Tuesday, September 25, 2007

Tanggung Renteng

Pak Suparman, terima kasih atas bantuannya informasinya . Saya sangat-sangat merasa terbantu.Kalo boleh saya mau Tanya lagi nih. Maaf kalau jadi merepotkan ?.Beberapa agen layanan jasa yang kami gunakan tidak memiliki NPWP dan tidak dapat mengeluarkan faktur Pajak.1. Apakah kami bertanggung jawab untuk membayarkan PPN nya ?2. Apakah kami harus memotong PPh 23 ? Bukti Potongnya ditujukan kepada siapa ?3. Selama ini, untuk kasus tersebut, kami tidak melakukan pemotongan PPh 23, dan tidak melaporkan nya ke KPP. Apakah hal tersebut akan menjadi masalah saat pemeriksaan pajak ?
Salam hormat,
Agustinus

Jawaban saya:
Kewajiban perpajakan baik untuk PPN maupun PPh tetap harus dilakukan walaupun penerima penghasilan yang kita potong itu tidak memiliki NPWP karena kewajiban pemotongan berada di kita sebagai pembayar. Perhatikan kalimat di Pasal 23 ayat (1) UU PPh 1984 berikut :
"Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :

Kewajiban memotong PPh berada difihak yang membayarkan atau pemberi penghasilan. Karena itu jika belum dipotong PPh Pasal 23 dan ditemukan pada saat pemeriksaan maka kewajiban tersebut akan �diluruskan� dalam bentuk koreksi positif dan akan dikeluarkan skp (surat ketetapan pajak) kurang bayar.

Adapun berkaitan dengan PPN, karena penjual jasa / barang tidak memiliki NPWP maka otomatis tidak dapat memungut PPN. Artinya pada saat kita bayar, kita tidak bayar PPN. Tetapi kewajiban membayar PPN tetap ada dipihak pembeli karena pada prinsipnya PPN itu adalah pajak atas konsumsi yang dibayar oleh konsumen akhir. Hal ini diatur dalam Pasal 33 UU KUP. Berikut bunyinya :
�Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar."

Tetapi terus terang saja, untuk PPN Dalam Negeri praktek kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 33 KUP hanya dipraktekkan pada saat pemeriksaan :) Hanya saja, jika dibayar setelah pemeriksaan (setelah dikeluarkan SKPKB) maka PPN yang telah kita bayar tidak dapat dikreditkan. Berbeda jika PPN kita bayar pada saat beli, maka PPN yang kita bayar bisa dikreditkan. Silakan pilih yang mana?

Klinik Kesehatan

Melalui email ini saya ingin bertanya mengenai perpajakan apa saja yang akan timbul sehubungan dengan kegiatan usaha " Klinik Gigi ". Sejauh yg saya tau merupakan jasa kesehatan yg tidak dikenakan PPN.

Adapun transaksi yg akan terjadi, sbb :
1. Pembagian hasil kepada Rekanan
2. Pembagian hasil / komisi kepada Dokter
3. Perolehan pendapatan dari pelanggan
4. Pembelian alat2 pendukung seperti : Kapas, Alkohol, obat, peralatan gigi
5. Pembayaran gaji kepada karyawan : Admin, satpam, dll
6. Sewa tempat praktek

apakah dari kegiatan tsb diatas ada yang dikenakan PPN atau PPh ? jika ada yg dikenakan pajak,mohon penjelasan dasar peraturannya.
Atas waktu dan perhatiannya, saya ucapkan terima kasih

Salam,
Agustinus

Jawaban saya :

[1] Pembagian hasil kepada rekanan
Mohon maaf saya tidak memahami maksud rekanan disini. Apakah rekanan maksudnya suplier alat-alat klinik? Jika ini yang dimaksud maka pemilik klinik hanya berkewajiban membayar PPN atas alat-alat yang dibeli. PPN ini tidak akan menjadi pajak masukan (tidak dapat dikreditkan) karena berdasarkan Pasal 6 huruf f PP No. 144 tahun 2000 bahwa �klinik kesehatan� termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN.

[2] Pembagian hasil / komisi kepada dokter.
Untuk menjawab pertanyaan ini saya salinkan jawaban saya yang pernah saya kirimkan ke Pa Johannes berikut :

Dasar hukum norma 50% diatur di Pasal 9 ayat (8) KEP-545/PJ./2000 sebagaimana telah diubah dengan PER-15/PJ./2006. Perhatikan kalimatnya, "Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun." Kata-kata yang saya bold adalah DPP (dasar penghitungan pajak). Rumus memotong tenaga ahli kan : DPP x 50% x 15% atau DPP x 7,5%.

JIka kita dudukkan dalam bisnis, selalu ada konsumen dan pedagang, atau klien dan tenaga ahli. Dan penghasilan bruto adalah semua ongkos / harga yang dibayar oleh konsumen / klien atas jasa / barang yang telah dia terima. Ini pengertian yang umum dan telah diterima sebagai suatu kelaziman. Dalam hal dokter sebagai tenaga ahli maka siapa yang menjadi klien? Jawabnya adalah pasien. Bukan rumah sakit! Karena itu DPP untuk jasa dokter adalah harga yang dibayar oleh pasien, walaupun pembayaran diterima oleh rumah sakit. Karena itu, PPh yang dipotong atas 7,5% dari total pembayaran konsumen.

Adapun pembagian penghasilan antara dokter dengan klinik adalah hal yang berbeda. Dibeberapa rumah sakit atau klinik yang pernah saya periksa juga telah mempraktekkan hal ini.

[3] Perolehan pendapatan dari pelanggan
Mungkin maksudnya berkaitan dengan pertanyaan no. [2] diatas. Karena itu, jawaban saya sama. Jadi formulanya, penghasilan yang diterima dari pelanggan dipotong dulu untuk PPh Pasal 21 atas jasa tenaga ahli (dokter) kemudian neto setelah dipotong PPh dibagi dua, yaitu untuk klinik dan untuk dokter.

Untuk dokter akan dihitung kembali di SPT Tahunan OP dokter masing-masing dan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh klinik akan dikreditkan oleh dokter. Jika masih ada yang kurang bayar maka akan dibayar sendiri oleh dokter (PPh Pasal 29). Sedangkan penghasilan klinik akan diperhitungkan kembali di SPT PPh Tahunan Badan.

[4] Pembelian alat2 pendukung
Jawaban saya sama seperti pertanyaan no. [1] diatas. Peralatan pendukung klinik merupakan barang kena pajak karena itu, pada saat beli wajib bayar PPN dan PPN yang telah dibayar tersebut tidak dapat dikreditkan karena usaha klinik termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN.

[5] Pembayaran gaji kepada karyawan
Klinik wajib memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang melebihi PTKP. Besaran PTKP untuk tahun 2007 sama dengan tahun 2006 yaitu :
1. WP tidak Kawin dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 13,200,000
2. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 14,400,000
3. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 15,600,000
4. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 16,800,000
5. WP Kawin, dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 14,400,000
6. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 15,600,000
7. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 16,800,000
8. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 18,000,000

[6] Sewa tempat praktek
Klinik wajib memotong PPh sebesar 10% dari total biaya sewa baik sewa itu diterima oleh WPOP maupun diterima oleh WP Badan. Hal ini berdasarkan PP No. 5 tahun 2002.

Tuesday, September 18, 2007

PPh Pasal 25


Selamat Pagi...Iva mau tanya lagi mengenai SPT Tahunan, Poin F.ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALANa. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, bagi Wajib Pajak pada umumnya, adalah berdasarkan penghasilan teratur menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu; Bagaimana penghasilan yang menjadi dasar perhitungan angsuran pd SPT Tahunan th 2006, Jika perusahaan tersebut baru berdiri pd Oktober th 2006 ?
Terima kasih...
iva_maniest@yahoo.com

Jawaban saya :
Secara umum, rumusan penghitungan PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu : Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan kredit pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24. Hasilnya dibagi 12 (dua belas).

Tetapi rumusan tersebut tidak dapat diterapkan untuk Wajib Pajak dengan �hal-hal tertentu� sebagaimana diatur Pasal 25 ayat (6) UU PPh 1984 :
[1] Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
[2] Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
[3] Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
[4] Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
[5] Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
[6] Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Pertanyaan diatas tidak berkaitan dengan hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud diatas. Selain hal-hal tertentu, ada juga pengaturan PPh Pasal 25 atas Wajib Pajak tertentu, yaitu : Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, BUMD, dan OP pengusaha tertentu, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.

Jika berkaitan dengan Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, dan BUMD maka bisa dilihat di postingan saya terdahulu. Tetapi kasus yang ditanyakan adalah PPh Pasal 25 tahun 2007.

Ini bukan Wajib Pajak baru karena Wajib Pajak tersebut sudah membuat SPT Tahunan tahun 2006 sementara Wajib Pajak baru maksudnya adalah Wajib Pajak yang baru berdiri pada tahun berjalan dan belum membuat SPT Tahunan. Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru dengan menghitung penghasilan neto sebulan yang disetahunkan hanya cocok untuk PPh Pasal 25 tahun 2006, yaitu PPh Pasal 25 untuk bulan Nopember dan Desember 2006 sampai dengan Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan tahun 2006 (asumsi SPT paling lambat disampaikan bulan Maret 2007).

Dan di SPT Tahunan tahun 2006 ada perhitungan PPh Pasal 25 untuk PPh Pasal 25 tahun 2007. Penghitungan ini akan jadi acuan untuk penghitungan PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Cara perhitungan inilah yang dipertanyakan. Mungkin karena pada tahun 2006, penghasilan yang dilaporkan di SPT hanya 3 (tiga) bulan saja.

Jawaban saya ada dua : pertama, jika WP tersebut orang pribadi dengan usaha toko/gerai, dan kedua WP badan atau WP orang pribadi selain yang pertama. Berikut ini uraian lebih lanjut jawaban saya.

Pasal 1 KEP-547/PJ./2000, �Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai tempat usaha termasuk cabang yang tersebar di beberapa tempat baik dalam satu maupun beberapa wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak.�

Kemudian, Pasal 1 ini dirubah dengan KEP-171/PJ./2002, hingga berbunyi, �Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.� Menurut Keputusan Dirjen Pajak yang terakhir ini, PPh Pasal 25 untuk setiap setiap gerai adalah 2% dari total omset (peredaran usaha bruto). Inilah jawaban pertama!

Jawaban pertama diatas tidak bisa diterapkan untuk Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi dengan usaha lain. Karena kasus yang ditanyakan bukan hal-hal tertentu dan bukan Wajib Pajak tertentu, maka berlaku ketentuan umum sebagai diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984. Inilah jawaban kedua! Untuk lebih jelas, saya berikan contoh dengan angka-angka.

PT �X� berdiri dan memulai usaha sebagai jasa konsultasi pada bulan Oktober 2006. Pada bulan Oktober 2006 ini tentu saja tidak ada kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 karena pembayaran PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 dibayar pada bulan Nopember 2006. Berikut penghasilan kena pajak yang dibukukan PT �X� setiap bulan : Oktober 2006 sebesar Rp.1.000.000, Nopember 2006 Rp. 1.500.000, dan Desember 2006 sebesar Rp.2.500.000,-

Penghitungan PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.000.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.100.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 Nopember 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.150.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 Desember 2006 sebagai berikut: ((Rp.2.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.250.000,-

Penghitungan PPh Pasal 25 tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000. Rumusannya diatur di Pasal 2 ayat (1), �Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).�

Penghasilan neto yang dikalikan dengan tarif umum adalah penghasilan neto menurut pembukuan �setiap bulan� berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf a Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.

Dengan pembayaran PPh Pasal 25 seperti diatas, maka SPT Tahunan tahun 2006 akan menjadi SPT Nihil. Perhitungannya sebagai berikut:
Penghasilan kena pajak selama 3 bulan sebesar Rp. 5.000.000,- dikalikan tarif umum 10%, maka PPh terutang Rp.500.000,- Perhitungan PPh terutang ini sama persis dengan kredit pajak PPh Pasal 25 diatas.

Besarnya PPh Pasal 25 bulan Januari 2007 sampai dengan Maret 2007 sama dengan pembayaran PPh Pasal 25 bulan Desember 2006 yaitu sebesar Rp.250.000,- Hal ini berdasarkan Pasal 25 ayat (2) UU PPh 1984, �Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.�

Kemudian, berdasarkan PPh terutang tahun pajak 2006, PPh Pasal 25 tahun berjalan sebesar Rp.41.667,- yaitu PPh terutang tahun pajak 2006 sebesar Rp.500.000,- dibagi 12 (dua belas). Hal ini sesuai dengan rumusan di Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984.

PPh Pasal 25 sebesar Rp.41.667,- adalah PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Penurunan PPh Pasal 25 tersebut adalah konsekuensi dari Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu �menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu� padahal SPT tahun lalu itu hanya 3 (bulan) bulan. Berbeda dengan rumusan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru, yaitu �disetahunkan�. SPT Tahunan menghitung pajak yang benar-benar diperoleh (sebenarnya). Sedangkan penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru menghitung pajak dengan �norma� atau �deem�. Disebut norma karena penghasilan kena pajak yang jadi dasar pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak yang disetahunkan, bukan yang benar-benar terjadi :) (mudah-mudahan tidak bingung).

Demikian dan mudah-mudahan jadi lebih jelas.

Sunday, September 16, 2007

Layanan Unggulan

JANJI PELAYANAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENDAFTARAN NPWP

Jangka Waktu Penyelesaian: 1 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.
Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada biaya.
Persyaratan Administrasi:
[A.] Persyaratan NPWP untuk WP Orang Pribadi yg tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas :
[1] Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor;
[2] Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa bagi orang asing.

[B.] Persyaratan NPWP untuk WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas :
[1.] Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor
[2.] Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang- kurangnya lurah atau kepala desa bagi orang asing.
[3.] Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.

[C.] Persyaratan NPWP untuk WP Badan
[1.] Fotocopy Akte Pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap;
[2.] Fotocopy KTP salah seorang pengurus, atau Paspor disertai Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa bagi orang asing;
[3.] Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
Catatan:
Dalam hal pemohon berstatus cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta, cukup melampirkan Fotocopy kartu NPWP atau Bukti Pendaftaran WP Kantor Pusatnya.

[D.] Persyaratan NPWP untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong
[1.] Fotocopy surat penunjukan sebagai bendaharawan;
[2.] Fotocopy tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.

[E.] Persyaratan NPWP untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong
[1.] Fotocopy Perjanjian Kerjasama sebagai Joint Operation;
[2.] Fotocopy Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota Joint Operation;
[3.] Fotocopy KTP salah seorang pengurus, atau Paspor disertai Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa bagi orang asing.


[F.] NPWP untuk KPS/PSC
[1.] Formulir pendaftaran dan perubahan data WP (KP.PDIP.4.1-00) yang telah diisi, ditandatangani dan dilampiri:
[2.] Fotocopy KTP/paspor Pimpinan/ Penanggungjawab BUT;
[3.] Fotocopy IKTA Pimpinan/Penanggungjawab BUT;
[4.] Fotocopy Surat Keterangan Domisili;
[5.] Fotocopy Surat Persetujuan dari BP Migas;
[6.] Fotocopy Certificate of Incorporation Of Offshore Company,
[7.] Fotocopy PSC Contract;
[8.] Fotocopy Assignment Agreement between Operator and Share Holder (bila ada);
[9.] Fotocopy Farm In Farm Out Agreement (bila ada);
[10.] Fotocopy Sales and Purcase Agreement (bila ada);
[11.] Asli Surat Kuasa dengan materai secukupnya bagi Pengurus yang diwakili (bila ada).


JANJI PELAYANAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)

Jangka Waktu Penyelesaian: 3 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.
Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada biaya.
Persyarata Administrasi:
[A.] Persyaratan NPPKP untuk WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
[1.] Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor
[2.] Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa bagi orang asing.
[3.] Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.

[B.] Persyaratan NPPKP untuk WP Badan
[1.] Fotocopy Akte Pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap;
[2.] Fotocopy KTP salah seorang pengurus, atau Paspor disertai Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing;
[3.] Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.

[C.] Persyaratan NPPKP untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong
[1.] Fotocopy surat penunjukan sebagai bendaharawan;
[2.] Fotocopy tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.

[D.] Persyaratan NPPKP untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong
[1.] Fotocopy Perjanjian Kerjasama sebagai Joint Operation;
[2.] Fotocopy Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota Joint Operation;
[3.] Fotocopy KTP salah seorang pengurus, atau Paspor disertai Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.

[E.] NPPKP untuk KPS/PSC
[1.] Formulir pendaftaran dan perubahan data WP (KP.PDIP.4.1-00) yang telah diisi, ditandatangani dan dilampiri:
[2.] Fotocopy KTP/paspor Pimpinan/ Penanggungjawab BUT;
[3.] Fotocopy IKTA Pimpinan/Penanggungjawab BUT;
[4.] Fotocopy Surat Keterangan Domisili;
[5.] Fotocopy Surat Persetujuan dari BP Migas;
[6.] Fotocopy Certificate of Incorporation of Offshore Company,
[7.] Fotocopy PSC Contract;
[8.] Fotocopy Assignment Agreement between Operator and Share Holder (bila ada);
[9.] Fotocopy Farm In Farm Out Agreement (bila ada);
[10.] Fotocopy Sales and Purcase Agreement (bila ada);
[11.] Asli Surat Kuasa dengan materai secukupnya bagi Pengurus yang diwakili (bila ada).


JANJI PELAYANAN PENYELESAIAN PERMOHONAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Jangka Waktu Penyelesaian: Peraturan Dirjen Pajak No. PER-122/PJ/2006
[A.] 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap, dalam hal permohonan pengembalian diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang memiliki risiko rendah. Kegiatan Tertentu adalah kegiatan ekspor Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

[B.] 4 (empat) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap, dalam hal permohonan pengembalian diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a (selain yang memiliki risiko rendah);

[C.] 12 (dua belas) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap, dalam hal permohonan pengembalian diajukan oleh :
[c.1.] Pengusaha Kena Pajak lainnya (selain Pengusaha Kena Pajak dengan kriteria tertentu dan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu); atau
[c.2.] Pengusaha Kena Pajak yang semula memiliki risiko rendah yang berdasarkan hasil pemeriksaan masa pajak sebelumnya ternyata diketahui memiliki resiko tinggi, dilakukan pemeriksaan lengkap baik satu, beberapa, maupun seluruh jenis pajak.

Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada biaya.

Persyaratan Administrasi:
Permohonan disampaikan Wajib Pajak dengan cara:
[a.] mengisi kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN; atau
[b.] dengan surat tersendiri.

Permohonan harus dilampiri dengan:
[a.] Dalam hal penyerahan BKP/JKP atau pemanfaatan JLN dilampiri dengan FP Keluaran dan FP Masukan termasuk dokumen pendukung: Faktur penjualan/ pembelian; Bukti pengiriman/penerimaan barang; Bukti pembayaran/ penerimaan uang.

[b.] Dalam hal impor BKP dilampiri dengan PIB dan SSPCP; Laporan Pemeriksaan Surveyor/LPS jika diwajibkan; Surat Kuasa/dokumen lain dari PPJK dalam hal pengurusan dikuasakan kepada PPJK.

[c.] Dalam hal ekspor BKP dilampiri dengan PEB; Instruksi pengangkutan (B/L) dan packing list; Fotokopi wesel ekspor/bukti penerimaan uang, atau fotokopi L/C yang telah dilegalisasi; Polis asuransi asli/fotokopi yg telah dilegalisasi; Sertifikasi dari instansi terkait, jika diwajibkan.

[d.] Dalam hal penyerahan kepada pemungut dilampiri dengan Kontrak/SPK/surat pesanan atau dokumen sejenis; SSP.

Catatan:
Dalam hal produk hukum yang diterbitkan berupa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), proses berlanjut ke SOP Pelayanan Penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP)


JANJI PELAYANAN PENERBITAN SURAT PERINTAH MEMBAYAR KELEBIHAN PAJAK (SPMKP)

Jangka Waktu Penyelesaian: 3 (tiga) minggu sejak SKPLB diterbitkan atau 3 (tiga) minggu sejak permohonan diterima lengkap.
Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada.
Persyaratan Administrasi:
[a.] Permohonan disampaikan Wajib Pajak dengan menyampaikan nama bank penerima dan nomor rekening Wajib Pajak;
[b.] Pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak harus diperhitungkan dahulu dengan utang pajak (pusat maupun cabang-cabangnya);
[c.] Kelebihan tersebut juga dapat diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau utang pajak atas nama WP lain dengan persetujuan WP;
[d.] Perhitungan di atas dilakukan dengan pemindahbukuan (dapat dilihat pada pelayanan Pemindahbukuan).


JANJI PELAYANAN PENYELESAIAN PERMOHONAN KEBERATAN PENETAPAN PAJAK

Jangka Waktu Penyelesaian: 9 (sembilan) bulan sejak tanggal diterima permohonan lengkap.
Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada biaya.
Persyaratan Administrasi:
[a.] Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
[b.] Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP;
[c.] Mengemukakan alasan-alasan yang jelas dan lengkap;
[d.] Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB/SKPKBT/SKPN/SKPLB atau tanggal pemotongan/pemungutan pajak, kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
[e.] Satu surat keberatan diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak (satu skp atau pemotongan/pemungutan pajak) dengan melampirkan fotokopi skp atau bukti pemotongan/pemungutan pajak yang diajukan keberatan;
[f.] Ditandatangani oleh Pengurus. Dalam hal ditandatangani oleh kuasa, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus bermeterai.

Catatan: Berdasarkan Lampiran II Peraturan Dirjen Pajak No. PER-165/PJ/2005 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Dirjen Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Ditjen Pajak mengenai Wewenang Dirjen Pajak yang Dilimpahkan Kepada Para Pejabat di Lingkungan Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus dan Kanwil Ditjen Pajak Wajib Pajak Besar, menyatakan bahwa penerbitan Keputusan atas keberatan yang diajukan oleh WP sehubungan dengan ketetapan Pajak dilimpahkan kepada Kepala Kanwil, kecuali atas keberatan sehubungan dengan ketetapan hasil pemeriksaan Pejabat Fungsional Pemeriksa Kantor Pusat dan Kanwil Ditjen Pajak.


JANJI PELAYANAN PENYELESAIAN PEMBERIAN IJIN PRINSIP PEMBEBASAN PPh Ps. 22 IMPOR

Jangka Waktu Penyelesaian: 3 (tiga) minggu sejak surat permohonan diterima lengkap.
Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada biaya.
Persyaratan Administrasi:
[a.] Perhitungan PPh terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima;
[b.] Rencana impor dan fotokopi masterlist yang masih berlaku untuk pembebasan PPh Pasal 22 Impor barang modal, realisasi impor untuk perpanjangan SKB PPh Pasal 22 Impor;
[c.] Daftar pemberi penghasilan dan fotokopi SPT Tahunan PPh Badan tahun sebelumnya.


JANJI PELAYANAN PENYELESAIAN SURAT KETERANGAN BEBAS (SKB) PEMUNGUTAN PPh Ps. 22 IMPOR

Jangka Waktu Penyelesaian: 5 (lima) hari kerja sejak surat permohonan diterima lengkap.
Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada biaya.
Persyaratan Administrasi: Dokumen Impor
- Catatan: Wajib Pajak masih mempunyai kuota sesuai ijin prinsip yang telah dikeluarkan.


JANJI PELAYANAN PENYELESAIAN PERMOHONAN WP ATAS PENGURANGAN PBB

Jangka Waktu Penyelesaian:
2 (dua) bulan sejak surat permohonan diterima lengkap.
Biaya atas Jasa Pelayanan: Tidak ada biaya
Persyaratan Administrasi:
[a.] Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan;
[b.] Permohonan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung:
[b.1.] Sejak Tanggal diterimanya SPPT atau SKP; atau
[b.2.] Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa
[c.] Telah melunasi PBB untuk tahun sebelumnya atas obyek pajak yang sama
[d.] Permohonan dilampiri:
[d.1.] Untuk perorangan:
[d.1.1.] Fotocopy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangan;
[d.1.2.] Fotocopy Kartu Tanda Anggota Veteran, bagi anggota Veteran.
Catatan: Permohonan dapat diajukan secara kolektif

[d.2.] Untuk Wajib Pajak Badan:
[d.2.1.] Fotocopy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangan;
[d.2.2.] Fotocopy SPT PPh tahun pajak terakhir beserta lampirannya;
[d.2.3.] Laporan Keuangan.


[layanan unggulan ini mulai berlaku sejak 1 Agustus 2007 berdasarkan SE-37/PJ/2007]

Pokok-pokok Perubahan Ketiga UU KUP

PASAL 1

Penambahan beberapa definisi meliputi:
1. Pajak;
2. Bukti permulaan;
3. Pemeriksaan bukti permulaan;
4. Penyidik;
5. Putusan gugatan;
6. Putusan Peninjauan Kembali;
7. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
8. Tanggal dikirim; dan
9. Tanggal diterima.

PASAL 2
PEMBERIAN NPWP dan NPWP

Ketentuan sebelumnya :
[1] Kewajiban perpajakan dimulai sejak WP memenuhi persyaratan subjektif dan objektif belum diatur secara tegas.
[2] Wanita
kawin yang dapat memperoleh NPWP hanya wanita kawin yang �hidup terpisah� atau �pisah penghasilan dan harta secara tertulis� dari suaminya.
Perubahan :
[1] Diatur secara tegas bahwa kewajiban perpajakan WP dimulai sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
[2] Wanita kawin yang tidak pisah harta dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP sebagai sarana untuk memenuhi hak dan kewajiban perpajakan atas namanya sendiri.


PASAL 3
SURAT PEMBERITAHUAN

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT hanya secara manual.
[2] Batas akhir penyampaian semua SPT Tahunan PPh paling lambat 3 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
[3] Perpanjangan SPT dengan permohonan dan harus dengan persetujuan Dirjen Pajak.
Perubahan :
[1] Pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT dapat secara manual dan elektronik.
[2] Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh badan paling lambat 4 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
[3] Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT cukup dengan pemberitahuan.

PASAL 7
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA

Ketentuan sebelumnya :
Denda keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT:
[1] SPT Masa Rp 50 ribu;
[2] SPT Tahunan Rp 100 ribu.
Perubahan :
[1] SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100 ribu;
[2] SPT Tahunan PPh badan Rp 1 juta;
[3] SPT Masa PPN Rp 500 ribu;
[4] SPT Masa Lainnya Rp 100 ribu.


PASAL 8
PEMBETULAN SPT

Ketentuan sebelumnya :
[1] Paling lama 2 (dua) tahun setelah Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, Tahun Pajak, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
[2] Sanksi administrasi pembetulan SPT dengan kemauan Wajib Pajak sendiri setelah Pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan 200%.
Perubahan :
[1] Sampai dengan daluwarsa, kecuali untuk SPT Rugi atau SPT Lebih Bayar paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
[2] Sanksi administrasi atas pembetulan SPT dengan kemauan Wajib Pajak sendiri setelah Pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan 150%.

PASAL 9 dan PASAL 10
PEMBAYARAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pembayaran pajak yang dianggap sah belum diatur secara tegas. (Pasal 10)
[2] Kekurangan pajak berdasarkan SPT Tahunan dibayar paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. (Pasal 9)
[3] Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk semua Wajib Pajak paling lama 1 bulan. (Pasal 9)
Perubahan :
[1] Penegasan bahwa pembayaran pajak di tempat yang ditentukan Menteri Keuangan adalah sah apabila telah disahkan oleh pejabat pada tempat pembayaran tersebut. (Pasal 10)
[2] Kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan. (Pasal 9)
[3] Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan. (Pasal 9)


PASAL 13A
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA KENAIKAN

Ketentuan sebelumnya :
Sanksi administrasi untuk kealpaan yang pertama dilakukan Wajib Pajak, tidak diatur.
Perubahan :
Kealpaan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.


PASAL 14
DASAR PENERBITAN SPT

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pelaporan faktur pajak yang tidak sesuai dengan masa penerbitan tidak diatur.
[2] Pengusaha yang gagal berproduksi dan telah mengkreditkan Faktur Pajak Masukan tidak diatur khusus.
[3] Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak dikenai sanksi administrasi dengan STP.
Perubahan :
[1] Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak dikenai sanksi.
[2] Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan diwajibkan membayar kembali.
[3] Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak, tidak dikenai sanksi administrasi tetapi dikenai sanksi pidana.


PASAL 16
PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
Batas akhir penyelesaian pembetulan 12 bulan.
Perubahan :
[1] Batas akhir penyelesaian pembetulan 6 bulan.
[2] Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak.


PASAL 17B
PENYELESAIAN SPT LB

Ketentuan sebelumnya :
Batas akhir pemeriksaan SPT LB bagi Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tidak diatur khusus.
Perubahan :
Batas akhir pemeriksaan SPT LB tertunda bila WP terhadap dilakukan pemeriksaan bukti permulaan.


PASAL 17C & 17D
PERCEPATAN RESTITUSI

Ketentuan sebelumnya :
Hanya untuk Wajib Pajak Patuh.
(paling lama 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN)
Perubahan :
[1] Untuk Wajib Pajak Patuh; dan
[2] Untuk Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (WP beresiko rendah, seperti pengusaha kecil dan Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari satu pemberi kerja).


PASAL 17E
RESTITUSI PPN UNTUK TURIS ASING

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur
Perubahan :
Dapat diberikan Restitusi PPN atas pembelian barang bawaan oleh wisatawan mancanegara.


PASAL 13 dan PASAL 22
DALUARSA PENETAPAN dan PENAGIHAN

Ketentuan sebelumnya :
Untuk penetapan dan penagihan:
10 (sepuluh) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Perubahan :
[1] Untuk penetapan:
5 (lima) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
[2] Untuk penagihan:
5 (lima) tahun sejak penerbitan penetapan pajak.


PASAL 21
HAK MENDAHULUI

Ketentuan sebelumnya :
Hak mendahulu untuk melakukan penagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya. Selama ini dibatasi 2 tahun setelah penyampaian Surat Paksa.
Perubahan :
Hak mendahulu diubah menjadi sampai dengan daluwarsa penagihan pajak.


PASAL 23
GUGATAN

Ketentuan sebelumnya :
Yang dapat digugat (objek gugatan):
[1] Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
[2] Semua Keputusan selain Pasal 25 dan Pasal 26;
[3] Pasal 16 dan Pasal 36 yang berkaitan dengan STP.
Perubahan :
Ditambahkan:
[1] Keputusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak.
[2] Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang tidak sesuai dengan prosedur.


PASAL 25
KEBERATAN

Ketentuan sebelumnya :
[1] Proses penyelesaian keberatan belum diatur.
[2] Keberatan diajukan harus dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak.
[3] Data/informasi yang dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan tidak diatur secara khusus.
[3] Keberatan tidak menunda kewajiban pembayaran dan penagihan pajak.
Perubahan :
[1] Wajib Pajak berhak untuk memperoleh hasil penelitian keberatan dan hadir untuk memberikan keterangan dan menerima penjelasan dalam pembahasan keberatan.
[2] Keberatan diajukan harus dalam jangka waktu 3 bulan sejak surat ketetapan pajak dikirim.
[3] Data/informasi yang pada saat pemeriksaan masih berada pada pihak ketiga, dapat dipertimbangkan.
[4] Wajib Pajak membayar ketetapan pajak paling sedikit sejumlah pajak yang disetujui oleh Wajib Pajak.
[5] Jangka waktu pelunasan pajak tertangguh.
[6] Jumlah pajak yang diajukan keberatan belum merupakan utang pajak.
[7] Apabila Wajib Pajak kalah dan masih harus membayar kekurangan pajak, dikenai denda 50%.


PASAL 27
BANDING

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur secara khusus
Perubahan :
[1] Jumlah pajak yang diajukan banding belum merupakan utang pajak sehingga tidak ditagih dengan surat paksa.
[2] Apabila Wajib Pajak kalah, dikenai denda sebesar 100% dari pajak yang belum dilunasi.
[3] Wajib Pajak berhak memperoleh keterangan secara tertulis mengenai dasar keputusan keberatan.


PASAL 27A
IMBALAN BUNGA

Ketentuan sebelumnya :
Surat Keputusan Keberatan dan putusan banding yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan, hanya atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Perubahan :
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan, Surat Keputusan Pengurangan dan Surat Keputusan Pembatalan atas surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak, serta Surat Keputusan Keberatan, putusan banding, putusan Peninjauan Kembali atas surat ketetapan pajak, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.


PASAL 28
PEMBUKUAN

Ketentuan sebelumnya :
Kewajiban menyimpan data pembukuan yang dikelola secara elektronik belum diatur.
Perubahan :
Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara elektronik atau program aplikasi online wajib menyimpan soft copy di Indonesia selama 10 tahun.


PASAL 29
PEMERIKSAAN

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak belum diatur secara tegas.
[2] Prosedur pemeriksaan belum diatur secara tegas di dalam batang tubuh Undang-Undang.
[3] Keharusan penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan pembahasan akhir (closing conference) hanya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1] Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak diatur secara tegas.
[2] Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak meminjamkan atau memperlihatkan dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan, pajaknya dapat dihitung secara jabatan.
[3] Dokumen untuk pemeriksaan wajib dipenuhi paling lambat satu bulan.
[4] Prosedur pemeriksaan mengenai penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan hak WP untuk hadir dalam pembahasan akhir (closing conference), dimuat dalam batang tubuh UU.
[5] Bila pemeriksaan tidak memenuhi prosedur ini, maka hasil pemeriksaan dibatalkan.


PASAL 29A
WAJIB PAJAK TERBUKA (GO PUBLIC)

Ketentuan sebelumnya :
Belum diatur secara tegas
Perubahan :
Wajib Pajak Go-Public yang laporan keuangannya Wajar Tanpa Pengecualian, dapat dilakukan pemeriksaan cukup dengan pemeriksaan kantor apabila Wajib Pajak tersebut termasuk dalam kriteria yang harus diperiksa.


PASAL 35A
AKSES DATA

Ketentuan sebelumnya :
Terbatas pada adanya kegiatan pemeriksaan pajak.
Perubahan :
[1] Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak;
[2] Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan dikenakan sanksi pidana penjara dan denda.


PASAL 36
PENGURANGAN dan PEMBATALAN KETETAPAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
[1] Dilakukan terhadap ketetapan pajak yang tidak benar;
[2] Jangka waktu penyelesaian paling lama 12 bulan.
Perubahan :
[1] Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
[2] Mengurangkan atau membatalkan STP yang tidak benar;
[3] Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak yang dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur;
[4] Batas akhir Jangka waktu penyelesaian paling lama 6 bulan.


PASAL 16
PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
[1] Yang dapat dibetulkan adalah skp, STP, SK Keberatan, SK Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, SK Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar atau SKPPKP.
[2] Jangka waktu penyelesaian paling lama 12 bulan.
Perubahan :
[1] Menambahkan produk hukum yang dapat dibetulkan, yaitu SK Pembetulan, Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
[2] Memecah produk hukum yang dapat dibetulkan, yaitu SK Pengurangan atau Pembatalan ketetapan pajak menjadi SK Pengurangan Sanksi Administrasi dan SK Penghapusan Sanksi Administrasi serta SK Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak menjadi SK Pengurangan Ketetapan Pajak dan SK Pembatalan Ketetapan Pajak.
[3] Jangka waktu penyelesaian paling lama 6 bulan.
[4] Apabila permintaan WP ditolak atau diterima sebagian, diberikan alasan.


PASAL 36A
SANKSI BAGI PETUGAS PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
Sanksi bagi petugas pajak yang melakukan penyalahgunaan wewenang diatur secara umum.
Perubahan :
[1] Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi.
[2] Pegawai pajak yang dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan dan dikenai sanksi.
[3] Pegawai pajak yang terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri dipidana berdasarkan KUHP.
[4] Pegawai pajak yang memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana berdasarkan UU Tipikor.
[5] Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


PASAL 36B
KODE ETIK PEGAWAI

Ketentuan sebelumnya :
Diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1] Pegawai DJP wajib mematuhi Kode Etik.
[2] Pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran Kode Etik dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


PASAL 36C
KOMITE PENGAWAS PERPAJAKAN

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur.
Perubahan :
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


PASAL 37A
SUNSET POLICY

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur.
Perubahan :
[1] WP yang membetulkan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2007 selama masa 1 (satu) tahun setelah diberlakukannya UU, diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
[2] Wajib Pajak Orang Pribadi yang dengan sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) tahun setelah diberlakukannya UU ini diberi kemudahan:
[2.a.] diberikan penghapusan sanksi administrasi
[2.b.] Tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data yang menyatakan bahwa SPT Wajib Pajak tidakbenar.


PASAL 39A
SANKSI PIDANA

Ketentuan sebelumnya :
Pidana atas penerbit dan pengedar Faktur Pajak fiktif dan setoran pajak fiktif belum diatur.
Perubahan :
Penerbit, pengguna, pengedar Faktur Pajak fiktif, dan/atau bukti pemungutan dan/atau bukti pemotongan pajak fiktif (bermasalah), diancam pidana penjara dan pidana denda;


PASAL 41A
SANKSI PIDANA

Ketentuan sebelumnya :
Belum mengatur kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Perubahan :
Setiap orang dari asosiasi, instansi dan lembaga Pemerintah, dan pihak ketiga yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak, termasuk pihak yang menyebabkan tidak terpenuhinya data dan informasi dimaksud dikenai sanksi pidana.

KONSTRUKSI SANKSI PIDANA

Ketentuan sebelumnya :
Sanksi pidana atas Tindak Pidana di bidang perpajakan hanya dikenakan sanksi maksimal.
Perubahan :
Beberapa sanksi pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi minimal dan maksimal.

PASAL 44
KETENTUAN PENYIDIKAN

Ketentuan sebelumnya :
Belum dijelaskan secara tegas mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan hal-hal yang dapat dilakukan penyitaan.
Perubahan :
[1] Yang menyidik hanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
[2] Penyitaan dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga, milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, atau pihak-pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Thursday, September 13, 2007

Bayar Pajak Jangan Via Perantara!

Pertengahan Agustus 2007 kemarin, aparat polisi dari Polresta Bandung Tengah bekerja sama dengan Kanwil DJP Jawa Barat I telah membongkar �sebagian� jaringan sindikat pemalsuan dokumen perpajakan terutama SSB. Laporan pertama memang hanya pemalsuan SSB tetapi perkembangan selanjutnya, terutama setelah pendalaman kasus, ternyata bukan hanya SSB tetap juga pemalsuan SSP Final atas penjualan tanah dan atau bangunan. Selain itu, sejak kasus itu sering diberitakan di media cetak, banyak Wajib Pajak yang melaporkan �keraguan� keaslian bukti setoran PBB.

Ini pelajaran penting bagi Wajib Pajak dan kantor pajak. Setelah didalami, �salah satu� penyebabnya adalah kelemahan system administrasi perpajakan di KP PBB. Untuk kasus SSB, kantor pajak sangat pasif dan haya menerima laporan penerimaan SSB dari bank penerima setoran. Selain itu, adanya kelambatan pelayanan untuk validasi SSB, padahal Wajib Pajak biasanya tidak sabaran, pingin cepat selesai urusan. Padahal untuk memvalidasi SSB tersebut, kantor pajak harus mencocokkan dengan rekening koran dari bank penerima setoran. Rekening koran sendiri, sering kali tidak setiap hari dikirim oleh bank. Prakteknya kadang dikirim mingguan. Karena itu, proses validasi juga terhambat.

Kelambatan pelayanan dan ketidaksabaran Wajib Pajak kemudian memunculkan ide-ide �kreatif� dari sebagian kecil orang untuk memproses SSB secara CEPAT dan MURAH. Mereka tidak perlu menempuh prosedur yang seharusnya, tetapi langsung MEMALSUKAN dokumen. Cepat karena tidak perlu ada konfirmasi. Murah karena bisa dengan �diskon� dari yang seharusnya. Misalnya, di SSB terutang BPHTB Rp.100.000.000,,- tetapi lewat OKNUM bisa bayar hanya Rp.50.000.000,- saja!!! Bagaimana bisa?

Uang tersebut sebenarnya tidak dibayarkan di bank dan SSB tidak divalidasi oleh kantor pajak! Tetapi di SSB ada tanda terima dari bank, cap bank, tanda tangan teller dan lengkap dengan tanda tangan serta nomor agenda validasi dari KP PBB. Tetapi semua itu dipalsukan.

Modus yang sama untuk SSP Final atas penjualan tanah dan atau bangunan. Semua dipalsukan termasuk tanda terima dari KPP (warna kuning). Tanda terima tersebut mungkin untuk meyakinkan Wajib Pajak jika SSP tersebut sudah dilaporkan ke KPP. Padahal, baik stempel bank, tanda tangan teller, dan tanda terima dari KPP semua dipalsukan. Semua dikerjakan dirumah!!! Home industry he .. he .. he ..

Surat Setoran PBB juga banyak yang dipalsukan. Untuk kasus PBB, motifnya banyak berkaitan dengan harga murah. Banyak yang minta diskon atau tertarik dengan harga diskon PBB. Ini juga dikerjakan dengan home industry. Padahal jika memang Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau alasan lain, Wajib Pajak dapat meminta pengurangan PBB secara resmi. Hanya saja harus lebih �repot� karena Wajib Pajak harus mengirim surat ke kantor pajak, kemudian diproses dan dipertimbangkan. Dan, tidak semuang permohonan dapat dikabulkan. Permohonan pengurangan hanya bisa dikabulkan untuk alasan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

KPP PRATAMA
Sejak September 2007 di wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat, KP PBB dan Karikpa (kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak) dibubarkan. Tepatnya mungkin digabungkan dengan KPP menjadi KPP Pratama. Di KPP Pratama ini tidak ada lagi seksi jenis-jenis pajak. Tidak ada lagi seksi PPh OP, Seksi PPh Badan, Seksi PPN.

Organisasi kantor pajak modern telah dibentuk berdasarkan fungsi-fungsi pelayanan. Karena itu di KPP Pratama yang ada adalah seksi pengawasan dan konsultasi yang mewadahi para AR (account representative), seksi pelayanan, seksi pemeriksaan, seksi penagihan, seksi ekstensifikasi perpajakan, dan seksi PDI (pengolahan data dan informasi).

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 98/KMK.01/2006, AR memiliki tugas :
[a.] melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan wajib pajak;
[b.] bimbingan/himbauan dan konsultasi teknis perpajakan kepada wajib pajak;
[c.] penyusunan profil Wajib Pajak;
[d.] analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi; dan
[e.] melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Kabar baik untuk Wajib Pajak, saya kira, adalah poin huruf [b.] diatas, yaitu bimbingan dan konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib Pajak. Artinya Wajib Pajak jika mengalami kesulitan tentang teknis perpajakan silakan datang langsung ke KPP Pratama menemui AR. Pembagian kerja AR di KPP Pratama berdasarkan wilayah tertentu. Bisa satu jalan tertentu, satu RT, satu RW, atau satu Desa. Tergantung karakteristik daerah wilayah KPP Pratama. Untuk daerah industri atau bisinis mungkin satu AR menangani satu jalan tertentu. Tetapi untuk daerah yang potensi pajaknya kecil, bisa jadi satu AR menangani desa tertentu atau kecamatan tertentu.

Pelayanan PBB juga dilayani oleh AR. Dan PBB dan BPHTB hanya ada di KPP Pratama, tidak ada di KPP Madya, atau kantor pajak (modern) lainnya. Karena itu, untuk mengurus PBB dan BPHTB, silakang langsung menemui AR untuk mendapatkan konsultasi! Jangan lewat perantara!

Satu lagi saran saya, bayarlah pajak langsung ke bank (persepsi) penerima pajak. Jika lewat perantara atau nitip ke orang lain, pastikan jika pembayaran pajak kita telah masuk ke bank / kas negara. Caranya bisa ngecek langsung ke bank, atau tanya ke AR.

Sistem pembayaran pajak sekarang menggunakan sistem MPN (modul penerimaan negara) yang dikembangkan oleh Departemen Keuangan (kabarnya dipersiapkan oleh Ditjen Perbendaharaan Negara). Sistem ini mengharuskan bank penerima pajak ON-LINE dengan KPKN (Kantor Perbendaraan Negara dan Kas Negara). Dan setiap pembayaran pajak akan mendapatkan NTPN. Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) adalah nomor bukti transaksi penerimaan yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara. Nah NTPN inilah yang dapat dikonfirmasikan di AR lewat intranet DJP.

Jangan mau rugi. PBB yang belum masuk ke kas negara akan tetap ditagih oleh kantor pajak. Urusan dengan perantara bukan urusan kantor pajak. Begitu juga dengan SSB yang belum masuk ke kas negara akan tetap ditagih (jika ketahuan belum dibayar). Karena itu, pastikan pajak dibayar di bank persepsi.

Wednesday, September 12, 2007

Pajak atas Bahan Bakar

Dear Pak Raden Suparman, Salam kenal pak.
Terima kasih atas blognya yang sangat membantu pekerjaan saya. ada sedikit pertanyaan mengenai perpajakan pak, dan saya sangat berterima kasih sekali bila bapak berkenan membantu saya. rencananya perusahaan kami (PMA) ingin membuat perusahaan niaga terbatas bahan bakar minyak (salah satu kegiatan usaha hilir migas). dengan cara mengimpor minyak bakar (minyak solar dan minyak bakar) dan langsung menjualnya untuk industri dan end user di Indonesia. yang saya ingin tanyakan adalah pajak apa saja yang terkait dengan kegiatan tersebut.
1. Di dalam kegiatan import (PPH, PPN, Bea Masuk, dll)
2. Penjualan kepada industri dan end user (PPN, PPH, pajak untuk pemerintah daerah, dll)
3. di dalam Pengecualian Pemungutan PPH pasal 22 disebutkan di dalam salah satu butirnya: "Pembayaran untuk pembelian bahan bakar, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos". apa maksud dari kalimat ini? apakah untuk pembelian bahan bakar tidak di kenakan PPH pasal 22?
4. di dalam blog bapak disebutkan tarif final untuk industri migas SPBU swasta sebesar 0.3%, bagaimana perlakuannya jika kita tidak menjualnya melalui SPBU? apakah tetap dikenakan tarif 0.3%?
terima kasih atas tanggapan bapak.

Best Regards,
Soliandou Romdhoni ===========================================================


Salam kenal Pa Romdhoni,
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya. Blog ini saya maksudkan untuk membantu Wajib Pajak mendapatkan informasi kewajiban dan pelayanan perpajakan khususnya pajak yang dikelola oleh DJP. Walaupun begitu, banyak tulisan di blog ini sebenarnya penafsiran pribadi tentang peraturan perpajakan.

Jawaban saya atas pertanyaan diatas, saya yakin, tidak memuaskan, terutama tentang Bea Masuk, dan pajak untuk pemerintah daerah. Tetapi saya harap dapat membantu.

PPh Pasal 22
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf e Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 (dirubah dengan 236/KMK.03/2003) bahwa pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. Bahkan pembebasan tersebut dilakukan secara otomatis, tidak perlu ada SKB (surat keterangan bebas) dari kantor pajak. Pembebasan ini tentunya berlaku baik untuk impor atau pembelian dalam negeri karena keputusan menteri keuangan ini mengatur PPh Pasal 22 baik untuk pembelian barang impor maupun pembelian barang di dalam negeri.

Petunjuk pelaksana KMK ini adalah Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-417/PJ./2001 dan ketentuan diatas tetap dicantumkan. Tetapi di KEP ini ada ketentuan Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas.

Apa maksud Pasal 3 ayat (1) huruf e Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001, terutama dihubungkan kewajiban pemungutan PPh Pasal 22? Satu sisi membebaskan memungut atas pembelian, tetapi satu sisi mewajibkan memungut atas penjualan? Padahal kalau ada pembelian, dilawan transaksi pasti merupakan penjualan? Itulah pertanyaan yang saya tangkap dari email Pa Romdhoni. Dan, jawaban saya sebagai berikut:

Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 adalah peraturan pelaksana dari Pasal 22 UU PPh 1984. Keputusan menteri keuangan ini menentukan siapa-siapa yang menjadi pemungut PPh Pasal 22. Tidak semua Wajib Pajak ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22. Pasal 22 ayat (1) UU PPh 1984 �menugaskan� kepada bendaharawan pemerintah dan badan-badan tertentu untuk memungut PPh ini. Badan-badan tertentu ini diatur di Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 dan 236/KMK.03/2003 , yaitu :
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4.
4. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PTKrakatau Steel, Pertamina, dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN.
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

PPh Pasal 22 pada intinya memungutan PPh pada saat pembelian. Dan, pada awalnya, PPh Pasal 22 dipungut atas setiap �belanja� oleh bendaharawan untuk dana yang berasal dari APBN/APBD, dan atas setiap impor oleh Ditjen Bea dan Cukai. Tetapi tidak setiap belanja oleh bendaharawan harus dipungut PPh Pasal 22. Belanja mana saja yang dikecuali dari pemungutan PPh Pasal 22? Jawabannya ada di Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001.

Artinya, jika ada bendaharawan pemerintah yang �belanja� bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos, maka bendaharawan tersebut tidak boleh memungut PPh Pasal 22. Dan pengecualian tersebut berlaku juga bagi belanja yang dilakukan oleh BUMN dan BUMD baik dananya dari APBN/APBD maupun dana non-APBN/APBD. Dan, tentunya belanja disini dimaksudkan untuk konsumsi, bukan untuk dijual kembali.

Jadi, jawaban atas pertanyaan Pa Romdhoni nomor tiga diatas adalah pembelian bahan bakar minyak untuk konsumsi, bukan pembelian bahan bakar minyak untuk dijual kembali.

Kenapa pengecualian dibatasi hanya untuk konsumsi? Karena khusus untuk bahan bakar minyak PPh Pasal 22 dipungut oleh Pertamina �dan badan lain� yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak, pada saat penjualan. Setiap penjualan bahan bahar minyak yang dilakukan oleh Pertamina, maka Pertamina langsung memungut PPh Pasal 22.

Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan ditingkat Pertamina. Mata rantai setelah Pertamina tidak wajib memungut PPh Pasal 22. Bagaimana jika bahan bakar minyak tersebut bukan berasal dari Pertamina? PPh Pasal 22 tersebut dipungut oleh produsen dan atau importir pada saat penjualan. Nah, perusahaan Pa Romdhoni nampaknya masuk katagori terakhir.

Importir memungut PPh Pasal 22 atas setiap penjualan yang dia lakukan. Penjualan bahan bakar minyak tentu tidak harus lewat SPBU. Bisa langsung ke konsumen industri. Tetapi PPh Pasal 22 tetap dilakukan pemungutan dengan tarif 0,3% dari total penjualan.

Hanya saja, ada perbedaan �status� PPh Pasal 22 tersebut. Jika �konsumen� (maksudnya pembeli) tersebut merupakan penyalur/agen, maka PPh Pasal 22 tersebut bersifat FINAL. Tetapi jika bukan penyalur/agen, maka PPh Pasal 22 tidak final dan dapat dikreditkan di PPh Badan �konsumen� tersebut. Pendapat ini sesuai surat S-54/PJ.43/2006.

PPN
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 144 tahun 2000 bahwa minyak mentah (crude oil) termasuk barang yang tidak dikenakan PPN. Selain minyak mentah berarti termasuk objek PPN dan dikenakan PPN dengan tarif 10% (tarif tunggal).

Saya tidak menemukan pengaturan yang khusus untuk bahan bakar minyak ini. Jadi saya berkesimpulan bahwa pengenaan PPN atas bahan bakar minyak sama seperti BKP lainnya melalui mekanisme PK-PM. Sekarang, Pemungut PPN hanya dibatasi untuk bendaharawan pemerintan dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).

Bea Masuk
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 07/PMK.010/2005 tentang penurunan tarif Bea Masuk bahan bakar minyak tertentu bahwa tarif Bea Masuk atas impor bahan bakar motor sebesar 0%. Jenis bahan bakar-nya antara lain : Bahan bakar motor, premium bertimbal; Bahan bakar motor, premium tanpa timbal; Bahan bakar motor, reguler bertimbal; Bahan bakar motor, reguler tanpa timbal; Bahan bakar motor lainnya, bertimbal; Bahan bakar motor lainnya, tanpa timbale; Bahan bakar pesawat terbang; White spirit; Kerosin lampu; Kerosin lainnya, termasuk vapourising oi; Bahan bakar turbin pesawat terbang (bahan bakar jet); Topped crude.

PBBKB
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah bahwa Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air. Jenis bahan bakar yang menjadi objek adalah bensin, solar, dan bahan bakar gas.

Pemungut PBBKB ini adalah penyedia bahan baker kendaraan bermotor sebesar 5% dari nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor.

Thursday, September 6, 2007

Pajak Waris

BATASAN PENGHASILAN
Warisan adalah harta peninggalan orang (keluarga) yang sudah meninggal. Jika belum meninggal, pemberian dari keluarga disebut hibah. Tulisan ini tentu tidak akan menjelaskan cara pembagian harta waris tetapi membahas aspek perpajakan harta warisan sebagaimana diminta oleh Bu Amalia.

Dilihat dari aspek pajak penghasilan, harta warisan adalah penghasilan bagi ahli waris. Coba kita uraikan pengertian penghasilan yang merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984, �Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun

Bagi ahli waris, warisan adalah tambahan kemampuan ekonomis dan sudah pasti menambah kekayaan Wajib Pajak. Artinya, tidak diragukan lagi jika warisan adalah penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984. Walaupun demikian, di Pasal 4 ayat (3) huruf b UU PPh 1984 mengecualikan warisan sebagai penghasilan. Dengan demikian, walaupun warisan termasuk penghasilan bagi ahli waris, tetapi oleh UU PPh 1984 dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan. Gampangnya sih, bukan objek pajak aja.

KENAPA DIKECUALIKAN?
Pengecualian ini, menurut saya, karena perpindahan harta waris kepada ahli waris bukan merupakan taxable event. Saya sendiri menafsirkan taxable event sebagai transaksi bisnis yang lazim terjadi dalam dunia bisnis. Walaupun warisan sebuah penghasilan bagi yang menerimanya, tetapi karena transaksinya atau perpindahan warisan tersebut bukan taxable event maka warisan bukan objek pajak.

Treatment / perlakuan yang sama juga diberlakukan kepada �hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan�, Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2) UU PPh 1984.

Tidak semua hibah bukan objek pajak. Ada juga hibah yang menjadi objek pajak. Contoh, seorang pembantu yang sudah puluhan tahun �mengabdi� di keluarga seorang Saudagar tiba-tiba diberi hibah oleh si Saudagar, padahal pembantu itu tidak ada hubungan keluarga sedikitpun dengan keluarga si Saudagar. Hibah yang seperti ini objek pajak karena UU PPh 1984 membatasi taxable event sebagai �pemberian dalam satu keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.�

Garis keturunan lurus bisa ke atas, ke bawah, atau ke samping. Ke atas berarti bapak dan ibu kandung, ke bawah berarti anak kandung, ke samping berarti saudara sekandung. Jika hibah tidak ada hubungan keluarga sedarah, maka termasuk objek pajak.

PPN
Saya singgung pengertian Barang Kena Pajak (BKP) menurut Pasal 1 UU PPN 1984. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

Walaupun ada kata-kata � .. yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini� tetapi prakteknya kita selalu berpatokan : semua barang adalah barang kena pajak kecuali yang dikecualikan. Dasar adalah Pasal 4A ayat (1) UU PPN 1984, yaitu �Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.� Artinya, HANYA barang-barang yang disebutkan di PP sajalah yang tidak dikenakan pajak atau bukan objek.

Apakah warisan termasuk BKP? Saya pikir tergantung warisannya. Dan masalahnya bukan di barang tetapi di penyerahan warisan dari �orang meninggal� kepada ahli waris. Objek PPN diatur di Pasal 4 UU PPN 1984. Karena itu, saya kutip pasal ini :
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

Selain itu, di penjelasan Pasal 4 huruf a UU PPN 1984 lebih mengerucut. Ini kutipannya :
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud,
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
.

PENYERAHAN yang menjadi objek PPN adalah penyerahan yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Dikaitkan dengan warisan, penyerahan warisan dari orang meninggal kepada ahli waris jelas bukan penyerahan sebagaimana dimaksud UU PPN. Artinya, warisan bukan objek PPN.

Kesimpulannya, warisan itu bebas PPh dan PPN

BPHTB
Tetapi warisan tidak bebas pajak karena ahli waris yang menerima warisan harus membayar BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan) terutama jika ahli warisnya menerima harta warisan berupa tanah dan atau bangunan dengan nilai diatas tiga ratus juta.

Informasi lebih lanjut, silakan diklik saja :)