

Jawaban saya :

[1] Pembagian hasil kepada rekanan
Mohon maaf saya tidak memahami maksud rekanan disini. Apakah rekanan maksudnya suplier alat-alat klinik? Jika ini yang dimaksud maka pemilik klinik hanya berkewajiban membayar PPN atas alat-alat yang dibeli. PPN ini tidak akan menjadi pajak masukan (tidak dapat dikreditkan) karena berdasarkan Pasal 6 huruf f PP No. 144 tahun 2000 bahwa �klinik kesehatan� termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN.

[2] Pembagian hasil / komisi kepada dokter.
Untuk menjawab pertanyaan ini saya salinkan jawaban saya yang pernah saya kirimkan ke Pa Johannes berikut :

Dasar hukum norma 50% diatur di Pasal 9 ayat (8) KEP-545/PJ./2000 sebagaimana telah diubah dengan PER-15/PJ./2006. Perhatikan kalimatnya, "Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun." Kata-kata yang saya bold adalah DPP (dasar penghitungan pajak). Rumus memotong tenaga ahli kan : DPP x 50% x 15% atau DPP x 7,5%.

JIka kita dudukkan dalam bisnis, selalu ada konsumen dan pedagang, atau klien dan tenaga ahli. Dan penghasilan bruto adalah semua ongkos / harga yang dibayar oleh konsumen / klien atas jasa / barang yang telah dia terima. Ini pengertian yang umum dan telah diterima sebagai suatu kelaziman. Dalam hal dokter sebagai tenaga ahli maka siapa yang menjadi klien? Jawabnya adalah pasien. Bukan rumah sakit! Karena itu DPP untuk jasa dokter adalah harga yang dibayar oleh pasien, walaupun pembayaran diterima oleh rumah sakit. Karena itu, PPh yang dipotong atas 7,5% dari total pembayaran konsumen.

Adapun pembagian penghasilan antara dokter dengan klinik adalah hal yang berbeda. Dibeberapa rumah sakit atau klinik yang pernah saya periksa juga telah mempraktekkan hal ini.

[3] Perolehan pendapatan dari pelanggan
Mungkin maksudnya berkaitan dengan pertanyaan no. [2] diatas. Karena itu, jawaban saya sama. Jadi formulanya, penghasilan yang diterima dari pelanggan dipotong dulu untuk PPh Pasal 21 atas jasa tenaga ahli (dokter) kemudian neto setelah dipotong PPh dibagi dua, yaitu untuk klinik dan untuk dokter.

Untuk dokter akan dihitung kembali di SPT Tahunan OP dokter masing-masing dan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh klinik akan dikreditkan oleh dokter. Jika masih ada yang kurang bayar maka akan dibayar sendiri oleh dokter (PPh Pasal 29). Sedangkan penghasilan klinik akan diperhitungkan kembali di SPT PPh Tahunan Badan.

[4] Pembelian alat2 pendukung
Jawaban saya sama seperti pertanyaan no. [1] diatas. Peralatan pendukung klinik merupakan barang kena pajak karena itu, pada saat beli wajib bayar PPN dan PPN yang telah dibayar tersebut tidak dapat dikreditkan karena usaha klinik termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN.

[5] Pembayaran gaji kepada karyawan
Klinik wajib memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang melebihi PTKP. Besaran PTKP untuk tahun 2007 sama dengan tahun 2006 yaitu :
1. WP tidak Kawin dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 13,200,000
2. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 14,400,000
3. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 15,600,000
4. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 16,800,000
5. WP Kawin, dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 14,400,000
6. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 15,600,000
7. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 16,800,000
8. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 18,000,000

[6] Sewa tempat praktek
Klinik wajib memotong PPh sebesar 10% dari total biaya sewa baik sewa itu diterima oleh WPOP maupun diterima oleh WP Badan. Hal ini berdasarkan PP No. 5 tahun 2002.