Wednesday, February 20, 2008

Kadin: Uji materi UU KUP munculkan ketidakpastian

JAKARTA: Kadin Indonesia keberatan atas judicial review yang diajukan BPK terhadap UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum di dunia usaha dan merusak iklim investasi.

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Sistem Fiskal Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Haryadi Sukamdani menyatakan permintaan BPK agar dapat melakukan pemeriksaan secara bebas dan mandiri terhadap berkas wajib pajak dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pasalnya, BPK akan memiliki wewenang secara bebas untuk memeriksa kembali data wajib pajak yang sudah diperiksa oleh Ditjen Pajak.

"Jika ini [BPK memeriksa wajib pajak secara bebas dan mandiri] besar sekali potensi untuk terjadi dispute [sengketa] karena auditor BPK memiliki persepsi yang berbeda dengan yang digunakan aparat pajak. Di sinilah akan muncul ketidakpastian hukum yang cenderung merugikan dunia usaha," paparnya kemarin.

Dia menuturkan BPK dapat saja beralasan hanya akan memeriksa laporan Ditjen Pajak, tetapi pada praktiknya dia mengkhawatirkan pelaku usaha selaku wajib pajak justru akan terseret untuk jadi objek pemeriksaan.

Haryadi mencontohkan sebuah preseden yang sudah terjadi terkait dengan pemeriksaan yang dilakukan BPK di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Saat memeriksa departemen teknis ini, BPK ternyata juga memeriksa pelaku usaha di sektor pertambangan sebagai alat pembukti dan mencari sumber potensi penerimaan negara.

Yang disesalkan, lanjutnya, hasil temuan BPK disampaikan ke publik dan media tanpa seizin atau pemberitahuan instansi pemerintah terkait dan pelaku usaha. "Bagi dunia usaha ini merugikan, karena rahasia perusahaannya akan diketahui oleh pesaingnya."

Jadi rancu


Dia menambahkan jika pada uji materi atas UU KUP ini BPK menang, sistem penyelesaian sengketa pajak akan rancu. Mata rantai penyelesaian sengketa pajak mulai dari tingkat ditjen pajak, pengadilan pajak, sampai Mahkamah Agung akan rusak karena BPK memiliki wewenang untuk menguji kepatuhan wajib pajak.

"Ketidakpastian hukum ini akan menimbulkan inefisiensi administrasi pajak yang pada akhirnya memunculkan biaya yang lebih tinggi."

Sementara itu, Dirjen Pajak Darmin Nasution sebelumnya menyatakan jika Pasal 34 Ayat (2a) huruf b UU KUP yang disoal oleh BPK tidak membatasi wewenang lembaga ini karena pembatasan yang dimaksud diberikan kepada petugas pajak dan tenaga ahli.

"Perbedaan antara Ditjen Pajak dengan BPK selama ini adalah tentang wewenang memeriksa SPT orang pribadi, bukan penerimaan negara. Kalau penerimaan negara tidak ada hambatan bagi BPK untuk memeriksa," tegasnya.

Uji materi di Mahkamah Konstitusi baru memasuki tahap sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada 5 Februari 2008.


Oleh Ahmad Muhibbuddin
Bisnis Indonesia

 

disalin dari : http://10.23.254.215/web/?page=kadin-uji-materi-uu-kup-munculkan-ketidakpastian

Monday, February 18, 2008

Pemerintah Terapkan Sunset Policy

Investor Daily Indonesia, 15 Februari 2008
JAKARTA, Investor Daily. Untuk meningkatkan penerimaan dan transparansi perpajakan, pemerintah dan DPR telah menggulirkan UU 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Tahun ini, pemerintah akan menerapkan sunset policy.

Kebijakan itu berupa pembebasan sanksi adminitrasi bagi wajib pajak (WP) yang melakukan pembetulan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan.

Bagi WP yang melakukan pembetulan sendiri atas SPT PPh beberapa tahun lalu hingga tahun pajak 2006 dan melakukan pelunasan kekurangan pajak, tidak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangannya,
ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution di Jakarta, Kamis (14/2).

UU KUP memberikan batas waktu untuk dua langkah insiatif dari WP itu hingga 31 Desember 2008. Kebijakan pembebasan denda administrasi juga diberikan kepada,WP yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) namun dengan sukarela mendaftarkan diri mendapatkan NPWP dalam tahun ini.

Terkait surat berharga, pemerintah telah menetapkan kebijakan mengenakan pajak yang sama untuk produk surat perbendaharaan negara (SPN) dan surat utang negara (SUN).

�Kita cocokkan dengan obligasi pemerintah yang lain sehingga tidak kena di muka. Hal ini untuk semua, tidak terkecuali asing, Bank Indonesia, atau yang lainnya,� ujar dia.

Mengenai penggenaan PPh untuk semua produk reksa dana, Darmin belum dapat menjelaskan secara mendalam. Sebab, hal itu masih dalam pembahasan. Usulan itu merupakan kombinasi dari beberapa peraturan.

Awalnya, pemerintah melihat penggenaan pajak untuk pasar modal itu tidak equal treatment namun besarannya hasus difinalkan. �Karena keadaannya mendesak, jadi equal treatment. Hasilnya seperti apa nanti kita lihat karena ini masih berproses,� kata dia. (mar)

Disalin dari : http://10.22.254.215/webxp/index.php?option=com_content&task=view&id=5098&Itemid=236

Perolehan Pajak yang Mengejutkan

Media Indonesia Online 18/02/08 - Tajuk - REFORMASI birokrasi yang dilakukan di lingkungan Departemen Keuangan membuahkan hasil. Perolehan pajak pada 2007 menembus level Rp400 triliun. Sebuah pencapaian yang cukup mengejutkan banyak kalangan. Mengejutkan karena sebelumnya yang berkembang adalah pesimisme. Orang tak yakin bilangan Rp400 triliun bisa diraih. Penyebabnya banyak, setidaknya dua perkara.

Pertama, ekonomi belum bergerak seperti yang diharapkan sehingga target perolehan pajak seperti panggang jauh dari api. Terlalu tinggi, bak di awang-awang. Kedua, buruknya kepercayaan kepada jajaran pajak. Orang tidak percaya bahwa perolehan pajak akan lebih banyak masuk ke kas negara, melainkan bocor ke saku petugas pajak. Namun semua pesimisme itu ternyata dapat diruntuhkan. Sekalipun hanya mencapai 98,5% dari target, perolehan pajak 2007 naik Rp68,18 triliun, yang merupakan kenaikan tertinggi selama lima tahun ini (2002-2007).

Tahun lalu pemerintah memang melakukan langkah besar di Departemen Keuangan, yaitu reformasi birokrasi. Birokrasi dipangkas menjadi ringkas, disertai pula dengan transparansi prosedur dengan diterbitkannya 6.475 standard operating procedures (SOP). Dalam SOP itu diatur dengan detail mekanisme pelayanan, lama pelayanan, serta besarnya biaya pelayanan. Contohnya, untuk mendapatkan NPWP, bukan hanya tidak dikenai biaya, tetapi juga selesai dalam sehari.

Terobosan lain dalam hal pajak, pemerintah membentuk kantor pelayanan pajak berdasarkan jumlah pajak yang dibayar kepada negara. Ada tiga kategori, yaitu besar, madya, dan pratama. Untuk memudahkan dan meningkatkan pelayanan kepada ketiga wajib pajak tersebut, pemerintah lalu membentuk tiga Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, 28 Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan 172 Kantor Pelayanan Pajak Pratama.

Tetapi reformasi birokrasi itu hanya cantik di atas kertas bila tidak disertai dengan reformasi remunerasi. Korupsi berkaitan dengan buruknya gaji pegawai negeri. Reformasi birokrasi di Departemen Keuangan juga disertai dengan reformasi remunerasi yang berbasiskan kinerja. Hasilnya, jajaran pajak mendapatkan gaji yang cukup kompetitif dengan gaji swasta sehingga berkemampuan untuk menolak sogok. Tentu, gaji bukan segalanya. Gaji besar dan tetap menjadi penyamun, bukanlah kenyataan yang dibesar-besarkan. Selalu saja ada orang yang menyimpang dari sistem yang bersih. Namun, mestinya, setelah reformasi birokrasi yang disertai dengan reformasi remunerasi, yang terjadi bukanlah korupsi berjemaah seperti selama ini, melainkan lebih merupakan penyakit oknum.

Untuk itu tetap diperlukan pengawasan yang semakin keras, ketat, dan canggih untuk mengantisipasi kebocoran pajak yang juga diakibatkan semakin canggihnya sang penyamun menggunakan teknologi informasi. Semakin modern sebuah negara, semakin besar ketergantungan perolehan keuangan negara kepada pajak. Oleh karena itu, berbagai terobosan pun diperlukan untuk memacu lebih banyak perolehan dari pajak. Misalnya, perlunya negara (pemerintah dan DPR) mendengarkan suara pengusaha untuk menurunkan besaran tarif pajak, bukan menaikkannya, sehingga menjadi perangsang berinvestasi ke Indonesia.

SUMBER : Media Indonesia Online
Disalin dari : http://10.22.254.215/webxp/index.php?option=com_content&task=view&id=5112&Itemid=236

Sisi lain perseteruan Ditjen Pajak dan BPK

Menarik untuk menyimak drama perseteruan yang terjadi saat ini antara Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Perseteruan bermula dari ketidakpuasan BPK atas Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan ketiga UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP 2007) yang baru saja diberlakukan pada awal tahun 2008 ini.

BPK merasa bahwa salah satu pasal dalam UU KUP 2007 tersebut membatasi ruang geraknya untuk mengaudit Ditjen Pajak terkait dengan penerimaan negara dari sektor pajak. Untuk dapat mengaudit penerimaan pajak tentunya BPK harus dapat mengakses (baca: memeriksa) informasi transaksi keuangan dan non keuangan wajib pajak.
Adapun pasal yang dipermasalahkan oleh BPK adalah Pasal 34 ayat (2a) huruf b, yang menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli yang dapat memberikan informasi wajib pajak kepada BPK terlebih dahulu harus ditetapkan (mendapat izin) oleh Menteri Keuangan.

BPK keberatan dengan klausal tersebut karena membatasi hak konstitusional mereka untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara seperti dinyatakan dalam Pasal 23 E UUD 1945. Atas pembatasan hak konstitusional mereka ini, BPK mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi.

Tetapi, benarkah hanya sebatas per-izinan yang dipermasalahkan BPK dalam uji materi tersebut? Apakah ada tujuan lainnya? Pertanyaan ini muncul karena terkait dengan hasil temuan BPK selama ini yang belum maksimal dalam memeriksa potensi penerimaan negara dari sektor pajak.

Kenapa belum maksimal? Karena bagaimana bisa maksimal kalau hanya sebatas memeriksa informasi wajib pajak yang tersedia di Ditjen Pajak.
Terhadap keinginan BPK untuk dapat memeriksa informasi wajib pajak yang tersedia di Ditjen Pajak, Ditjen Pajak mempersilahkan BPK sepanjang ada izin dari Menteri Keuangan.

Kenapa harus izin Menteri Keuangan? Dalam berbagai pemberitaan, alasan yang dikemukan oleh Ditjen Pajak adalah dalam rangka menjaga kerahasiaan informasi wajib pajak. Hal ini disebabkan karena wajib pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas informasi yang telah disampaikannya kepada Ditjen Pajak.

Akan tetapi, apakah hanya hak kerahasiaan informasi saja yang hanya diperhatikan dalam perseteruan Ditjen Pajak dan BPK ini? Bagaimana dengan hak-hak wajib pajak lainnya?

Hak wajib pajak
Objek utama dalam perseteruan ini adalah wajib pajak, yaitu untuk memastikan apakah wajib pajak telah melaporkan kewajiban perpajakan mereka dengan benar. Hal ini didasarkan atas sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia yaitu self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung pajaknya sendiri. Oleh karena itu, sudah sewajarnya ada pemeriksaan pajak untuk memastikan apakah perhitungan wajib pajak sudah benar.

Untuk itu, atas kuasa Pasal 29 ayat (I) UU KUP 2007, Ditjen Pajak diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan pajak. Disisi lain, BPK juga berwenang untuk mengaudit Ditjen Pajak untuk memastikan apakah ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak dari hasil pemeriksaan tersebut telah benar.

Masalahnya, bagaimana dengan hak-hak wajib pajak yang menjadi objek pemeriksaan ini? Ada beberapa permasalahan (tidak sekedar kerahasian informasi saja) yang harus diperhatikan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
Misalnya, pertama, bagaimana jika dari hasil pemeriksaan BPK tersebut temyata mengakibatkan jumlah ketetapan pajak bertambah, di mana hasil pemeriksaan BPK tersebut tidak didapat dari data baru atau data semula yang belum terungkap, apakah atas wajib pajak tersebut harus diperiksa ulang atau langsung dikeluarkan ketetapan pajak?
Kedua, bila wajib pajak tidak setuju dengan hasil temuan BPK, bagaimana mekanisme formal wajib pajak untuk menyanggah hasil temuan tersebut? Ketiga, wajib pajak juga perlu tahu, lembaga pemerintah mana saja yang bisa melakukan pemeriksaan atas informasi dan kewajiban perpajakan mereka?
Keempat, dalam kondisi bagaimana informasi wajib pajak yang ada di Ditjen Pajak boleh diperiksa oleh lembaga pemerintahan lainnya? Jadi, dari sisi hak-hak wajib pajak, tidak hanya kerahasiaan informasi saja yang menjadi isu yang perlu dibahas antara Ditjen Pajak dan BPK, ada hak-hak wajib pajak lainnya yang harus diperhatikan seperti hak untuk mendapatkan kepastian hukum.

Ibarat mata uang yang mempunyai dua sisi, wajib pajak juga mempunyai dua sisi yaitu kewajiban dan hak. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyangkut wewenang pemerintah untuk menuntut kewajiban perpajakan wajib pajak seharusnya diimbangi dengan pemberian hak-hak mereka. Sisi inilah yang terlupakan dalam perseteruan antara Ditjen Pajak dan BPK.

Bisnis Indonesia, 05 Februari 2008
Disalin dari : http://10.9.13.215/441/content/view/509/1/

Prestasi Ditjen Pajak Tak Diragukan

DIREKTORAT Jenderal Pajak Departemen Keuangan telah meraih prestasi yang mengesankan. Ditjen Pajak berhasil mewujudkan penerimaan pajak 98,5% dari target APBNP 2007, yakni sebesar Rp 432,5 triliun. Ini penerimaan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Sebetulnya prestasi realisasi penerimaan pajak 2007 itu lebih rendah Rp 6,23 triliun dari target, namun tak urung mendapat pujian karena target dan jumlah realisasinya relatif lebih murni. Beda dibandingkan sebelumnya yang realisasinya memang kurang 13,50% dari target, tetapi realisasi penerimaannya masih mengandung residu keraguan.

Perbedaan tersebut bisa dilihat dari realisasi penerimaan pajak 2006 dan 2007. Realisasi penerimaan tahun 2006 mencapai Rp 358,2 triliun, dengan sumber terbesar dari PPH Nonmigas Rp 165,64 triliun dan PPN dan PpnBM sebesar Rp 123,03 triliun, sementara penerimaan PBB dan BPHTB Rp 24,04 triliun, pajak lainnya 2,287 triliun sedangkan Pph Migas Rp 43,18 triliun.

Dirjen Pajak Darmin Nasution kepada pers pada Kamis (14/2) menyatakan realisasi penerimaan tahun 2007 mencapai Rp 426,23 triliun dengan sumber terbesar dari Pph Nonmigas Rp 194,7 triliun, PPN dan PpnBM Rp 155,1 triliun, Pph Migas Rp 44,01 triliun, PPB dan BPHTB Rp 29,55 triliun dan pajak lainnya Rp 2,74 triliun.

Sebenarnya pemerintah menetapkan target penerimaan pajak 2007 sebanyak Rp 432,55 triliun. Target tersebut jauh di atas target penerimaan dan realisasi tahun 2006 yang masing-masing berjumlah Rp 371,7 triliun dan Rp 358,2 triliun.

Berdasarkan data di atas terlihat, target dan hasil yang diperoleh Ditjen Pajak kali ini cenderung lebih tinggi dan realistis, serta didukung usaha tertentu. Dengan demikian, kita pantas berharap, hasil ini merupakan batu penjuru guna menghasilkan penerimaan yang lebih tinggi pada tahun-tahun mendatang.

Sejauh yang dapat diketahui para dirjen pajak terdahulu telah meletakkan dasar membangun sistem perpajakan yang lebih baik, seperti yang dimulai dengan wajib pajak menilai aset dan penerimaan dapat dikenai pajak, pemutihan, penyederhanaan pengisian formulir, serta penggunaan teknologi informasi untuk kemudahan dan mengurangi kontak antara wajib pajak dengan aparat pajak, serta peningkatan kualitas pelayanan termasuk dengan mendirikan Kantor Pajak Pratama.

Selain itu, patut pula dicatat agresivitas aparat perpajakan dalam mengejar para calon atau wajib pajak.

Peningkatan penerimaan pajak mengandung berbagai elemen. Ia memperlihatkan bertambahnya kesadaran wajib pajak, perbaikan kinerja aparat perpajakan dan perkembangan yang baik pada beberapa sektor perekonomian. Kita percaya tak ada penyebab tunggal peningkatan penerimaan itu dan bukan pula merupakan hasil pekerjaan dalam sekejap.

Peningkatan penerimaan pajak bisa pula dikomentari pula sebagai pertambahan unsur keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, pajak dianggap sebagai salah satu instrumen pemerataan pendapatan di samping berbagai instrumen lain.

Para pengusaha atau mereka yang berpunya berdasarkan fakta lebih menyukai penggunaan pajak sebagai unsur keadilan. Mereka tidak menyukai landreform misalnya, sebagai unsur keadilan dan pemerataan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana dan dialokasikan ke mana dana perpajakan itu? Banyak pihak menyebut dana tersebut sebaiknya dialokasikan kepada sektor pendidikan atau infrastruktur, mengingat kedua sektor tersebut memi liki dampak berantai yang amat dalam dan luas.

Keterlibatan fiskus secara langsung maupun tidak langsung melalui wakilnya di DPR tentang ke mana dana harus dialokasikan merupakan suatu kewa jaran, apalagi hal ini sejalan dengan moto Ditjen Pajak yang menyangkut pengawasan penggunaan pajak.

Harus diakui bahwa para wajib pajak tidak memiliki power yang kuat untuk mengarahkan dan mengawasi penggunaan dana perpajakan. Oleh sebab itu, bisa dimengerti bila sebagian besar anggaran belanja akhirnya dipakai untuk pembayaran utang dan kegiatan rutin.

Kita menilai hak khas yang dimiliki wajib pajak yang jujur tersebut seharusnya mulai ditonjolkan, mengingat ia telah mempertaruhkan kemam puan daya saingnya. Buktinya, sekalipun pemerintah pernah mempublikasikan seratus pembayar pajak terbesar, namun hal itu tidak memotivasi wajib pajak yang lain untuk memenuhi kewajibannya.

Hal di atas perlu dikemukakan sebab tidak semua pengusaha mau membayar kewajiban pajaknya, mereka cenderung menghindar guna memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dengan demikian, mereka lebih punya daya saing. Peningkatan penerimaan pajak kali ini berlangsung di tengah laju investasi yang lambat, Kondisi ini menyebabkan mengecilnya lapangan pekerjaan dan menyusutkan daya beli. Ujung-ujungnya bukan inflasi yang terjadi tetapi stagflasi.

Kondisi di atas tidak bisa terus dibiarkan sekalipun ditinjau dari sisi politis dan keamanan. Untuk itu Ditjen.Perpajakan dapat memberi kontribusi dengan menurunkan persentase pengenaan pajak terhadap pribadi maupun perusahaan. Cara ini dinilai mujarab dalam menggerakkan perekonomian dan juga menaikkan penerimaan pajak.

Disalin dari : http://10.23.254.215/web/?page=prestasi-ditjen-pajak-tak-diragukan

Sunday, February 17, 2008

Cicilan Pajak

Saya mau tanya : apabila dalam perusahaan saya menerima penghasilan lain2 yg telah dikenakan PPH ps 23 atas Jasa Manajemen, Jasa Perantara dan bunga Obligasi, bunga bank dan Komisi yg sudah dikenakan PPN.
Apakah atas penghasilan tsb turut diperhitungkan sebagai pendapatan dalam menghitung PPH 25 (Badan) atau dikoreksi negatif karena telah dipotong pajak PPh ps 23 ?
Kalau diperhitungkan sebagai pendapatan kembali (dalam SPT Tahunan - Badan) berarti kena pajaknya 2 kali dong : PPh 23 dan PPh 25 (tarif progresif) ?

Terima kasih sebelumnya atas waktu dan jawabannya yg akan sangat membantu.

Salam,
Augustinus

Jawaban saya:
Mohon dibedakan PPh Pasal 25 dengan PPh Badan. PPh Pasal 25 adalah cicilan atas PPh Badan yang disetor setiap bulan berdasarkan pajak terutang tahun lalu. PPh Pasal 25 pada akhir tahun akan menjadi kredit pajak.

PPh Badan terutang dikurangi kredit pajak akan menjadi kurang atau lebih bayar. Jika kurang bayar, maka kekurangannya disebut PPh Pasal 29 yang harus disetor paling lambat tanggal 25 Maret sebelum SPT disampaikan. Jika lebih bayar, maka SPT akan menunjukkan lebih bayar dan biasa disebut SPT LB. Atas lebih bayar ini bisa direstitusi.
Ini bunya Pasal 29 UU PPh 1984.
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

PPh Pasal 23 adalah cicilan atas PPh Badan. Sama dengan PPh Pasal 25. Bedanya dengan PPh Pasal 25 adalah rutinitas bayar. PPh Pasal 25 dibayar setiap bulan. Bahkan jika tidak dibayar, petugas KPP bisa menagih ditambah sanksi bunga yang disebut STP. Sedangkan PPh Pasal 23 dibayar / dipotong oleh pihak ketiga ketika kita mendapatkan penghasilan. Pajak dibayar saat mendapatkan penghasilan. Inilah PPh Pasal 23.

Kredit Pajak terdiri dari : PPh Pasal 21 [dikreditkan oleh karyawan di PPh OP], PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26 [dikreditkan oleh WP OP yang semula WPLN berubah menjadi WPDN].

Berbeda dengan yang sering disebut PPh Final. PPh "jenis" ini bukan cicilan atas PPh Badan atau PPh OP. Karena itu, dalam pembuatan SPT PPh Badan / OP, penghasilan yang PPh-nya final, pelaporannya dipisahkan. PPh Final "disatukeranjangkan" dengan bukan objek, sehingga tidak terkena PPh Badan / OP. PPh Final biasanya diatur tersendiri dan didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984. Karena itu, seringkali disebut PPh Pasal 4 (2) Final. Inilah bunya Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Perhatikan kata �serta penghasilan tertentu lainnya� Kata-kata ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan jenis-jenis penghasilan mana saja yang dijadikan final seperti bung deposito.

Final, seperti dalam pertandingan olah raga :-) bahwa pertandingan final adalah pertandingan terakhir. Demikian pula di PPh Final. Final maksudnya bahwa kewajiban pembayaran pajaknya selesai pada saat dipotong oleh orang lain. Penerima penghasilan hanya memiliki kewajiban melaporkan penghasilan tersebut di SPT Tahunan. Asal penghasilan brutonya jelas, maka jumlah pajak yang disetor pasti benar karena jelas tarif efektifnya.

Cag!

Friday, February 15, 2008

Tempat Pelayanan Terpadu

Pegawai yang berhubungan langsung dengan para Wajib Pajak harus menjaga sopan santun dan perilaku, ramah, tanggap, cermat dan cepat, serta tidak mempersulit pelayanan, dengan cara :
[1] Bersikap hormat dan rendah hati terhadap tamu;

[2] Petugas selalu berpakaian rapi dan bersepatu;

[3] Selalu bersikap ramah, memberikan 3 S (senyum, sapa, dan salam);

[4] Mengenakan kartu identitas pegawai di dada;

[5] Menyapa tamu yang datang dengan menanyakan (misalnya "selamat pagi/siang/sore, apa yang dapat kami bantu Pak/Bu?");

[6] Dengarkanlah baik-baik apa yang diutarakan oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu, jangan melakukan aktivitas lain misalnya menjawab panggilan telepon, makan dan minum atau mendengarkan musik (melalui headphone/earphone);

[7] Jika perlu, mintalah nomor telepon tamu untuk dapat dihubungi;

[8] Hindarilah mengobrol atau bercanda berlebihan dengan sesama petugas, atau Wajib Pajak yang dilayani;

[9] Tatalah waktu berkonsultasi dengan seefisien mungkin;

[10] Sedapat mungkin, dalam menyerahkan dokumen/tanda terima kepada WajibPajak dengan menggunakan kedua tangan.

[11] Bila Petugas terpaksa tidak dapat menerima laporan/surat yang disampaikan oleh Wajib Pajak misalnya karena kurang lengkap, maka petugas harus menjelaskannya secara jelas dan ramah sampai Wajib Pajak memahami dengan baik.

Waktu pelayanan di TPT pukul 07.30 sampai dengan 17.00 waktu setempat. Pada jam istirahat, pelayanan tetap diberikan dengan cara mengatur secara bergiliran petugas yang beristirahat atau menambah jumlah petugas jika TPT terlihat antrian yang panjang. Selain pegawai DJP, tidak diperkenankan orang lain ditempatkan di TPT. Apabila ada panggilan penting dan terpaksa harus meninggalkan Wajib Pajak, petugas memohon maaf kepada Wajib Pajak dan agar digantikan oleh petugas lain.

Siaga melayani pertanyaan Wajib Pajak. Apabila ada pertanyaan yang tidak dapat dijawab, petugas meminta waktu untuk menghubungi supervisor/atasannya atau apabila tingkat persoalan agak kompleks dapat dipersilakan ke ruangan konsultasi untuk ditangani oleh petugas yang kompeten (misalnya AR/Auditor/Kasi). Dalam merespon permasalahan dan memberikan informasi kepada Wajib Pajak, seharusnya :
[1]. Petugas agar memberikan informasi/penjelasan secara lengkap sehingga Wajib Pajak dapat mengerti dengan baik;

[2] Untuk lebih meyakinkan Wajib Pajak, petugas dapat menggunakan brosur/leaflet/buku petunjuk teknis pelayanan;

[3] Minimal satu software peraturan perpajakan (Tax Knowledge Base) telah diinstal di komputer TPT;

[4] Apabila petugas belum yakin terhadap permasalahan yang ditanganinya, jangan memaksakan diri. Segera informasikan ke petugas lain, supervisor atau atasan yang bersangkutan, dan memberitahukan permasalahan yang disampaikan WP agar WP tidak ditanya berkali-kali;

[5] Apabila petugas TPT belum bisa memberikan jawaban yang memadai dan Wajib Pajak harus menemui petugas lain dalam menuntaskan permasalahannya, petugas TPT diharapkan untuk meminta maaf (misalnya dengan pernyataan "Mohon Maaf, saya belum dapat membatu Bapak/Ibu saat ini. Oleh karena itu permasalahan ini akan saya teruskan kepada rekan kami/atasan saya yang lain untuk membantu Bapak/Ibu");

[6] Jika dimungkinkan, jabatlah tangan Wajib Pajak dan mengucapkan terima kasih pada saat tamu akan meninggalkan tempat;

Sumber : SE - 45/PJ/2007

Thursday, February 14, 2008

Perlakuan Perpajakan Atas Reimbursment

Oleh : Tunas Hariyulianto

Reimbursment merupakan suatu jumlah yang ditagih oleh Pemberi Jasa kepada Penerima Jasa yang berasal dari tagihan Pihak Ketiga (Supplier). Dengan demikian, Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi reimbursment adalah Pemberi Jasa selaku pihak yang menyerahkan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa), Penerima Jasa, dan Pihak Ketiga selaku pihak yang dilibatkan oleh Pemberi Jasa dalam melakukan penyerahan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa). Transaksi Reimbursment ini umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan jasa yang bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melakukan kegiatan pemberian jasa kepada konsumen (penerima jasa) antara lain perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa freight forwarding yang dalam kegiatan operasionalnya bekerjasama dengan Pihak Ketiga antara lain perusahaan pengangkutan / pengiriman barang. Tagihan biaya yang di-Reimburs antara lain : Freight, THC, Document Fee, D/O, Cleaning Container, Lift on/off Container, shipping line, dan air line.

Dalam hal terjadi transaksi Reimbursment, Tagihan dari Pihak Ketiga akan diteruskan oleh Pemberi Jasa kepada Penerima Jasa dengan atau tanpa ditambah imbalan (Mark Up). Selanjutnya pembayaran dari Penerima Jasa akan diteruskan oleh Pemberi Jasa kepada Pihak Ketiga tersebut setelah dikurangi dengan imbalan mark up. Jumlah penerimaan yang akan dicatat sebagai penghasilan/pendapatan oleh Pemberi Jasa adalah jumlah pembayaran dari Penerima Jasa dikurangi dengan Reimbursment. Oleh karena itu, dokumen tagihan oleh Pihak Ketiga seharusnya dibuat langsung atas nama Penerima Jasa (bukan Pemberi Jasa).

Selanjutnya bagaimana perlakuan perpajakan atas transaksi Reimbursment ini. Dalam artikel ini, akan diuraikan perlakuan perpajakan (PPN dan PPh) atas transaksi Reimbursment didasarkan atas ketentuan perpajakan yang berlaku.

PERLAKUAN PPN
Pasal 1 angka 17 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Dalam kaitannya dengan penyerahan jasa, yang dipakai sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah Penggantian. Definisi Penggantian menurut Pasal 1 angka 19 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Dalam transaksi reimbursment, tagihan dari pihak ketiga dibuat langsung atas nama Penerima Jasa. Pemberi jasa hanya membantu meneruskan tagihan tersebut dari pihak ketiga kepada penerima jasa. Tagihan reimbursment tersebut tidak termasuk dalam pengertian Penggantian bagi Pemberi Jasa (semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pemberi Jasa), karena biaya dimaksud diminta langsung oleh pihak ketiga (melalui Pemberi Jasa) yang ditunjukkan dengan adanya invoice yang dibuat langsung atas nama penerima jasa. Dengan demikian, dalam menghitung PPN yang terutang atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh Pemberi Jasa, biaya-biaya tersebut (Reimbursment) tidak dihitung sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Apabila invoice tagihan dari pihak ketiga dibuat atas nama Pemberi Jasa, maka Pemberi Jasa harus menerbitkan invoice baru untuk menagih biaya tersebut kepada Penerima Jasa. Karena invoice tagihan kepada Penerima Jasa dibuat oleh dan atas nama Pemberi Jasa, maka biaya-biaya dalam invoice tersebut masuk dalam pengertian biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pemberi Jasa, sehingga masuk dalam pengertian penggantian sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 19 di atas. Dengan demikian, dalam menghitung PPN yang terutang atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh Pemberi Jasa, biaya-biaya tersebut harus dihitung sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlakuan PPN atas Reimbursment harus dilihat terlebih dahulu invoice tagihan oleh Pihak Ketiga, apakah atas nama Pemberi Jasa atau atas nama Penerima Jasa.

Ketentuan mengenai perlakuan PPN atas Reimbursment ini belum secara khusus diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hingga saat ini, Ketentuan yang ada hanya berupa surat-surat penegasan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak antara lain : S-807/PJ.53/2004, S-766/PJ.53/2004, S-768/PJ.53/2004, dan S-917/PJ.53/2003, sementara diketahui bahwa dokumen penegasan dalam bentuk surat, bersifat intern atau khusus (tidak berlaku umum) dan tidak berlaku sebagai dasar hukum yang sah secara umum. Oleh karena itu, untuk lebih memberikan Kepastian Hukum, diusulkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan suatu Keputusan (atau Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak) yang mengatur perlakuan PPN atas Reimbursment ini.

PERLAKUAN PPh
Ketentuan yang mengatur tentang pengakuan pendapatan dan biaya dalam hal terdapat transaksi reimbursment, belum diatur secara khusus. Namun sesuai dengan penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP menyatakan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Dengan demikian, sepanjang peraturan perundang-undangan perpajakan tidak menentukan secara khusus, maka pengakuan pendapatan dan biaya dalam hal terdapat transaksi reimbursment harus menggunakan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia yaitu Standar Akuntansi Keuangan Indonesia.

Di atas telah disampaikan bahwa dalam transaksi reimbursment dokumen invoice tagihan oleh Pihak Ketiga dibuat langsung atas nama Penerima Jasa. Menurut kelaziman akuntansi di Indonesia, dokumen/invoice tagihan yang akan diakui sebagai pendapatan Pemberi Jasa adalah dokumen tagihan/invoice yang dibuat atas nama Pemberi Jasa yang bersangkutan. Dengan demikian, atas pembayaran (Reimbursment) yang diterima dari Penerima Jasa atas tagihan invoice dimaksud tidak akan diakui sebagai penghasilan/pendapatan oleh Pemberi Jasa. Demikian pula pembayaran oleh Pemberi Jasa kepada Pihak Ketiga tidak boleh diakui / dicatat sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).

Pengakuan Pendapatan dan Biaya ini juga telah selaras dengan penghitungan peredaran usaha (Dasar Pengenaan Pajak) menurut ketentuan PPN. Seperti telah diuraikan di atas, dalam ketentuan PPN diatur bahwa reimbursment dikurangkan dari Dasar Pengenaan Pajak PPN, sehingga penerimaan pembayaran reimbursment dari Penerima Jasa juga seharusnya tidak dicatat/diakui sebagai pendapatan. Dengan demikian, peredaran usaha menurut PPN akan sama (equal) dengan peredaran usaha menurut PPh.


Disalin dari : http://999-sps02-01:8080/C11/Artikel%20Perpajakan/default.aspx
Tunas Hariyulianto sekarang seorang AR di KPP PMA Tiga

Wednesday, February 13, 2008

Pemborong WPOP

Tanya: WP OP Punya Industri dgn Pembukuan,PKP,th 2007 usahanya ditutup karena rugi, Kary semua di PHK, asset dan sisa bahan dijual rugi, spt 2006 rugi, spt 2006 rugi, sampai 2008 penjualan mesin dan asset pabrik masih berlangsung,bagaimana membuat laporan pajaknya u/: mesin2 yg dibeli langsung atau via Leasing u/, perlakuan PPN nya, dan pembukuan hasil penjualan mesin dan sisa bahan baku bagaimana, juga u/, penjualan tanah dan bangunan spt PPH 25?, karena masih ada lewajiban Hutang pada bank dan supplier, lalu setelah lunas hutang2nya,WP OP sdh tidak ada usaga lagi apakah masih wajib pembukuan, dan angsuran pph 25 nya gimana. tolong yah pak Raden sebab ini untuk temanku yg 25 th usahanya bangkrut.

Jawaban saya:
Wah, 25 tahun bangkrut ya? Masih bisa bertahan, boleh diacungi jempol tuh :-)

Biar lebih sederhana saya jawab dengan dasar-dasarnya saja:
[a]. PPh adalah pajak atas penghasilan Wajib Pajak. Jika rugi, otomatis tidak ada PPh OP dong!

[b]. SPT wajibun kudu dibuat, ditandatangani dan dilaporkan ke KPP. Isinya bisa Cuma tanda tangan doang [karena tidak ada kegitatan] atau ditambah lampiran surat pernyataan bahwa sudah tidak memiliki usaha lagi.

[c]. Penjualan mesin dan asset pabrik wajibun kudu dilaporkan di SPT Tahunan PPh OP.

[d]. Atas penjualan aktiva perusahaan yang pada waktu perolehannya �dapat� dikreditkan sebagai pajak masukan, terutang PPN Pasal 16D.

[e]. Pencatatan hasil penjualan asset : hasil penjualan dicatat sebagai penghasilan, sedangkan saldo nilai buku dicatat sebagai biaya. Penyusutan yang dilakukan sampai dengan bulan penjualan. Contoh : dijual bulan April 2007. Maka biaya penyusutan dihitung sampai bulan April 2007. Jika ada saldo nilai buku, langsung disusutkan sekaligus. Jika ingin praktis sih bisa saja penyusutan dihitung dari saldo nilai buku akhir tahun sebelumnya, per 31 Desember 2006.

[f]. Atas penjualan tanah dan bangunan, wajib bayar PPh sebesar 5% dari total transaksi atau NJOP [mana yang lebih tinggi]. Tetapi jika transaksi atau NJOP kurang dari Rp.60.000.000 [enam puluh juga rupiah] bukan objek PPh Pasal 25. Ini adalah cicilan PPh. Tetapi jika usaha pokok WPOP Cuma jualan tanah dan bangunan, PPh yang 5% ini menjadi final. Sedangkan selain itu tidak final. Artinya, bisa dikreditkan di PPh OP.

Itu saja. Jika masih belum jelas, lebih baik kirim email saja lah. Cag!

Pemborong Bangunan WP OP

ana Mau tanya tentang kewajiban perpajakan untuk pemborong bangunan WP OP, sebelumnya terima kasih

Jawaban saya:
Pemborong bangunan dalam istilah perpajakan kita sering disebut pelaksana konstruksi. Jasa yang diberikan oleh pemborong adalah jasa pelaksanaan konstruksi. Syarat seseorang disebut �perusahaan� konstruksi adalah memiliki ijin atau sertifikasi sebagai perusahaan konstruksi. Sertifikasi biasanya dikeluarkan oleh asosiasi konstruksi.

Apabila pemborong memiliki sertifikasi atau ijin sebagai perusahaan konstruksi maka atas pekerjaannya merupakan jasa pelaksanaan konstruksi yang kenakan PPh Pasal 23 sebesar 2%. Berarti kalau tidak punya sertifikasi perusahaan konstruksi bukan objek PPh Pasal 23? Tidak juga! Tetep atas pekerjaan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 tetapi namanya bukan jasa pelaksanaan konstruksi. Selain itu, pekerjaan yang merupakan objek PPh Pasal 23 juga terbatas untuk instalasi / pemasangan / perawatan / pemeliharaan / perbaikan. Atas penghasilan dari pekerjaan ini terutang PPh Pasal 23 sebesar 4,5%. Lebih besar kan?

Sebenarnya, PPh Pasal 23 hanyalan cicilan pajak. PPh Pasal 23 yang telah kita bayar [dengan dipotong oleh pemberi penghasilan] dapat dikreditkan sebagai PPh OP. Dan untuk menghitung PPh OP pasti menggunakan tarif progresif, yaitu 5% s.d. 35%.

Hanya saja, kalau PPh Pasal 23 berdasarkan penghasilan bruto. Sedangkan PPh OP berdasarkan penghasilan bersih. Bisa jadi, sebenarnya kita mengalami kerugian sehingga kita seharusnya tidak terutang PPh. Karena itu, atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong oleh orang lain bisa dimintakan restitusi atau pengembalian pajak.

Cag!

BII Kaji Insentif Pajak Merger

-- Koran SINDO - 13-Feb-2008 --
JAKARTA (SINDO) � PT Bank International Indonesia (BII) terus mengkaji pemberian insentif pajak merger sebesar 30% dan opsi merger dengan PT Bank Danamon Indonesia Tbk. �Untuk merger, kami masih terus mengkaji opsi tersebut dan lihat saja keputusannya nanti.Jadi, saat ini belum banyak progres dan masih menunggu klarifikasi dari Bank Indonesia maupun Ditjen Pajak,� ujar Presiden Direktur BII Henry Hoo seusai penandatanganan kerja sama dengan Mandala Airlines di Jakarta kemarin. Menurut Henry, untuk kepentingan itu,Temasek Holdings sebagai pemegang saham pengendali sudah menyampaikan surat ke Bank Indonesia (BI). Opsi yang dipilih adalah merger antara perseroan dengan Bank Danamon. Namun, ada beberapa isu yang masih diselesaikan, yaitu insentif pajak merger dan harus mendapat kepastian sebelum melangkah lebih lanjut. Henry menuturkan dalam merger akan ada selisih antara nilai pasar dan nilai buku yang terkena pajak.Besarnya sekitar 30% dan hal ini yang akan diminta klarifikasi. Sebab, belum jelas apakah hal ini termasuk subjek pajak. Namun, perseroan tetap berkomitmen mematuhi kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP) dari BI pada 2010. �Pembicaraan ini masih dilakukan dengan kedua perseroan dan kami masih mengeksplorasi setiap opsi. Masih ada waktu untuk menjernihkan segala hal sehingga bisa bergerak ke arah yang tepat,� paparnya. (tomi sujatmiko)

Komentar saya:
Wah, baru saja saya posting tentang merger. Menyambung posting sebelumnya bahwa merger atau restrukturisasi pada umumnya harus diletakkan pada nilai pasar dan transaksi wajar. Salah satu tujuan restrukturisasi adalah mencari nilai lebih, mencari keuntungan.

Beberapa kata sengaja saya beri bold sekedar untuk dikomentari. Namanya komentar tidak selalu benar, dan tidak dapat dijadikan acuan.
ada selisih antara nilai pasar dan nilai buku yang terkena pajak

Selisih antara harga jual (realisasi) dengan nilai buku sering disebut [terutama saya sendiri] capital gain jika menguntungkan atau capital loss jika merugikan. Menguntungkan artinya harga jual lebih besar daripada nilai buku.

Perlakuan perpajakan sebenarnya sangat serasi dengan prinsip akuntansi yang berlaku. Ini bunyi Pasal 10 ayat (2) UU PPh 1984:
Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

Capital gain adalah objek PPh. Salah satu objek PPh yang disebutkan di Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 adalah
keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

dan ini adalah salah satu kalimat di memori penjelasan pasal tersebut :
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.

Hanya saja, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas perpajakan untuk restrukturisasi dengan syarat-syarat tertentu. Dasar kewenangan Menteri Keuangan ada di Pasal 10 ayat (3) UU PPh 1984:
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

Karena itu, Menteri Keuangan kemudian memberikan batasan, Wajib Pajak mana yang dapat memperoleh fasilitas restrukturisasi. Batasan-batasan dimaksud telah diatur di Keputusan Menteri Keuangan No. 469/KMK.04/1998, Pasal 4
(1) Untuk dapat melakukan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait.

(2) Wajib Pajak yang melakukan penggabungan atau peleburan usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak boleh mengalihkan kerugian/sisa kerugian badan usaha lama, kecuali :
a. Wajib Pajak tersebut melakukan revaluasi aktiva tetapnya terlebih dahulu; dan
b. masih aktif menjalankan usahanya; dan
c. Wajib Pajak yang menerima penggabungan usaha atau Wajib Pajak hasil peleburan usaha harus aktif menjalankan usaha sekurang-kurangnya sampai dengan 2 (dua) tahun setelah selesainya proses penggabungan atau peleburan usaha.

dan ini tambahan di pasal, Pasal 4A ada di Keputusan Menteri Keuangan No.211/KMK.03/2003
Dalam rangka penawaran umum perdana (Initial Publik Offering), Wajib Pajak yang telah menerima pengalihan harta dengan nilai buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha tanpa melakukan revaluasi aktiva tetap, dapat menerima pengalihan kerugian fiskal dari Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dan melakukan kompensasi kerugian fiskal sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku, setelah terlebih dahulu mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dan melakukan penilaian kembali atas seluruh aktiva tetap perusahaan dari Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dengan harga pasar yang berlaku pada waktu penggabungan atau peleburan usaha dilakukan.

Selanjutnya nyambung ke posting sebelumnya.

cag!

Fasilitas Perpajakan Bagi Restrukturisasi Perusahaan

Salam Kenal Pak Raden.
Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan mengenai PPh dan PPN berkaitan dengan konsolidasi bank. Apa dasar pengenaan PPh dan PPN bagi bank yang melakukan merger, konsolidasi dan akuisisi? Dalam surat kabar banyak diberitakan mengenai insentif pajak berkenaan dengan hal tersebut, mungkinkah pajak2 tersebut diberikan insentif? Apa dasarnya? Benarkah Dirjen pajak pernah memberikan insentip pajak untuk bank yang melakukan konsolidasi (kalo tidak salah ketika konsolidasi bank mandiri)?
Mohon penjelasan bapak, atas bantuan dan perhatiannya saya ucapkan terimakasih.
iwan ismail

Jawaban saya:
Terus terang saya agak bingung juga jawabnya. Tetapi saya coba jawab secara umum saja bahwa merger seperti Bank Mandiri dimungkinkan mendapatkan fasilitas bebas PPh dan PPN. PPh yang dibebaskan adalah PPh atas pengalihan tanah dan bangunan sebesar 5% dari total nilai pasar aktiva tanah dan bangunan yang dialihkan. Seharusnya PPh ini dipungut dan dibayar oleh �pembeli aktiva� atau acquiring company.

Dan, PPN yang dibebaskan adalah PPN Pasal 16D, yaitu PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. Memang wajarnya, transferor company harus membayar PPN ini sebesar 10% dari nilai pasar aktiva yang diserahkan. Aktiva yang menjadi objek PPN Pasal 16D adalah aktiva yang pada saat perolehannya pajak masukannya dapat dikreditkan.

Bukan hanya itu, BPHTB pun bisa mendapat pengurangan sebesar 100% alias gratis bayar BPHTB. Semestinya, BPHTB ini wajib dibayar oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan atau aquiring company sebesar 5% dari total nilai pasar atau NJOP tanah dan bangunan setelah dikurangi NPOPTKP.

Khusus merger Bank Mandiri, pengurangan BPHTB ini diatur secara khusus (Bank Mandiri disebutkan) di Keputusan Menteri Keuangan No. 181/KMK.04/1999, No. 87/KMK.03/2002, 561/KMK.03/2004, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.01/2005, dan No. 91/PMK.03/2006.

Bagaimana mendapatkan fasilitas tersebut? Mudah saja! Aquiring Company dalam kurun waktu kurang dari 6 (enam) bulan sejak tanggal merger harus mengajukan permohonan persetujuan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat. Satu bulan sejak permohonan diterima, Kanwil wajib mengeluarkan persetujuan atau penolakan. Jika permohonan diterima maka dapatlah fasilitas diatas. Jika ditolak maka melayanglah fasilitas diatas.

Panduan lebih lanjut tentang restrukturisasi perusahaan silakan unduh disini saja. Ada syarat-syarat lebih teknis yang tidak disebutkan diposting ini.

Salaam.

Friday, February 8, 2008

1770 S

Membuat SPT Tahunan PPh Orang Pribadi gampang-gampang susah. Untuk karyawan yang tidak memiliki penghasilan lain selain dari satu majikan, pengisian 1770 S termasuk gampang. Tinggal minta bukti potong dari bendaharawan yang sering disebut form 1721 - A1. Nah, angka-angka yang ada disitu tinggal pindahin ke SPT 1770 S.

Posting sebelumnya, kaka [seorang pegawai di Kanwil DJP Bali], telah membuat aplikasi dari Excel untuk membuat SPT 1721, yang nyambung [link]dan terintegrasi ke form 1721-A, form 1721-A1, form 1721-A2, form 1721-B, form 1721-C dan SPT 1770 S.

Kewajiban membuat SPT 1721 memang menjadi kewajiban bendaharawan. Karena itu, aplikasi tersebut sangat cocok dan diperuntukkan untuk bendaharawan. Dan si pembuat aplikasi telah berbaik hati agar si bendaharawan berbaik hati pula membuatkan SPT 1770 S untuk karyawan :-)

SPT 1770 S untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang memiliki satu pemberi kerja atau lebih. Karena itu, jika pemberi kerja membuatkan SPT 1770 S akan sangat bagus. Tetapi untuk WP OP yang memiliki penghasilan lain selain dari pemberi kerja tentu tidak cocok jika bendaharawan yang membuatnya, karena penghasilan lain belum dimasukkan.

Untuk itu, aplikasi 1770 S berikut sangat cocok untuk WPOP. Bagi saya, ini lebih sederhana tetapi cukup komplit. Hanya saja, data-data yang kita isikan belum link antar bagian. Silakan disempurnakan sendiri :-) File ini dibuat oleh Sdr Faisal, seorang AR di KPP Madya Batam. Silakan diunduh disini.

Salaam hangat.

Sunday, February 3, 2008

Modernisasi DJP

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya Palembang Setelah di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, kini modernisasi pajak merambah ke wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu meresmikan seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah tersebut menjadi kantor pajak modern. Yakni, sebagai KPP Pratama. Berubahkah pelayanan kantor pajak ke arah lebih baik? Itulah di antara pertanyaan masyarakat, utamanya Wajib Pajak (WP) yang berhubungan dengan kantor pajak modem.

Konsep modernisasi pajak adalah pelayanan prima dan pengawasan intensif dengan pelaksanaan good governance. Tujuannya, meningkatkan kepatuhan pajak. Juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap administrasi perpajakan, serta produktivitas pegawai pajak yang tinggi.
Perubahan paradigma

Hal mendasar dalam modernisasi pajak adalah terjadinya perubahan paradigma perpajakan. Dari semula berbasis jenis pajak, sehingga terkesan ada dikotomi, menjadi berbasis fungsi. Lebih mengedepankan aspek pelayanan kepada masyarakat. Kemudian didukung oleh fungsi pengawasan, pemeriksaan, maupun penagihan pajak.

Paradigma berbasis fungsi dalam kerangka good governance, ruang lingkup modernisasi meliputi tiga hal. Pertama, restrukturisasi organisasi. Kantor pusat, tidak melaksanakan kegiatan operasional, sehingga fungsi pengawasan kepada unit vertikal dan pegawai lebih fokus.

Kedua, perbaikan business process. Yakni, adanya builtin control system dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi terkini. Juga mengembangkan manajemen penanganan keluhan, sistem dan prosedur kerja yang sekaligus berfungsi sebagai internal check. Maupun menyempurnakan manajemen arsip dan pelaporan.

Dan ketiga, penyempurnaan sistem manajemen sumber daya manusia. Dilakukan mapping terhadap seluruh pegawai, untuk mengetahui karakteristik dari tiap pegawai. Sehingga dapat diterapkan "the right man on the right place". Juga adanya Kode Etik Pegawai sebagai acuan perilaku melaksanakan tugas.

Pelaksanaan Kode Etik Pegawai diawasi berbagai badan independen. Seperti, Komite Kode Etik Pegawai yang diketuai oleh Sekjen Departemen Keuangan, Komisi Ombudsman Nasional dengan desk pajak, maupun Tim Khusus Inspektorat Jenderal. Sehingga, KKN dapat dihilangkan.

Kemudahan dan kenyamanan, itulah yang ditawarkan modernisasi pajak. Hal ini guna mengontradiksikan adanya pandangan miring masyarakat terhadap pajak selama ini. Untuk itu, pelayanan dilakukan melalui sistem satu pintu (one stop service). Bila hanya melaporkan pajak, cukup ke Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) yang ada di front office, dengan dukungan help desk sebagai sumber informasi.

Jika memerlukan layanan lanjutan yang lebih teknis, ada Account Representative (AR) yang secara khusus ditunjuk pimpinan kantor melayani tiap WP. Pelayanan ini lebih personal, hingga tuntas. Dengan adanya AR, bila permohonan WP sudah lengkap, tidak perlu bolak-balik. Cukup satu kali datang menyampaikan permohonannya ke kantor pajak. Selanjutnya, akan diproses AR secara otomatis. WP hanya menunggu di kantor atau rumahnya, dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan. Hasilnya, akan dikirim melalui jasa pos.

Juga, banyak fasilitas yang memanfaatkan teknologi terkini, seperti internet, yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sehingga tidak perlu harus datang ke kantor pajak.
Tingkat kepuasan

Modernisasi pajak juga menyediakan e-Registration untuk mendaftarkan diri sebagai WP. Adanya e-SPT untuk aplikasi laporan, sehingga menjadi paperless. Penyampaian laporan pajak melalui e-Filing. Maupun pembayaran pajak (sementara ini baru hanya untuk PBB) melalui e-Payment, yakni ATM. Semua pelayanan perpajakan tersebut adalah gratis.

Puaskah WP atas modernisasi pajak tersebut? Survei yang dilakukan AC Nielsen, sebuah lembaga survei internasional yang independen, merilis hasilnya. Bahwa indeks kepuasan WP (eQ Index) adalah 81. Artinya, makin tinggi indeksnya, makin baik. Berada di atas pelayanan umum instansi pemerintah lainnya di Indonesia 75. Juga di atas beberapa negara sekitar, seperti, Australia 74, Hong Kong 71, India 78, dan Singapura 76.

Juga survei The World Group yang dirilis September lalu, terjadi peningkatan peringkat pajak Indonesia dari 135 naik jadi 123. Terlihat bahwa terjadi kemudahan dan kenyamanan WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Mestinya, inilah hakikat modernisasi perpajakan yang sedang dirintis.

Harian Kontan;

 

Disalin dari http://10.3.254.215/

 
 

Kerahasiaan Wajib Pajak

Di negara lain, kerahasiaan itu dijamin undang-undang; Direktorat Jenderal Pajak menyatakan harus merahasiakan data wajib pajak. Menurut Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Darmin Nasution, bila data tersebut bocor, wajib pajak bisa menggugat aparat pajak. Dia menegaskan bahwa Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dimaksudkan untuk melindungi kerahasiaan wajib pajak yang diserahkan kepada negara.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan resmi mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Melalui uji materi tersebut, BPK meminta hak untuk mengaudit data tentang wajib pajak.

Pasal yang akan diujimaterikan adalah Pasal 34 ayat 2-a huruf b. Di dalamnya disebutkan bahwa pejabat dan/atau tenaga' ahli yang dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang memiliki kewenangan pemeriksaan keuangan negara terlebih dulu harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pasal ini mengatur secara limitatif keterangan yang dapat diberikan, hanya informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.

Permohonan itu diajukan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Pasal 34 ayat 2-a huruf b bertentangan dengan ketentuan di Pasal 23-E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri (Koran Tempo, 17 Januari).

Senada dengan Darmin, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Djoko Slamet Surjoputro menyatakan, bila pasal 34 dilanggar, ranah privasi wajib pajak menjadi semakin sempit.

Hak wajib pajak yang telah menyerahkan rahasia pribadinya kepada negara tidak akan terlindungi lagi. Becermin pada kasus serupa di negara lainnya, menurut Djoko, kerahasiaan pajak di negara lain dijamin oleh undang-undang secara ketat. Pemeriksa eksternal hanya diberikan kewenangan memeriksa secara terbatas dengan syarat-syarat tertentu.

Darmin berjanji akan mengajukan solusi tentang masalah ini. "Kami akan mencari jalan keluarnya," katanya. Dia mengakui dalam undang-undang memang dinyatakan bahwa BPK berhak melakukan audit secara bebas dan mandiri. Namun, wewenang itu tetap dibatasi oleh perundangan lain yang sudah ada.

Dari riset yang dilakukan oleh Tempo di beberapa negara lain, seperti Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Selandia Baru, dan Singapura, kerahasiaan wajib pajak memang dilindungi dengan ketat.

Menurut anggota BPK, I Gusti Agung Ray, BPK tetap akan mengajukan uji materi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Cara ini adalah solusi yang terbaik. Dia juga optimistis langkah ini akan menjadi titik temu antara BPK dan Direktorat Jenderal Pajak.

Koran Tempo; Kamis, 31 Jan 2008

Disalin dari http://10.24.254.215/

 
 

DJP vs BPK

Darmin tunggu uji materi UU KUP
Bisnis Indonesia, 1 Februari 2008

JAKARTA: Dirjen Pajak Darmin Nasution akan menunggu hasil uji materi dari Mahkamah Konstitusi sebelum melanjutkan pebahasan memorandum of understanding (MoU) dengan BPK tentang pemberian akses untuk mengaudit penerimaan pajak.

"Untuk apa dibuat MoU kalau nanti putusan Mahkamah Konstitusi lain. Makanya saya katakan pembahasannya ditunda. Seandainya Mahkamah Konstitusi menolak judicial review, kami akan melanjutkan pembahasannya," katanya.

Dia menegaskan sejak awal perbedaan sikap ditjen pajak dengan BPK hanya berkutat pada soal kewenangan untuk memeriksa wajib pajak pibadi. Ditjen pajak ngotot hal itu sebagai rahasia yang dimiliki wajib pajak yang tidak bisa diaudit BPK. Sebaliknya, Ketua BPK Anwar Nasution sebelumnya mengatakan berhak untuk mengaudit.

"Kami bukan melindungi rahasia petugas pajak tetapi mau melindungi rahasia WP. Karena itu, dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dinyatakan, kalau bocor, wajib pajak bisa menggugat petugas pajak," tegas Darmin. (Bisnis/amu)

Disalin dari : http://10.22.254.215/webxp/

 
 

Stimulus fiskal

Jakarta, Kompas - Untuk menstabilisasi harga bahan pokok pangan, pemerintah menyiapkan stimulus fiskal senilai Rp 13,7 triliun. Stimulus fiskal itu berasal dari penambahan belanja, karena tambahan subsidi pangan Rp 3,6 triliun, dan berkurangnya penerimaan negara akibat kebijakan membebaskan bea masuk dan pajak yang ditanggung pemerintah Rp 10,1 triliun.

Akibat stimulus fiskal tersebut, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 berubah. Revisi APBN 2008 akan dipercepat dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan APBN 2008, yang akandiajukan ke DPR pertengahan bulan Februari.

Menurut Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seusai memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (1/2), stimulus fiskal itu segera diberlakukan.

Saat menjelaskan keputusan Sidang Kabinet Paripurna, yang dihadiri Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Presiden tidak menyinggung Peraturan Presiden (Perpres) tentang Paket Stabilisasi Harga Bahan Pokok, yang sebelumnya akan diterbitkan sebagai payung paket kebijakan stabilisasi harga bahan pokok tersebut.

Menteri Koordinator Perekonomian Boediono mengatakan, meskipun terjadi dampak terhadap keseluruhan APBN 2008, namun Presiden berharap tidak meningkatkan risiko terhadap APBN. ”Implikasi terhadap APBN masih dalam perhitungan yang cermat. Intinya, Presiden menginginkan kebijakan stabilisasi ditampung dalam APBN 2008, sehingga bisa dilaksanakan segera, tanpa harus meningkatkan risiko pada APBN,” ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, sebagai tindak lanjut dari Sidang Kabinet Paripurna, Departemen Keuangan mengeluarkan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK), antara lain tentang penurunan besaran pajak penghasilan (PPh) impor kedelai, gandum dan tepung terigu, dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen.

Selain itu PMK tentang penetapan jenis barang ekspor tertentu dan besaran tarif pungutan ekspor untuk produk kelapa sawit, CPO dan turunannya, yaitu dari 10 persen menjadi 15 persen, jika harga di pasar dunia di atas 1.100 dolar AS per ton. Bila harganya tidak di atas 1.100 dollar AS per ton, maka tarif pungutan ekspor tetap 10 persen.

”Juga PMK tentang Pajak Pertambah Nilai yang Ditanggung Pemerintah atas impor dan atau penyerahan gandum dan tepung Gandum. PMK lainnya, mengenai PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak goreng curah di dalam negeri. Serta PMK tentang PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri,” ujar Sri Mulyani.

Menurut Sri Mulyani, untuk subsidi pangan pemerintah mengeluarkan Rp 3,6 triliun. Yaitu untuk penambahan subsidi beras bagi rakyat miskin Rp 2,6 triliun, melanjutkan operasi pasar minyak goreng Rp 0,5 triliun dan bantuan langsung bagi perajin tempe dan tahu Rp 0,5 triliun.

 

Disalin dari : http://10.17.254.215/web/